Soal Gelar Pahlawan Soeharto, DPR Tegaskan Negara Harus Sensitif terhadap Luka Korban Orde Baru
Selasa, 4 November 2025 | 14:30 WIB
Jakarta, NU Online
Ketua DPR RI Puan Maharani mengingatkan pemerintah agar berhati-hati dalam menyikapi wacana pemberian gelar pahlawan nasional kepada Presiden Ke-2 RI, Soeharto.
Ia menekankan bahwa negara harus mempertimbangkan secara serius rekam jejak sejarah sebelum memutuskan penghargaan yang memiliki bobot moral dan simbolik tersebut.
“Karena ini penting, ya harus dicermati rekam jejaknya dari masa lalu sampai sekarang,” ujar Puan di Kompleks Parlemen, Jakarta, Selasa (4/11/2025).
Puan menjelaskan bahwa gelar pahlawan nasional bukan sekadar bentuk penghormatan seremonial. Gelar tersebut merupakan pengakuan terhadap nilai perjuangan dan keteladanan yang dapat diwariskan kepada generasi berikutnya.
Karena itu, keputusan harus mempertimbangkan aspek sejarah yang utuh, termasuk pengalaman masyarakat yang pernah merasakan dampak langsung dari kebijakan sebuah rezim.
Puan menegaskan, negara harus sensitif terhadap luka para korban Orde Baru. Ia mengingatkan bahwa penetapan gelar pahlawan bagi Soeharto dapat menimbulkan luka baru di tengah publik, terutama bagi korban pelanggaran hak asasi manusia dan mereka yang terdampak kebijakan otoritarian pada masa Orde Baru.
“Namun, ya hal itu tentu saja harus dikaji dengan baik dan cermat,” lanjutnya.
Menurut Puan, pemerintah perlu menempatkan kebenaran sejarah dan nurani publik sebagai dasar pertimbangan. Bagi rakyat, pahlawan sejati adalah sosok yang memperjuangkan kepentingan dan martabat rakyat, bukan sekadar figur yang pernah menduduki tampuk kekuasaan.
Wacana pemberian gelar pahlawan kepada Soeharto sebelumnya menuai kritik dari kalangan masyarakat sipil dan akademisi. Juru Bicara Amnesty International Indonesia, Haeril Halim, menyebut usulan tersebut sebagai bentuk pengingkaran terhadap semangat dan amanat reformasi.
“Kami menganggap menominasikan Soeharto sebagai Pahlawan Nasional itu sebagai pengkhianatan terbesar terhadap mandat reformasi. Menghidupkan Soeharto lewat penganugerahan Pahlawan Nasional sama saja dengan mengakhiri reformasi itu sendiri,” ujar Haeril dalam konferensi pers bertajuk Penolakan Gelar Pahlawan Soeharto: Impunitas dan Kejahatan Hak Asasi Manusia di Kantor KontraS, Jakarta Pusat, Senin (3/11/2025).
Haeril menilai bahwa upaya tersebut mengancam nilai keadilan dan demokrasi. Ia menegaskan, banyak kajian akademik yang menunjukkan keterlibatan Soeharto dalam berbagai pelanggaran HAM, praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme, serta kerusakan lingkungan selama 32 tahun pemerintahannya.
“Nama Soeharto bukan hanya tidak layak dianugerahi gelar pahlawan, tetapi juga tidak pantas masuk dalam daftar nominasi,” tegas Haeril.
Ia juga menilai bahwa munculnya usulan tersebut tidak terlepas dari kepentingan politik kelompok yang masih memiliki hubungan dengan keluarga Soeharto atau lingkar kekuasaan saat ini.
“Ini adalah ekosistem impunitas sempurna yang sedang dipertontonkan pemerintah,” ujarnya.
Haeril kemudian mempertanyakan dasar moral atas wacana tersebut.
“Dengan semua catatan kelam itu, bagaimana mungkin Soeharto yang menjadi simbol otoritarianisme dan pelanggaran HAM berat justru dinominasikan sebagai Pahlawan Nasional?” tambahnya.
Kementerian Sosial sebelumnya mengusulkan 40 nama tokoh untuk dianugerahi gelar pahlawan nasional tahun ini. Di antaranya ialah aktivis buruh perempuan Marsinah, dua mantan presiden Soeharto dan Abdurrahman Wahid (Gus Dur), serta para ulama; Syaikhona Muhammad Kholil dan KH Bisri Syansuri, serta tokoh militer seperti Jenderal TNI (Purn) M Jusuf dan Jenderal TNI (Purn) Ali Sadikin.