Jakarta, NU Online
Kebudayaan yang humanis di segala bidang mempunyai potensi besar melakukan perubahan. Itulah yang selalu ditekankan oleh almarhum Bisri Effendy dalam setiap goresan pemikiran yang ia tulis, dalam setiap inisiasi yang ia gerakkan. Bisa dikatakan, Bisri Effendy merupakan sosok penggugah kebudayaan, termasuk dalam dunia tulis-menulis atau jurnalisme.
Ia mendorong dunia yang digeluti oleh para jurnalis, intelektual, peneliti, dosen, termasuk para aktivis dan mahasiswa itu harus mampu menciptakan dinamisasi perubahan. Untuk itu, para jurnalis dan pihak-pihak yang mempunyai concern dalam bidang penulisan mesti berani menulis tentang sesuatu yang berbeda.
Setidaknya pon-poin penting tersebut yang ditekankan almarhum Bisri Effendy pada 29 Juni 2018 lalu di wilayah Puncak, Kabupaten Bogor, Jawa Barat dalam sebuah kelas jurnalistik, penulis menjadi salah satu partisipan dalam kelas yang diikuti oleh para penulis muda dari berbagai media itu.
Menurut Bisri Effendy, menulis kebudayaan bukan sekadar menulis ‘apa’ atau ‘siapa’, tetapi menulis ‘tentang apa’. Menulis ‘tentang apa’ ini memungkinkan persoalan yang melingkupi seseorang yang menjadi subjek penulisan bisa teridentifikasi secara luas.
Penulis buku Kebudayaan Orde Baru itu mendorong kepada penulis-penulis muda agar berani menyajikan tulisan-tulisan yang berbeda dengan konten-konten yang sudah ada selama ini. “Kalau menulis tentang hal yang biasa atau penulis tidak berani menulis tentang sesuatu yang berbeda, ya tidak akan ada perubahan,” ujar Bisri Effendy kala itu.
Bagi Bisri Effendy, jiwa-jiwa pembaharu dibutuhkan bangsa ini untuk menapak perubahan ke arah yang lebih baik untuk rakyat banyak. Maka dari itu, ia tertarik dengan pemikiran-pemikiran sosok KH Abdurrahman Wahid atau Gus Dur karena hal baru bernuansa transformatif, visioner, dan berkebudayaan lekat dengan Gus Dur.
Walau pun Gus Dur tidak banyak dipahami oleh sejumlah kalangan karena pikirannya yang terlalu maju, bagi Bisri Effendy, Gus Dur adalah tokoh yang tepat sebagai mercusuar dan teladan generasi mendatang. Dari hal itu, lewat lembaga kebudayaannya, Desantara, Bisri Effendy berupaya merajut pemikiran-pemikiran Gus Dur pada tahun 1980-an dengan berupaya menerbitkan kembali tulisan-tulisannya. Dengan harapan, lewat pemikiran-pemikiran Gus Dur, prinsip-prinsip budaya tetap menuntun setiap perubahan.
Dalam menulis pengantar yang cukup panjang untuk buku “Tuhan Tidak Perlu Dibela” yang berisi tulisan-tulisan Gus Dur, Bisri Effendy memulai ungkapan bahwa Gus Dur adalah sosok cendekiawan misterius. Gus Dur, ungkapnya, seperti halnya rahasia Tuhan yang tidak diketahui oleh manusia, bahkan oleh kelompoknya sendiri di NU dan pondok pesantren.
Kini, sang guru penggerak perubahan lewat prinsip-prinsip kebudayaannya itu telah meninggalkan kita semua. Dikenal juga sebagai intelektual NU, Nahdliyin kehilangan sosok yang begitu bersahabat dan punya interest tinggi terhadap semangat anak-anak muda sebagai pemegang tampuk masa depan bangsa dan negara.
Bisri Effendy meninggal dunia pada Senin, 17 Agustus 2020 malam tepat di hari peringatan Proklamasi Kemerdekaan RI yang ke-75 tahun. Almarhum disemayamkan di kediamannya di Kukusan, Depok, Jawa Barat sebelum dikebumikan.
Bisri Effendy lahir di Jember, Jawa Timur pada 12 Maret 1953. Almarhum merupakan alumnus Pondok Pesantren Salafiyah Darul Hikam Bendo, Pare, Kediri, Jawa Timur. Ia menyelesaikan studi S1-nya di Fakultas Adab IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
Bisri Effendy juga bergelut di bidang riset. Ia aktif di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). Bisri dinilai sebagai guru riset anak-anak muda NU. Dalam setiap riset dan dunia penulisan secara umum, Bisri Effendy menekankan untuk merdeka secara subyek. Prinsip ke-kita-an di dalam riset benar-benar harus ditampilkan. Berangkat dari hal itu, Bisri Effendy mengajarkan kepada anak-anak muda untuk senantiasa menjaga keseimbangan antara subyek dan obyek.
Selamat jalan, Pak Bisri... Lahu al-Fatihah...
Penulis: Fathoni Ahmad
Editor: Muchlishon