Umrah Mandiri Dianggap Berisiko, Pengusaha Travel Minta Regulasi Ketat
Rabu, 29 Oktober 2025 | 12:00 WIB
Jakarta, NU Online
Pemerintah kini melegalkan umrah mandiri sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2025 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah. Hal itu untuk menyesuaikan kebijakan yang ditetapkan oleh pemerintah Arab Saudi. Namun, asosiasi pengusaha menilai kebijakan ini dianggap membahayakan kelangsungan bisnis dan berpotensi merugikan jamaah.
Pengusaha travel umrah dan haji asal Bekasi Rizky Fadilah menilai fenomena umrah mandiri sebenarnya bukan hal baru melalui undang-undang, kebijakan ini membuka peluang baru bagi pelaku usaha untuk terus berinovasi, meski di sisi lain memunculkan kekhawatiran tersendiri.
"Harapannya, semoga banyak travel haji dan umrah yang tetap eksis, karena sektor ini juga dapat menyerap tenaga kerja," ujar Rizky kepada NU Online, Rabu (29/10/2025).
Rizky menambahkan, secara bisnis, jumlah penyelenggara travel umrah sudah cukup banyak. Dengan hadirnya skema umrah mandiri, ia khawatir sebagian calon jemaah akan lebih memilih berangkat secara mandiri.
"Yang dikhawatirkan, para pengusaha travel jangan sampai gulung tikar," jelasnya.
Baca Juga
Niat Badal Umrah
Sekretaris Jenderal Amphuri Zaky Zakaria mengatakan Umrah Mandiri menimbulkan kegelisahan mendalam di kalangan penyelenggara resmi dan pelaku usaha umrah dan haji di seluruh Indonesia.
Di samping itu, Zaky menilai Umrah Mandiri mengandung bahaya dan risiko bagi Jemaah hingga negara. "Secara konsep, Umrah Mandiri dipahami sebagai perjalanan umrah yang dilakukan jemaah tanpa melalui PPIU resmi. Sekilas tampak seolah memberi kebebasan, padahal mengandung risiko besar bagi jemaah dan negara," kata Zaky.
Selain itu, kata Zaky, jamaah berpotensi tidak mendapatkan pembinaan manasik, bimbingan fiqih, dan perlindungan hukum yang semestinya.
Kemudian jika terjadi gagal berangkat, keterlambatan visa, kehilangan bagasi, atau penipuan, jemaah tidak memiliki pihak yang bertanggung jawab secara hukum.
"Banyak jamaah awam tidak memahami regulasi Saudi, visa, miqat, dan aturan syar‘i, sehingga rawan melanggar manasik atau bahkan terkena sanksi di Tanah Suci,” kata Zaky.
Sebelumnya, Wakil Menteri Haji dan Umrah Dahnil Anzar Simanjuntak menjelaskan bahwa perubahan kebijakan ini merupakan respons atas dinamika regulasi yang terjadi di Arab Saudi.
"Untuk itu, perlu regulasi yang memberikan perlindungan untuk jamaah umrah kita yang memilih umrah mandiri, serta juga melindungi ekosistem ekonominya," kata Dahnil kepada NU Online.
Pemerintah, kata Dahnil, memandang perlu untuk memberikan payung hukum dan mekanisme pengaturan yang jelas agar pelaksanaannya tetap terjamin aspek keamanan, perlindungan, serta ketertiban administrasinya.
Diketahui, Pemerintah Indonesia resmi melegalkan umrah mandiri melalui UU Nomor 14 Tahun 2025 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah. Umrah mandiri ini diatur dalam Pasal 86 UU PIHU dengan syarat yang lebih rinci dalam Pasal 87A beleid yang sama.
Syarat ini mewajibkan calon jamaah umrah memiliki paspor yang berlaku paling singkat enam bulan dan memiliki tiket pulang pergi. Kemudian, memiliki surat keterangan sehat dari dokter, serta memiliki visa, tanda bukti pembelian paket layanan dari penyedia layanan.