Sarbumusi NU Dorong Pemerintah Beri Jaminan Sosial kepada Pekerja Informal
Rabu, 22 Desember 2021 | 00:04 WIB
Sebab jaminan sosial merupakan hak konstitusional seluruh rakyat Indonesia guna meningkatkan kesejahteraan, menurunkan ketimpangan, dan mencegah kemiskinan baru. (Foto: NU Online)
Jakarta, NU Online
Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Konfederasi Sarikat Buruh Muslimin Indonesia (K-Sarbumusi) menerbitkan surat rekomendasi klaster ketenagakerjaan. Rekomendasi ini akan dibawa dan diharapkan menjadi putusan dalam Muktamar ke-34 Nahdlatul Ulama (NU) di Lampung, pada 22-23 Desember 2021.
Surat yang ditandatangani Presiden DPP K-Sarbumusi HM Syaiful Bahri Anshori bersama Sekretaris Jenderal Eko Darwanto itu memberikan dua arah rekomendasi yakni ke dalam dan ke luar. Rekomendasi ke dalam diperuntukkan kepada Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), sedangkan rekomendasi ke luar diberikan kepada pemerintah Indonesia.
Salah satu yang menjadi sorotan rekomendasi dari DPP K-Sarbumusi adalah mendorong pemerintah untuk memberikan jaminan sosial kepada para pekerja informal. Sebab jaminan sosial merupakan hak konstitusional seluruh rakyat Indonesia guna meningkatkan kesejahteraan, menurunkan ketimpangan, dan mencegah kemiskinan baru.
“Sampai saat ini jaminan sosial masih fokus kepada pekerja formal. Ke depan harus didorong agar pekerja informal bisa mendapatkan porsi yang sama, termasuk di dalamnya terhadap mereka, pelaku UMKM Mikro,” begitu poin pertama rekomendasi DPP K-Sarbumusi untuk pemerintah. Surat ini diterima NU Online, pada Selasa (21/12/2021).
Karena itulah, di poin kedua, DPP K-Sarbumusi mendorong pemerintah agar menjadikan jaminan sosial ketenagakerjaan sebagai program strategis nasional. Hal ini dilakukan dengan melibatkan APBN dan APBD sehingga ada subsidi pembayaran bagi masyarakat miskin.
Pada poin ketiga, DPP K-Sarbumusi meminta pemerintah untuk membangun sistem pengupahan nasional yang melibatkan APBN, APBD, dan hasil investasi BPJS Ketenagakerjaan. Membangun sistem pengupahan nasional berbasis upah layak dan upah minimum menjadi hak prerogatif pemerintah dalam rangka memberikan perlindungan upah, serta melakukan sinkronisasi kompensasi PHK ke sistem jaminan sosial nasional.
DPP K-Sarbumusi telah melakukan kajian dan mendapati bahwa karakteristik tenaga kerja di Indonesia sebagian besar adalah tamatan SD dan SMP. Melihat itu, DPP K-Sarbumusi mendorong pemerintah melakukan upaya peningkatan kualitas sumber daya manusia (SDM), melalui skilling, up-skilling, dan re-skilling.
“Mendukung pelatihan vokasional yang terpadu dan terintegrasi yang melibatkan seluruh stakeholder (pemangku kebijakan) ketenagakerjaan,” begitu bunyi poin keempat rekomendasi DPP K-Sarbumusi untuk pemerintah.
Kelima, DPP K-Sarbumusi mendukung perlindungan terhadap pekerja disabilitas dan pekerja perempuan. Karena itu, DPP K-Sarbumusi mendorong agar Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS) dan RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (PPRT) segera disahkan.
Pemerintah juga didorong untuk melakukan ratifikasi atau mengadopsi Konvensi Organisasi Perburuhan Internasional (ILO) Nomor 190, sekaligus menyertakan perempuan jaminan sosial seperti perlindungan maternitas.
