Nasional

Surplus Perwira Jadi Penyebab Munculnya RUU TNI, Pakar: Militer Bisa Dapat Imunitas Hukum

Senin, 17 Maret 2025 | 10:00 WIB

Surplus Perwira Jadi Penyebab Munculnya RUU TNI, Pakar: Militer Bisa Dapat Imunitas Hukum

Gambar ini hanya sebagai ilustrasi berita. (Foto: tni.mil.id)

Jakarta, NU Online

Pada saat ini terdapat surplus perwira menengah dan perwira tinggi di TNI dan Polri yang membuat pemerintah memutar otak untuk menempatkan posisi para perwira di tempat yang dinilai strategis.


Kemudian pemerintah berinisiatif untuk menempatkan para perwira yang tidak memiliki jabatan ini ke dalam posisi pemerintahan sipil.


Setelah beberapa tahun lalu pada masa pemerintahan Jokowi yang menempatkan para perwira polisi ke dalam jabatan sipil, saat ini pada masa Prabowo muncul rancangan undang-undang (RUU) untuk membolehkan TNI mengisi jabatan sipil di luar ketentuan UU Nomor 34 Tahun 2004.


Isu ini mencuat sejak akhir tahun lalu, tepatnya pada 25 November 2024, dalam rapat Komisi I DPR RI dengan Menteri Pertahanan Sjafri Sjamsoeddin dan Panglima TNI Agus Subiyanto beserta Kepala Staf Angkatan Darat (Kasad) Maruli Simanjuntak, Kepala Staf Angkatan Laut (Kasal) Muhammad Ali, dan Kepala Staf Angkatan Udara (Kasau) Mohamad Tonny Harjono.  


Pakar Hukum Tata Negara (HTN) Sekolah Tinggi Hukum (STH) Indonesia Jentera Bivitri Susanti merespons problem surplus perwira dan RUU TNI.


Menurut Bivitri, perwira TNI merupakan beban yang bukan tanggungan wilayah sipil dan harus diselesaikan menggunakan kebijakan.


"Surplus perwira itu bukan berarti bebannya harus dibagi ke wilayah sipil, artinya kalau ada surplus perwira silakan diselesaikan secara kebijakan," ucap Bivitri kepada NU Online saat dihubungi pada Ahad (16/3/2025).


Ia menyarankan agar pemerintah melakukan analisis di dalam rekrutmen perwira. Jika terlalu berlebihan maka bisa dilakukan pensiun dini.


"Kemudian dianalisis sebenarnya rekrutmennya apakah sudah berlebih-lebihan? Kemudian surplus perwira juga halnya seperti sebuah kantor. Jika ada di titik tertentu di bagian atas, pasti ada kebijakan yang bisa dilakukan, misalnya pensiun dini dengan tawaran tertentu dan lain sebagainya," tutur Bivitri.


Dalam tata kelola negara, kata Bivitri, jika terdapat surplus SDM pada satu institusi maka tidak bisa dilimpahkan kepada institusi yang lainnya karena merupakan dua hal yang berbeda.


Bivitri mengakui bahwa kompetensi tentara merupakan hal yang bagus dari segi pertahanan maupun penggunaan alutsista. Kompetensi ini berbeda dengan jabatan sipil karena yang dibutuhkan adalah soal manajemen tata kelola.


"Kompetensi tentara memang bagus dari segi pertahanan, teknik perang, penggunaan alutsista dan lain sebagainya, tetapi di dalam jabatan sipil bukan hal itu yang dibutuhkan tapi kompetensi yang dibutuhkan, demokrasi good governance, manajemen tata kelola. Jadi tidak kompatibel antara kapasitas atau menguasai kompetensi yang dimiliki oleh para perwira, tidak bisa dibagi-bagi ke wilayah sipil," terangnya


Lebih lanjut, Bivitri menegaskan bahwa TNI merupakan alat negara yang bertugas untuk mempertahankan, melindungi dan memelihara keutuhan dan kedaulatan negara.


"Saya ingatkan dalam konstitusi kita UUD 1945 pasal 30 ayat 3 kata-katanya adalah TNI sebagai alat negara bertugas mempertahankan melindungi dan memelihara keutuhan dan kedaulatan negara," jelasnya.


Bivitri mengatakan bahwa di dalam UUD maupun UU ada 3 alat negara yaitu TNI, Polri dan BIN. Ia menjelaskan alasan disebut sebagai alat karena diberikan akses khusus terhadap senjata atau alat kekerasan.


Ia mengimbau tentara untuk tetap berada di wilayah ketentaraan karena pemerintahan yang demokratis harus mendengarkan lapisan bawah menuju atas, sedangkan tentara mengikuti komando pimpinan dari atas yang berpotensi akan mencederai demokrasi.


Bivitri memaparkan alasan TNI tidak boleh mengisi jabatan sipil, yakni jika terdapat suatu tindak pidana terhadap anggota TNI maka penegak hukum tidak bisa mendakwanya lantaran sistem peradilan militer yang membuat imunitas hukum.


"Mengapa TNI tidak boleh mengisi jabatan sipil? Karena ketika melakukan suatu kasus atau tindak pidana, penegak hukum tidak bisa mendakwa TNI karena ada yang namanya peradilan militer sedangkan UU tentang peradilan militernya belum diubah, sedangkan sejak 2004 diamanatkan untuk diubah tetapi tidak diubah sehingga membuat imunitas hukum terhadap TNI," pungkasnya.


Anggota Komisi I DPR RI Yoyok Riyo Sudibyo mengatakan bahwa di jajaran TNI terdapat 200 lebih perwira tinggi yang tidak memiliki jabatan.


"Jajaran TNI sekarang 200 lebih jenderal yang nganggur di AU, AD dan AL itu ada yang bintang 1 sampai 3, yang namanya perwira tinggi tidak bisa diragukan lagi kemampuannya, oleh karenanya UU TNI mohonlah di Komisi I semuanya juga yang terkait ini harus menjadi prioritas (direvisi)," katanya.


Yoyok meminta untuk semua yang ada di komisi I DPR RI untuk memprioritaskan merevisi UU TNI untuk menempatkan TNI di luar daripada 10 jabatan sipil yang diisi oleh TNI aktif.


"Kalau memang disitu (TNI) sudah tidak ada job keluarkan mereka, Kementerian Pertahanan masih butuh banyak dan kementerian di luar pertahanan juga masih butuh banyak tenaga beliau," ucapnya.