Ukuran Kasus Toleransi dan Intoleransi dalam Peliputan Media
Senin, 12 Desember 2022 | 12:00 WIB
Kegiatan bedah Modul Pedoman Peliputan Konflik Keagamaan yang diselenggarakan Biro Humas, Data, dan Informasi Kementerian Agama di Bogor, Jawa Barat, Ahad (11/12/2022). (Foto: NU Online/Fathoni)
Jakarta, NU Online
Media, baik online, cetak, maupun televisi mempunyai peran strategis dalam membentuk opini positif masyarakat terkait kasus yang berkaitan dengan toleransi dan intoleransi, terutama soal peliputan konflik keagamaan.
Menurut Pemerhati Media, Savic Ali, jurnalis perlu menghindari bias-bias pribadi dan kelompok dalam meliput konflik, baik konflik keagamaan murni maupun konflik politik yang memanfaatkan sentimen-sentimen agama. Menurutnya, ini sangat terkait dengan pemahaman toleransi dan intoleransi.
“Toleransi itu sikap saling menghargai dan menghormati sesuatu yang tidak kita sukai. Asalkan hal itu tidak melanggar konstitusi, hukum, dan kemanusiaan, harus kita hormati,” ujar Savic, Ahad (11/12/2022) dalam kegiatan bedah Modul Pedoman Peliputan Konflik Keagamaan yang diselenggarakan Biro Humas, Data, dan Informasi Kementerian Agama di Bogor, Jawa Barat.
Dalam pandangan teologis, lanjut Savic, ada banyak keyakinan-keyakinan di luar agama Islam yang mungkin umat Islam tidak setuju. Namun, harus tetap dihormati karena keyakinan beragama dijamin oleh konstitusi.
“Begitu juga dengan dimensi hukum dan kemanusiaan, selama perbedaan keyakinan dan pandangan keagamaan tidak melanggar hukum dan tidak mencederai nilai-nilai kemanusiaan, maka harus dihormati,” jelas Ketua PBNU ini.
Baca Juga
Konflik Agama Bukan Watak Indonesia
Sebab itu, menurut dia, media perlu menghindari hal-hal yang dapat mengakibatkan konflik keagamaan makin meluas. Di antaranya, terang Savic, membuang bias-bias pribadi dan kelompok, mengedepankan kepentingan korban, memilih dan memverifikasi narasumber yang tepat, berperspektif hak asasi manusia (HAM).
Draft pedoman peliputan tersebut juga diapresiasi oleh Anggota Dewan Pers yang juga hadir dalam kegiatan diskusi dengan para wartawan dari sejumlah media itu.
"Peliputan masalah ini (konflik keagamaan) sangat menguji bagaimana kita harus bersikap, menguji independensi kita. Kami berterima kasih Kemenag telah menyusun panduan ini," ujar Sapto.
Ia menerangkan bahwa terkait peliputan keagamaan juga sudah diatur di Dewan Pers. Tetapi regulasinya masih umum. “Pedoman yang dibuat Kementerian Agama ini spesifik sehingga saling melengkapi,” ucap Sapto.
Sementara itu, Staf Khusus Menteri Agama Bidang Media dan Komunikasi Publik Wibowo Prasetyo mengungkapkan penyusunan modul ini merupaka upaya agar insan media memiliki keberpihakan dan semangat bersama dalam menguatkan toleransi dan moderasi beragama.
"Peliputan konflik keagamaan tidak mudah karena ada beberapa persyaratan yang perlu dipenuhi jurnalis. Oleh karena itu, Kementerian Agama mencoba menyusun modul ini," ujar Wibowo.
"Ini sekaligus menjadi sumbangsih Kemenag membantu Dewan Pers untuk memberikan panduan bagi media dalam meliput konflik keagamaan," imbuh dia.
Pedoman ini, lanjut Wibowo, diharapkan dapat meminimalisasi potensi kesalahan dalam peliputan konflik keagamaan. "Modul ini tentunya belum sempurna. Oleh akrena itu, kami berharap hari ini rekan-rekan media dapat memberikan sumbang saran untuk menyempurnakannya," papar Wibowo.
Pewarta: Fathoni Ahmad
Editor: Kendi Setiawan