Sekretaris Jenderal Internasional Asian Muslim Action Network (AMAN) dan Country Representative Aman Indonesia, Dwi Rubiyanti Kholifah. (Foto: dok. AMAN)
Jakarta, NU Online
Melihat isi surat Zakiah Aini (25), teroris pelaku penyerangan Mabes Polri pada Rabu (31/3), Sekretaris Jenderal Internasional Asian Muslim Action Network (AMAN) dan Country Representative Aman Indonesia, Dwi Rubiyanti Kholifah mengimbau kepada seluruh pihak untuk menjadikan isu radikalisme sebagai skala prioritas pencegahan terorisme.
"Kalau teman-teman baca di surat sebenarnya tipenya hampir sama, apa yang terjadi pada perempuan maupun laki-laki, misalnya, mengharamkan bank atau membid'ahkan sesuatu atau misalnya anti-pemimpin non-muslim kemudian anti ini, anti itu dan sebagainya. Itu tipikal banget di proses radikalisasi," tutur Ruby Kholifah kepada NU Online, Jumat (2/4).
Sebagai aktivis perempuan, Ruby menerangkan keterlibatan perempuan ditinjau melalui dua perspektif. Pertama, adanya proses shifting (perubahan) melalui media sosial sehingga mempercepat proses penanaman ideologi tanpa harus ada organisasi yang mewadahinya.
Dia mengutip Prof Ruhaini, shifting from backyard to dining room (dari halaman belakang ke meja makan) sebagai metafor untuk menggambarkan perubahan kondisi tanpa perlu lagi dilakukan secara kolektif. Tetapi setiap individu yang sudah terkoneksi dengan ideologi tersebut dapat melancarkan aksinya.
"Kedua, shifting (berubah)-nya itu ada pada aktor Indonesia sebagai ladang yang clear," jelas Ruby.
Perguliran aktor dari pemain tradisional laki-laki ke perempuan atau anak perempuan merupakan perkembangan strategi baru di kelompok ekstremis. "Nah ini yang unik dan penting untuk diperhatikan, karena perempuan dan anak menjadi aktor baru berarti mereka mendapatkan ruang besar dalam konteks eksekusi mati ini," kata Ruby.
Perkembangan yang dimaksudkan adalah, pertama shifting (perubahan) peran dari laki-laki ke perempuan dan anak perempuan disebabkan oleh krisis maskulinitas yang menimbulkan keraguan aktor laki-laki untuk perform sehingga mengandalkan perempuan untuk maju menjadi eksekutor.
"Nah kelompok-kelompok perempuan di dalam konteks ekstremisme ini sudah lama mengalami proses radikalisasi, tetapi mereka baru mendapatkan momentum akhir-akhir ini. Momentum mereka merasa krisis maskulinitas, maka mereka harus maju ke depan sebagai eksekutor," ucapnya.
Propaganda ISIS dengan membangun romantisme yang ditargetkan pada anak muda maupun perempuan melalui image (bayangan) perempuan kombatan. Lalu menggambarkan keindahan-keindahan dengan busana yang dikenakan. Memadukan jiwa ksatria yang feminis, dan itu mendapat respons luar biasa.
"Dan itu buying banget buat sejumlah perempuan yang mereka mengalami persoalan galau dan menemukan jawabannya di aksi-aksi terorisme ini," ungkap Ruby.
Sebagai pemerhati isu-isu gender, Ruby menyayangkan minimnya pengarusutamaan gender oleh pihak keamanan dalam konteks penanganan ekstremisme yang hanya terbatas pada peningkatan peran perempuan dalam pencegahan. Tetapi, lemah dalam konteks menggunakan lensa gender dalam memotret persoalan pengalaman ketidakadilan gender pada perempuan yang menariknya untuk berkontribusi mengikuti aksi ekstremisme.
"Mungkin dibicarakan, tapi tidak mendalam bahwa misalnya Gender Analysis Pathway (GAP) atau jejak-jejak orang masuk ke radikalisasi yang harus dipandang dengan kacamata gender itu berbeda banget. Perempuan banyak sekali pintu masuknya melalui perkawinan baik itu matchmaker-nya melalui online di jaringan mereka, maupun melalui jaringan sekolah/kampus di mana mereka belajar," ungkap Ruby yang anggota Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) ini.
Ruby mencontohkan istri Santoso teroris Mujahidin Indonesia Timur (MIT), Dian Novi mantan buruh migran, dan Ika Puspitasari. Membuktikan ekstremisme lewat pintu perkawinan itu sangat banyak. Selain itu, intervensi melalui media sosial juga perlu mendapatkan perhatian untuk lebih waspada dalam menerima paham yang mengarah kepada proses radikalisasi.
Kontributor: Syifa Arrahmah
Editor: Fathoni Ahmad