Ahmad Saefuddin, pengajar di Universitas Nahdlatul Ulama Jepara, Jawa Tengah (Foto: NU Online/ Syakir NF)
Jakarta, NU Online
Desa Dermolo di Kabupaten Jepara, Jawa Tengah memiliki konflik laten hubungan antarpemeluk agama Kristen dan Islam. Hal itu terjadi akibat adanya keinginan pendirian rumah ibadah Kristen. Namun, hal tersebut lebur dalam tradisi sedekah bumi. Masyarakat dari semua kalangan, dari berbagai agama mengikuti tradisi yang sudah berlangsung puluhan tahun itu.
“Sedekah bumi di Jepara itu selain memiliki dimensi agama dan budaya itu juga memiliki peluang untuk dijadikan medium inklusi sosial,” kata Ahmad Saefuddin saat menjadi panelis pada Annual International Conference on Islamic Studies (AICIS) 2019 di Hotel Mercure Batavia, Jakarta, Kamis (3/10).
Pasalnya, lanjut Saefuddin, masyarakat Nasrani kerap kali mendapatkan stigma dari mayoritas Muslim di sana, seperti tuduhan kristenisasi, hingga kurangnya mendapat pelayanan pendidikan agamanya.
“Kemudian dari pelayanan dasar anak-anak sekolah dasar di sana tidak mendapatkan buku pelajaran agama Kristen SD. Tidak ada satupun yang menyediakan fasilitas buku ajar,” ujar pengajar di Universitas Nahdlatul Ulama Jepara, Jawa Tengah itu.
Ketika ditelisik di dinas terkait, katanya, alasannya normatif karena memang di sana belum mencukupi kuota untuk mengirim guru maupun mengirim buku ajar. Padahal itu merupakan hak mereka sebagai warga.
Tradisi yang digelar setiap Jumat Kliwon bulan Zulhijah di desa tersebut, menurut Saefuddin, dapat meminimalisasi stigma yang berkembang yang berkembang di masyarakat. “Ternyata dari proses sedekah bumi itu bisa meminimalisasi stigma karena ritual-ritual yang berlangsung di dalam sedekah bumi itu meniscayakan antara Kristen, Islam, Budha, agama-agama yang ada di sana itu bisa berkumpul jadi satu,” jelasnya.
Dalam tradisi tahunan itu, terdapat ritual makanan atau makan bersama di makam leluhur desa. Baik umat Kristen, Islam, maupun Budha semuanya membawa makanan dari rumah sendiri-sendiri lalu dimakan bersama di sana.
“Ketika proses tersebut tidak ada lagi stigma, tidak ada lagi hinaan,” katanya.
Sebelumnya, ada arak-arakan hasil bumi keliling desa. Kemudian sampai makam leluhur, biasanya masyarakat antusias berebut hasil bumi yang diarak tersebut. Sebab, mereka menganggap kalau dapat hasil bumi tadi itu dapat berkah sekalipun orang Kristen.
Bahkan, pada malam hari sebelumnya, mereka terjaga dan berdoa bersama di makam leluhur desa. Mereka secara bergantian memimpin doanya. “Agama apa pun terlibat dan biasanya diawali dengan doa bersama. Yang memimpin doa gantian itu dimensi agamanya,” ujarnya.
Meskipun di dalam pikiran mereka ada bayang-bayang konflik, tetapi melalui ritual ini, setidaknya bisa meminimalisasi hal tersebut. Sebab, semua kalangan berkumpul bersama, laki-laki maupun perempuan, baik yang memiliki status sosial yang tinggi seperti kepala desa dan perangkatnya maupun orang-orang yang dianggap biasa. Semuanya terlibat.
“Makanya tadi bisa membaur karena bertemu tadi sehingga meminimalisasi konflik,” katanya.
Pewarta: Syakir NF
Editor: Aryudi AR