Buat Pupuk Organik, Alumnus Pesantren Ingin Kembalikan Kesuburan Tanah
Jumat, 25 Oktober 2019 | 06:00 WIB
Bondowoso, NU Online
Keberanian mencoba suatu pekerjaan, mungkin perlu. Sebab, bisa jadi dari mencoba-coba itu kelak berhasil dan menjadi pekerjaan yang sesungguhnya. Paling tidak, apa yang dialami oleh Buharto, laik menjadi pelajaran. Lelaki yang tinggal di Desa Karangmelok, Kecamatan Tamanan, Kabupaten Bondowoso, Jawa Timur ini, awalnya memang mencoba-coba membuat pupuk organik dari urine sapi.
“Dan alhamdulillah, berhasil. Terbukti banyak petani yang membutuhkan itu, dan tanya kepada saya,” ujar Buharto mengawali perbicangannya dengan NU Online di kedimannya, Kamis (24/10).
Buharto lahir di Bondowoso saat kalender berada di posisi 9 September 1971. Ia tak pernah bercita-cita untuk menjadi pembuat pupuk organik seperti sekarang ini. Awalnya (2006) ia hanya mencoba-coba mengolah urine sapi menjadi pupuk organik, itupun untuk dipakai sendiri. Sebab, saat itu terjadi kelangkaan pupuk bersubsidi.
“Ternyata hasilnya bagus. Dan petani lain juga melihat hasil itu, sehingga mereka juga memakai pupuk organik yang saya buat,” lanjutnya.
Yang menarik, Buharto mengaku tidak pernah belajar secara khusus soal fermentasi, yakni proses yang dibutuhkan untuk mengubah air kencing sapi menjadi pupuk cair organik. Maklum, ia hanya belajar mengaji di Pondok Pesantren Al-Hasani Al-Lathifi, Kauman, Bondowoso kota. Sedangkan pendidikan formalnya ditempuh di Madrasah Aliah Negeri Bondowoso. Orang tuanya petani banget.
Buharto mengaku hanya bertanya kepada orang-orang yang mengerti soal fermentasi, berikut campuran bahan yang dibutuhkan untuk mengubah urine sapi menjadi pupuk organik cair.
“Itu untung-untungan. Saya tidak pernah belajar soal itu, misalnya mengikuti pelatihan dan sebagainya waktu itu,” urainya.
Namun ternyata pupuk cair yang diproduksi Buharto banyak diminati petani lantaran terbukti dapat menghijaukan tumbuhan (padi) dan meningkatkan produktifitas buahnya. Dan itulah yang membuat Buharto tetap bersemangat untuk melanjutkan memproduksi pupuk cair organik.
Walaupun hanya petani biasa, namun pemikiran Buhato tentang pertanian, cukup bagus. Lebih-lebih soal masa depan sawah. Jika sawah terus-menerus diguyur pupuk kimia, maka pada saatnya nanti kesuburannya akan hilang sama sekali. Jika kesuburan sawah sudah tidak ada, maka ditanami apapun tidak akan menghasilkan sesuatu yang maksimal.
“Kalau itu dibiarkan, maka kita hanya bisa meninggalkan tanah yang tandus untuk anak cucu kita,” ujarnya.
Oleh karena itu, Buharto memantapkan hati untuk terus bergerak meminimalisasi penggunaan pupuk kimia dengan menyediakan pupuk organik. Meskipun diakuinya agak sulit mengubah kebiasaan petani dalam menggunakan pupuk kimia, namun bukan berarti tidak bisa. Banyaknya pesanan petani terhadap pupuk organik yang dibuatnya, menunjukkan kesadaran petani meningkat untuk menggunakan pupuk yang ramah lingkungan itu.
Didorong oleh keinginan tersebut, maka Buharto kemudian mengembangkan pupuk organik padat (2008). Memang tidak langsung besar, karena produksinya tergantung pemesanan petani. Namun nama Buharto sebagai pembuat pupuk organik, cukup dikenal. Dan lambat-laun petani berdatangan untuk memesan dan membeli pupuk organik made in Buharto.
“Sistem pemasarannya masih bersifat hubungan (jaringan) personal, dari mulut ke mulut. Saya tidak pernah memasarkan produk saya, ikut pameran atau apa, misalnya,” terangnya.
