Ifan (keempat dari kanan) saat menerima kunjungan Pemerintah Kabupaten Bondowoso dan petani berprestasi di lokasi Kampung Ternak Modern. (Foto: NU Online/Aryudi AR)
Bondowoso, NU Online
Santri memang serba bisa. Bisa jadi petani, peternak, pengusaha, atau apalagi ustadz. Sebab, bagi santri soal pekerjaan bukan tujuan pokok. Yang utama adalah mencari ilmu. Soal masa depan, biarkan saja bak air mengalir. Air akan mengalir kemana pun yang ia mau. Kendati terhalang oleh sesuatu, air tetap menemukan jalannya, mengalir untuk memberi manfaat bagi jagat alam.
Ifan Kurniawan adalah alumnus Pondok Pesantren Salafiyah Syafi’iyah, Asembagus, Kabupaten Situbondo, Jawa Timur. Kendati Ifan lama di pesantren, lalu melanjutkan pendidikannya ke IAIN Jember, namun ia akhirnya jadi peternak.
Bukan peternak biasa, Ifan menjadi ‘raja’ ternak. Lelaki kelahiran Jember tanggal 10 April 1984 itu membangun ‘industri’ ternaknya dengan lebel Kampung Ternak Modern yang berlokasi sekitar 4,5 kilometer ke arah barat laut dari alun-alun kota Bondowoso, tepatnya di Desa Karanganyar, Kecamatan Tegalampel, Kabupaten Bodowoso, Jawa Timur.
Kampung Ternak Modern yang dibangun di atas lahan seluas 2,5 hektare itu, didirikan tahun 2011. Untuk pengelolannya dan demi kelancaran administrasi dengan pihak luar, maka Ifan kemudian mendirikan Koperasi Ternak Tani Syariah (2015). Ada dua program yang ditangani, yaitu breeding (pembibitan) dan fattening (penggemukan), khususnya untuk sapi dan domba.
Meski namanya adalah kampung ternak, namun bukan kampung beneran, tapi hanya berupa deretan kandang untuk perawatan sapi dan domba. Domba dan sapi yang ada di situ, tidak lama. Hanya 15 hari, selanjutnya dibagikan kepada petani (mitra) untuk diternakkan dan digemukkan.
“Jadi kandang ini untuk penampungan sementara. Setelah sapi dan domba itu datang, kami treatment (diobati dan dirawat), setelah itu kami lempar ke mitra,” ujar Ifan.
Treatment yang dimaksud Irfan adalah memberikan obat, menyuntik dan mengatur pola makan yang sehat pada sapi dan domba. Sebab sebelum hewan tersebut dibeli dari masyarakat, kebanyakan tidak stabil kesehatannya. Sehinga perlu ‘dibetulkan’ untuk menghasilkan penggemukan dan anakan yang memadai.
Saat ini kandang tersebut berisi 1000 ekor domba dan 100 ekor sapi. Domba dan sapi tersebut dibeli dari masyarakat dengan mengacu pada harga perkilogram.
“Ternak-ternak itu jika sudah memenuhi unsur kesehatan, maksimal 15 hari kami rawat, kami kosongkan kandang ini, untuk selanjutnya diganti dengan sapi dan domba baru, begitu seterusnya,” lanjutnya.
Ifan tidak mengerjakannya sendiri, namun ia bersinergi dengan para petani yang tergabung dalam MWCNU (Mejelis Wakil Cabang Nahdatlul Ulama) di Kabupaten Bondowoso. Saat ini setidaknya ada 3 MWCNU yang sudah bersinergi dari 20 MWCNU yang direncanakan. Yaitu MWCNU Grujugan, Sumberwringin, dan Pujer. Ketiga MWCNU itu mempunyai kandang yang memadai, dan sudah beberapa kali panen.
Sapi dan domba yang sudah masuk kandang treatment itu, lalu disebar ke tiga MWCNU tersebut. Tidak gratis, tentu. Ada dua sistem yang dipakai untuk transaksi ternak tersebut. Pertama adalah mandiri. Artinya mitra membeli ternak itu kepada koperasi dengan menggunakan uang sendiri. Harganya bukan perekor tapi perkilogram.
Kedua adalah kemitraan. Yaitu petani membeli hewan kepada koperasi, namun keuangannya ditalangi koperasi, dan untuk pengembalianya dihitung saat panen.
“Kita tidak ingin membeli dan menjual dihitung perekor, tapi perkilogram. Ya kita timbang dulu. Itu untuk menghindari kerugian penjual dan pembeli,” terang Ifan.
MWCNU hanya punya waktu 3 bulan untuk menggemukkan sapi dan domba. Setelah itu (memasuki masa hamil), ternak tersebut dibagikan kepada petani (Ranting NU) yang ada di kecamatan bersangkutan. Tujuannya, selain untuk mengosongkan kandang sebagai persiapan mendapatkan pasokan ternak baru, juga untuk meratakan perputaran ekonomi warga. Sitem pembeliannya sama; bisa mandiri atau kemitraan.
Di kandang yang baru tersebut, sapi dan domba dirawat hingga melahirkan. Waktunya juga 3 bulan, hingga tuntas menyusui. Nah, anak sapi dan domba sekaligus induknya itu, dibeli lagi oleh koperasi. Sebagian dijual ke pasar umum, sebagian lagi (betina) dilempar kembali ke mitra.
“Kami biasa memasok sapi dan domba ke Jawa Barat dan beberapa daerah lain. Setidaknya mereka butuh 6.000 sapi dan domba setiap bulan. Tapi koperasi hanya bisa memenuhi 1.000 sampai 1.500 ekor. Jadi pasar masih kekurangan banyak,” tegas ifan.
Pembibitan dan penggemukan dengan sistem itu ternyata mampu menggeliatkan perputaran roda ekonomi warga. Penghasilan tidak hanya bertumpu di satu kelompok, tapi juga beredar di MWCNU dan Ranting NU.
Tidak hanya itu, breeding dan fattening sapi yang dilakukan Ifan dengan koperasinya, sedikit banyak memberikan kontribusi bagi kebutuhan daging nasional.
Seperti diketahui, setiap tahun produksi daging sapi dalam negeri selalu di bawah kebutuhan nasional. Sesuai rilis Kementerian Pertanian RI, tahun 2018 produksi daging hanya mencapai sekitar 403.668 ton. Padahal kebutuhan daging secara nasional adalah 663.290 ton. Ini artinya pemenuhan kebutuhan daging sapi masyarakat, baru 60,9% yang bisa dipenuhi oleh peternak sapi lokal. Sehingga pasar daging sesungguhnya masih terbuka luas bagi peternak lokal.
Seandainya peternak mampu memenuhi kebutuhan daging nasional, tentu Kementerian Pertanian RI tidak perlu repot-repot untuk mengimpor daging sapi dari Australia, Brazil, dan sebagainya.
Maka kehadiran Ifan dengan kampung ternaknya, bisa jadi pendorong lahirnya peternak lain hingga Indonesia mencapai swasembada daging. Dan bukan tidak mungkin, swasembada daging akan berawal dari Bondowoso.
“Untuk itu, mungkin pemerintah perlu memberikan stimulan bagi peternak, apakah berupa kebijakan atau subsidi, dan sebagainya,” pungkas Ifan.
Pewarta: Aryudi AR
Editor: Ibnu Nawawi