Soal Polemik Nikah Beda Agama, Perlu Harmonisasi UU Perkawinan dan UU Adminduk
Sabtu, 22 Juli 2023 | 16:30 WIB
Guru Besar Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, Ahmad Tholabi Kharlie. (Foto: uinjkt.ac.id)
Jakarta, NU Online
Mahkamah Agung menerbitkan Surat Edaran (SE MA) Nomor 2 Tahun 2023. Penerbitan SE MA ini memperkuat keberadaan UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang melarang pernikahan antarumat berbeda agama. Namun, hal ini masih menyisakan PR di bidang legislasi mengingat ada UU Nomor 23 Tahun 2006 Pasal 35 huruf (a) yang mengisyaratkan kebolehan hal tersebut.
Melihat fakta demikian, Guru Besar Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, Ahmad Tholabi Kharlie menyampaikan perlu harmonisasi antar-norma dalam dua UU yang tampak bertentangan itu.
Tholabi menyebut bahwa harmonisasi antar-norma penting dilakukan. Hal ini mengingat secara faktual, satu sisi UU Perkawinan tidak memberi ruang perkawinan beda agama. Namun di sisi yang lain, UU Adminduk mengisyaratkan terdapat ruang soal itu, khususnya di penjelasan Pasal 35 huruf (a) UU No 23/2006.
“Situasi inilah yang harus diharmonisasikan, jangan tabrakan antar-norma,” katanya kepada NU Online pada Jumat (21/7/2023).
Jika dilakukan harmonisasi, muncul pertanyaan lanjutan, siapa mengikuti siapa? UU Adminduk mengikuti UU Perkawinan atau sebaliknya?
Menjawab pertanyaan itu, Prof Tholabi menegaskan bahwa jika terkait dengan urusan perkawinan, tentu rezim perkawinan yang diterapkan. Artinya, UU Nomor 23 Tahun 2006 tentang Adminduk harus mengikuti norma yang sudah ditetapkan dalam UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
“UU Adminduk tentu mengikuti frame UU Perkawinan. Jangan sampai Adminduk lompat pagar di luar urusan administrasi. Mekanisme harmonisasi dengan melakukan perubahan oleh DPR dan Pemerintah terhadap UU Adminduk khususnya di penjelasan Pasal 35 huruf (a) UU Adminduk,” pungkasnya.
Lebih lanjut, Tholabi juga menyampaikan bahwa harmonisasi UU tersebut juga perlu untuk tetang berpegangan pada Hak Asasi Manusia (HAM) dan agama yang khas Indonesia.
“Ya, jangan lupa Indonesia memiliki kekhasan dibanding negara lainnya. Soal agama, Indonesia memiliki Sila pertama Pancasila, Indonesia memiliki Pasal 29 ayat (1) UUD 1945. Tapi ingat, Indonesia bukan berarti negara teokrasi. Indonesia adalah negara berketuhanan,” katanya.
Sementara itu, berkaitan dengan HAM di Indonesia, Tholabi menyampaikan bahwa hal tersebut juga dibatasi dengan UU. “Ingat, di pasal 28J UUD 1945, kebebasan yang tertuang dalam norma tentang HAM memiliki batasan oleh UU dengan pertimbangan moral, nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum. Itulah kekhasan agama dan HAM ala Indonesia,” kata dia.
“Dalam konteks pengaturan aturan hukum di Indonesia tidak boleh menyimpang dari kedua hal tersebut,” pungkas Wakil Rektor Bidang Akademik UIN Syarif Hidayatullah Jakarta itu.