Di poin keenam, DPP K-Sarbumusi meminta pemerintah untuk memberikan perlindungan kepada Pekerja Migran Indonesia (PMI), baik sebelum, selama, maupun setelah penempatan di luar negeri, serta memberikan pendampingan setelah kembali ke tanah air sehingga mampu mandiri. Untuk itu, DPP K-Sarbumusi mendorong dibangkitkannya kembali program desmigratif.
Ketujuh, DPP K-Sarbumusi mendorong investasi yang berkualitas dengan mengutamakan penggunaan tenaga kerja dalam negeri dan lokal setempat. Kemudian mempertimbangkan kelestarian alam untuk keberlanjutan kehidupan dan mempertahankan kearifan lokal masyarakat setempat.
Kedelapan, DPP K-Sarbumusi turut menyikapi UU Nomor 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja. Pasca putusan Mahkaham Konstitusi beberapa waktu lalu, UU Cipta Kerja itu dinyatakan sebagai inkonstitusional bersyarat. Untuk itu, DPP K-Sarbumusi mendorong agar pemerintah mendengar putusan itu dan melibatkan seluruh unsur dalam perbaikannya.
Poin kesembilan, Sarbumusi mendorong pemerintah untuk menguatkan dan menegaskan sistem pengawasan terhadap permasalahan-permasalahan ketenagakerjaan akibat dampak dari pandemi Covid-19, baik yang terkena Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) maupun yang dirumahkan sehingga pekerja atau buruh mendapatkan hak-haknya.
Karakteristik tenaga kerja Indonesia
Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan, penyerapan tenaga kerja per Februari 2019 masih didominasi pekerja dengan latar belakang pendidikan sekolah dasar (SD) ke bawah sebesar 40,51 persen dan sekolah lanjutan tingkat oertama (SLTP) 20,15 persen. Angka 40,52 persen tidak berubah dalam tiga tahun terakhir meskipun mengalami penurunan sekitar satu persen dibandingkan 2017 yang sebesar 42,23 persen.
Makin rendah tingkat pendidikan pekerja, makin terbatas pilihan pekerjaannya pada kelompok pekerjaan dengan keterampilan rendah. Hal ini meningkatkan kerentanan mereka di pasar tenaga kerja.
Data perbandingan pekerja formal dan informal menunjukkan persentase tenaga kerja formal nasional menurun 10,4 persen pada 2020 dibanding tahun sebelumnya (2019) 44,12 persen menjadi 39,53 persen. Sementara itu, persentase tenaga kerja informal meningkat dari 55,88 persen pada 2019 menjadi 60,47 persen pada 2020, atau naik sebesar 8,21 persen.
Status formal dan informal berpengaruh terhadap cara tenaga kerja beradaptasi dengan situasi krisis dan pendekatan intervensi kebijakan penanggulangan pengangguran. Sebagai contoh, pekerja sektor informal lebih mudah mengubah jenis usaha (fleksibel) tergantung pada kondisi perekonomian daripada pekerja formal.
Di sisi lain terjadi pertumbuhan jumlah tenaga kerja perempuan dari 2018 ke 2019. Pada 2018, tercatat 47,95 juta orang perempuan yang bekerja. Jumlahnya meningkat setahun setelahnya, menjadi 48,75 juta orang. Namun proporsi perempuan terhadap total pekerja menurun, dari 38,66 persen menjadi 38,53 persen pada 2019.
Pekerja perempuan paling banyak berperan sebagai tenaga usaha jasa. Dominasinya mencapai 58,04 persen dibanding pekerja tenaga usaha jasa laki-laki pada 2019. Kondisi itu naik 0,87 persen dibanding tahun sebelumnya.
Perempuan bekerja sebagai tenaga usaha jasa sebesar 58,91 persen dibanding laki-laki. Tingkat partisipasi angkatan kerja perempuan di Indonesia tergolong rendah dibandingkan negara-negara Asia Tenggara lainnya. Krisis akibat pandemi Covid-19 berpotensi makin menekan tingkat partisipasi kerja perempuan.
Pewarta: Aru Lego Triono
Editor: Fathoni Ahmad