Tindakan Rasis Senator Arya Wedakarna Tunjukkan Tiga Gejala Kultural di Bali
Jumat, 5 Januari 2024 | 17:00 WIB
Guru Besar Antropologi Budaya dari Universitas Hindu Negeri IGB Sugriwa Denpasar Bali, I Nyoman Yoga Segara. (Foto: tangkapan layar Youtube Hindu Channel)
Jakarta, NU Online
Anggota DPD RI asal Bali, Arya Wedakarna, mendapat sorotan tajam setelah dianggap menampilkan politik identitas berdasarkan suku, agama, ras (SARA) tertentu. Beberapa pihak mengkritiknya karena dianggap menunjukkan kebencian terhadap individu yang berbeda dengan identitasnya.
Kontroversi semakin berkembang ketika Arya Wedakarna menyatakan ketidaksetujuannya terhadap penampilan frontline Bandara Ngurah Rai Bali yang menggunakan jilbab. Dalam pernyataannya, Arya mengklaim bahwa jilbab bukan bagian dari tradisi Bali. Pernyataannya itu menciptakan reaksi tajam dari berbagai kalangan.
Guru Besar Antropologi Budaya dari Universitas Hindu Negeri IGB Sugriwa Denpasar Bali, I Nyoman Yoga Segara menyatakan bahwa pernyataan Arya Wedakarna menunjukkan tiga gejala kultural.
"Pertama, perasaan terdesak oleh pendatang dengan karakteristik yang relatif sama di semua tempat. Misalnya memiliki etos yang tinggi, pekerja keras, dan bersedia adaptif dengan lingkungan baru," ungkap Segara kepada NU Online, Jumat (5/1/2023).
Kedua, terlihat adanya persepsi pendatang mendapatkan privilege melalui narasi nilai-nilai keberagaman dan penguatan pluralisme. Padahal narasi ini juga berlaku sama di semua wilayah NKRI.
"Oleh karena itu, orang Bali di luar Bali juga tidak boleh mendapat perlakuan diskriminatif dari budaya atau agama mayoritas di wilayah itu," ujarnya.
Ketiga, Segara mengamati adanya perasaan mayoritas memiliki hak untuk mendominasi pendatang, menentukan standar nilai sendiri, tanpa memberikan ruang kepada minoritas untuk berekspresi. Padahal idealnya, standar nilai itu dapat saja dibuat mayoritas, namun harus tetap dilakukan sesuai porsi masyarakat pendukungnya.
"Misalnya, budaya Bali adalah budaya dominan. Ia harus dihormati bersama, tetapi budaya dominan itu juga tetap memberi ruang kepada minoritas untuk mengekspresikan dirinya," imbuh I Nyoman Yoga Segara.
Segara menjelaskan, masyarakat Bali yang dikenal sebagai komunitas terbuka terhadap pendatang dari luar, kini menghadapi perubahan dinamika sosial. Meskipun sejarah awal masuknya Islam ke Bali ditandai oleh toleransi dan akulturasi budaya, beberapa kelompok di Bali sekarang terkesan agak antipati terhadap orang-orang dari luar.
"Dalam pembacaan ulang sejarah awal masuknya Islam ke Bali, Islam di Bali memberi keberagaman. Itu sebabnya sampai saat ini banyak terwariskan kampung-kampung Islam di hampir semua wilayah di Bali. Bahkan akulturasi dan silang budaya sudah terjadi. Beberapa kearifan lokal juga sudah menjadi “milik bersama”. Budaya menyama braya, ngejot dan metulungan sudah sangat lama dilakukan oleh umat Hindu dan Islam di Bali," kata Segara.
Memasuki era 2000-an dan menguatnya politik identitas, mulai terbangun adagium “aku” dan “kamu”, “kami” dan “kalian”. Gejala ini menurut Segara semakin menguat dengan masuknya pendatang yang perlahan mulai menguasai sektor publik dan jasa. Dalam beberapa pekerjaan di sektor itu, orang Bali ada yang tidak mampu bersaing.