Buharto sadar bahwa untuk memasarkan pupuk organik yang dibuatnya, butuh persyaratan yang terkait dengan legalitas formalnya, juga keterangan keamanan produk yang dihasilkannya, dan lain sebagainya. Tapi walaupun begitu, produk pupuk organik yang dihasilkan Buharto tidak bisa dikatakan ilegal. Sebab, kegiatan Buharto dengan pupuk organiknya tidak hanya dipantau oleh Dinas Pertanian Kabupaten Bondowoso, tapi juga dibimbing dan diarahkan oleh pihak-pihak terkait di atasnya.
Tidak hanya bimbingan, tapi bantuan fisik juga banyak digelontorkan oleh dinas terkait. Misalnya, Dinas Pertanian Provinsi Jawa Timur membantu UPPO (Unit Pengelola Pupuk Organik) berupa beberapa sapi, rumah kompos, dan kendaraan roda tiga. Selain itu, melalui dinas terkait Provinsi Jawa Timur juga memberikan bantuan satu unit lumbung pangan. Di luar itu ada juga bantuan mesin pembuat pupuk organik.
“Kementan juga pernah memberikan bantuan, yaitu hand traktor roda 4,” jelasnya.
Saat ini Buharto telah mengmbangkan pupuk organik tak kurang dari 16 jenis. Salah satunya adalah jenis granul. Yaitu pupuk organik berbentuk butiran. Ini bebeda dengan pupuk organik yang biasa (berbentuk tanah). Namun keduanya memiliki kekurangan dan kelebihannya masing-masing.
Buharto tidak hanya memproduksi pupuk, tapi juga membuat racun organik. Yaitu Pesnab (pestisida nabati) dan agen hayati.
“Bahan alami tidak cuma menyediakan bahan baku pupuk, tapi juga racun,” ungkapnya.
Buharto menyatakan bersyukur karena peminat pupuk organik kian meningkat. Berarti kesadaran petani untuk memelihara tanah dalam kondisi subur dan ramah lingkugan, semakin meningkat. Saat ini kalau dirata-ratakan setiap hari, ia bisa menjual pupuk organik sekitar satu ton. Pembelinya berasal dari Jember bagian utara, Situbondo, Banyuwangi, Lumajang dan tentu saja, Bondowoso.
“Kalau musim kemarau seperti saat ini, pembeli pupuk berkurang, tapi kalau sudah musim hujan, biasanya pembelinya membludak,” ucapnya.
Buharto gembira bukan semata-mata karena pupuk organiknya semakin laris. Bukan. Namun yang membuatnya bahagia adalah meningkatnya kesadaran petani tentang bahayanya menggunakan pupuk kimia bagi masa depan tanah. Pupuk kimia yang terus menerus ditaburkan ke tanah, pasti menggerus kesuburannya hingga akhirnya hilang sama sekali.
Kesuburun tanah Indonesia, khususnya di Jawa telah melegenda begitu rupa. Setidaknya hal ini tergambar dari sebuah lagu berjudul Kolam Susu yang dilantunkan oleh Koes Plus. “Orang bilang tanah kita tanah surga, tongkat kayu dan batu jadi tanaman”, demikian potongan lirik lagu tersebut.
Ya, tanah Indonesia adalah seonggok tanah surga. Apa saja ditanam di situ tumbuh. Sampai-sampai tongkat, kayu, bahkan batu bisa jadi tanaman. Sebuah gambaran yang cukup membanggakan kita sebagai bangsa Indenesia. Namun belakangan, tampaknya kebanggaan itu perlu dikoreksi seiring kebiasaan petani untuk terus menggunakan pupuk kimia.
Namun hal itu harus diperangi, tidak ada kata terlambat untuk sebuah kebaikan. Dan Buharto telah memulai itu, betapapun tidak bermaknanya.
Pewarta: Aryudi AR
Editor: Ibnu Nawawi
Terpopuler
1
Khutbah Jumat: Gambaran Orang yang Bangkrut di Akhirat
2
Khutbah Jumat: Menjaga Nilai-Nilai Islam di Tengah Perubahan Zaman
3
Khutbah Jumat: Tolong-Menolong dalam Kebaikan, Bukan Kemaksiatan
4
Khutbah Jumat: 2 Makna Berdoa kepada Allah
5
Khutbah Jumat: Membangun Generasi Kuat dengan Manajemen Keuangan yang Baik
6
Rohaniawan Muslim dan Akselerasi Penyebaran Islam di Amerika
Terkini
Lihat Semua