Senator Sebut Konflik Bersenjata Picu Krisis Pendidikan di Papua
Selasa, 16 Desember 2025 | 21:00 WIB
Anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI dari Papua Tengah Eka Kristina Yeimo di Kantor YLBHI, Jakarta, pada Selasa (16/12/2025).(Foto: NU Online/Fathur)
Jakarta, NU Online
Senator atau Anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI dari Papua Tengah Eka Kristina Yeimo menegaskan bahwa laporan Papua dalam Cengkeraman Militer yang disusun YLBHI bukanlah narasi fiktif, melainkan potret nyata kondisi masyarakat Papua yang ia saksikan dan alami secara langsung.
Eka menyatakan temuan dalam laporan tersebut sejalan dengan laporan resmi pemerintah daerah serta kesaksian warga di wilayah konflik bersenjata, khususnya di Kabupaten Puncak dan Intan Jaya.
“Ini bukan ilusi, bukan mitos, bukan cerita, tetapi fakta yang orang Papua rasakan dan alami,” ujar Eka pada Peluncuran Laporan Situasi HAM Papua 2023-2025 di Gedung YLBHI, Menteng, Jakarta, Selasa (16/12/2025).
Ia mengungkapkan baru saja kembali dari Kabupaten Puncak, daerah asalnya, tempat ribuan warga dari berbagai distrik mengungsi akibat konflik bersenjata. Eka menyebut dirinya tinggal bersama para pengungsi dan menyaksikan langsung kondisi mereka yang serba terbatas.
Menurut Eka dokumentasi yang disusun YLBHI berhasil merangkai berbagai peristiwa yang selama ini dialami masyarakat Papua, namun kerap dipandang sebagai cerita terpisah tanpa konteks yang utuh.
Ia juga menyoroti laporan yang diterimanya dari Pemerintah Kabupaten Puncak pada (7/6/2025), yang isinya selaras dengan temuan YLBHI, termasuk penggunaan rumah ibadah sebagai tempat penempatan aparat keamanan.
Eka menyayangkan praktik tersebut karena rumah ibadah semestinya menjadi ruang aman bagi warga untuk berdoa dan berlindung, bukan bagian dari konflik.
Selain itu, ia membenarkan adanya kasus kekerasan ekstrem terhadap warga sipil, termasuk peristiwa mutilasi yang juga tercatat dalam laporan resmi pemerintah daerah.
“Data yang disampaikan itu benar, dan saya mengetahui persis kejadiannya,” katanya.
Eka juga menerima laporan dari panitia khusus DPRD Kabupaten Intan Jaya yang datang ke DPD RI pada Oktober 2025. Mereka melaporkan kondisi kemanusiaan yang memburuk, terutama di sektor pendidikan.
Ia menyebut banyak anak tidak lagi bersekolah karena guru mengungsi ke kota. Situasi tersebut diperparah dengan keterbatasan tenaga pengajar dari putra daerah yang juga terdampak konflik.
Menurut Eka krisis pendidikan menjadi ancaman serius bagi masa depan Papua. Ia menilai tanpa penanganan segera, satu generasi Papua berpotensi kehilangan akses pendidikan secara permanen.
“Kalau pendidikan mati, masa depan generasi Papua juga terancam,” ujarnya.
Ia menegaskan bahwa kerusakan sistem pendidikan tidak bisa dilepaskan dari dampak pendekatan keamanan bersenjata yang berlangsung dalam waktu panjang.
Selain pendidikan, Eka menyoroti persoalan pengungsian yang belum tertangani secara memadai, mulai dari sanitasi, layanan dasar, hingga jaminan rasa aman bagi warga.
Dalam pertemuan terakhir dengan panitia khusus Kabupaten Puncak Eka menyebut muncul desakan agar pemerintah segera mencari solusi menyeluruh, termasuk evaluasi terhadap keberadaan aparat bersenjata dalam jumlah besar di wilayah sipil.
Menurutnya jumlah aparat yang melebihi populasi warga justru memperparah ketakutan dan ketidaknyamanan masyarakat.
Eka juga menggambarkan situasi sehari-hari warga yang hidup dalam rasa tidak aman, termasuk pemeriksaan berulang terhadap warga sipil serta pembatasan aktivitas setelah sore hari.
Ia menilai kondisi tersebut mencerminkan krisis kepercayaan antara warga dan negara yang terus membesar.
Eka menegaskan penyelesaian persoalan Papua tidak dapat mengandalkan pendekatan bersenjata semata. Ia mendorong dialog sebagai jalan utama untuk memulihkan rasa aman, membangun kepercayaan, dan menghentikan siklus kekerasan.
“Pendekatan dialog jauh lebih efektif untuk menyelesaikan persoalan-persoalan kemanusiaan di Papua,” katanya.
Ia berharap laporan ini dapat menjadi dasar bagi negara untuk menyusun kebijakan yang lebih adil dan manusiawi, serta membuka jalan bagi penyelesaian konflik Papua yang berorientasi pada perlindungan warga sipil.