Para santri memadati Malam Kebudayaan Pesantren, Sabtu (28/9) di di Asshiddiqiyah Jakarta (Foto: NU Online/A Rahman Ahdori)
Perkembangan teknologi yang semakin kuat dinilai menjadi celah masuk radikalisme dan gerakan antitoleransi ke dalam masyarakat. Karena itu, di era kini, kaum santri menjadi harapan bangsa agar mampu menjadi penyebar Islam rahmatan lilalamin.
Di Indonesia, kaum radikal kerap mempertentangkan keberagamaan dan ke-Indonesia-an. Jika terus dibiarkan, tidak menuntup kemungkinan kelompok radikal semakin memperburuk suasana kebangsaan masyarakat Indonesia.
Dalam Muktamar Pemikiran Santri, ada sekitar 126 praktisi Ma'had Aly di Indonesia menjadi peserta kegiatan. Acara terbagi dalam dua sesi yaitu Call for Papers dan Panel Sesion.
Muktamar mengangkat tema Tradisi, Eksistensi, dan Perdamaian Global. Kegiatan bertujuan untuk memberikan kesempatan kepada santri untuk menuangkan gagasan dalam berbagai disiplin ilmu agama.
Terdapat 547 naskah Call for Papers, yang kemudian diperas menjadi 126 naskah yang menjadi partisipan aktif. Sementara tema yang dibahas yakni Santri dan Wajah Ramah Pesantren di Dunia, Pedagogi Pesantren dan Perdamaian Dunia, Pesantren dan Resolusi Konflik, serta Akar Moderasi dan Perdamaian dalam Tradisi Kitab Kuning.
Direktur Jenderal Pendidikan Islam Kemenag RI, Kamaruddin Amin, menambahkan, peringatan Hari Santri dapat menginternasionalisasi model Islam tradisional Indonesia yang penuh cinta. Hal ini kontradiktif dengan kebanyakan gerakan Islam transnasional yang cenderung eksklusif dan ofensif.
"Muktamar Pemikiran Santri ini memberikan kepahaman kepada masyarakat umum dan internasional bahwa pesantren adalah role model sempurna dalam gagasan perdamaian dunia," katanya.
Santri yang merupakan manifestasi pelajar Muslim tradisional di Indonesia terbukti sepanjang masa telah menjadi agen pemegang agama Islam yang konsisten, toleran, dan penjaga pagar keberagaman dalam bingkai negara kesatuan republik Indonesia.