Nasional

RUU Keamanan Siber Berpotensi Luaskan Dominasi Militer dan Ancam Demokrasi

Senin, 20 Oktober 2025 | 14:00 WIB

RUU Keamanan Siber Berpotensi Luaskan Dominasi Militer dan Ancam Demokrasi

Direktur Eksekutif Democratic Judicial Reform (DE JURE), Bhatara Ibnu Reza dalan sebuah diskusi di Tebet, Jakarta, Senin (20/10/2025) (Foto: NU Online/Fathur)

Jakarta, NU Online

 

Direktur Eksekutif Democratic Judicial Reform (DE JURE), Bhatara Ibnu Reza mengingatkan bahaya perluasan peran militer dalam Rancangan Undang-Undang Keamanan dan Ketahanan Siber (RUU KKS). Menurutnya, rancangan tersebut berpotensi memperkuat dominasi militer dalam ranah sipil dan mempersempit ruang demokrasi di Indonesia.

 

“RUU ini bukan baru muncul sekarang. Gagasannya sudah lahir sejak 2019 di masa pemerintahan Jokowi periode kedua. Sejak awal banyak pihak menolak karena rancangan itu memberi kewenangan terlalu luas kepada satu lembaga untuk menjadi regulator sekaligus pengawas di seluruh aktivitas siber,” ujarnya dalam Diskusi Menyoal Peran TNI dalam RUU Keamanan Siber yang digelar Imparsial di Tebet, Jakarta, Senin (20/10/2025).

 

Menurut Bhatara, penolakan terhadap rancangan ini tidak hanya datang dari kalangan masyarakat sipil, tetapi juga dari lembaga pemerintah.

 

Berdasarkan draf terakhir RUU tertanggal 1 Februari 2025 yang bersumber dari Kementerian Hukum, terdapat dua lembaga yang menyampaikan keberatan, yakni Polri dan Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi).

 

“Keduanya menolak dua hal penting: pertama, pasal yang memasukkan TNI sebagai penyidik dalam perkara siber, dan kedua, kewajiban pelaporan seluruh kegiatan digital kepada lembaga yang disebut Infrastruktur Informasi Kritikal. Ini bukan sekadar tumpang tindih kewenangan, tetapi persoalan prinsip perluasan fungsi militer ke ranah sipil,” tegasnya.

 

Bhatara mengkritik proses penyusunan RUU yang dinilainya tidak transparan dan membingungkan publik. Menurutnya, sering muncul berbagai versi draf yang berbeda tanpa penjelasan resmi.

 

“Setiap kali dikritik, keluar versi baru, dan publik dibuat bingung mana yang asli. Ini bukan praktik demokrasi, melainkan upaya mengecoh masyarakat. Ada cara-cara yang deceitful, menyesatkan, dalam proses legislasi kita,” ucapnya.

 

Ia menilai pola semacam itu merupakan strategi untuk meloloskan agenda politik tertentu. “Mereka ubah dulu aturan hukumnya agar tindakan otoriter menjadi tampak legal. Ini yang disebut otoritarianisme legalisme,” tambahnya.

 

Gejala Militerisasi di Ruang Sipil dan Penurunan Kualitas Demokrasi

 

Bhatara juga menyoroti gejala meningkatnya militerisasi dalam kehidupan publik. Ia menyebut keterlibatan militer kini tidak hanya terbatas pada pertahanan negara, tetapi juga merambah berbagai bidang pemerintahan dan lembaga sipil.

 

“Sekarang, bahkan kantor kejaksaan dijaga oleh tentara. Pertanyaannya: siapa musuh yang mereka lawan? Tidak ada ancaman dari luar negeri. Ini tanda bahwa orientasi pengamanan diarahkan ke dalam, ke warga negara sendiri,” jelasnya.

 

Lebih jauh, ia mengingatkan bahwa pasal-pasal dalam RUU KKS dapat digunakan untuk menjerat aktivis, jurnalis, atau masyarakat yang bersuara kritis di ruang digital. 

 

“Kalau TNI masuk sebagai penyidik siber, maka kebebasan berekspresi di ruang maya akan terancam. Aktivis, mahasiswa, hingga pengguna media sosial bisa dengan mudah menjadi target,” kata Bhatara.

 

Dalam pandangannya, situasi politik saat ini menunjukkan menguatnya dominasi militer seiring lemahnya reaksi dari elit sipil dan partai politik. Ia menilai banyak keputusan penting kini tersentral di tangan Presiden.

 

“Semua persoalan, mulai dari urusan hukum, pangan, sampai proyek sosial, kini diselesaikan langsung oleh Presiden. Ini menandakan konsentrasi kekuasaan yang berlebihan,” ujarnya.

 

Bhatara menegaskan, jika RUU Keamanan Siber tetap dipaksakan, maka Indonesia sedang berada di tepi jurang otoritarianisme baru. 

 

“Demokrasi kita sudah kritis di ruang nyata. Jangan sampai militer juga menguasai ruang maya. Jika itu terjadi, maka kebebasan berekspresi akan terkubur,” pungkasnya.