Hj Rofiqoh Dharto Wahab, pelantun kasidah legendaris generasi pertama meninggal pada Rabu, 12 Juli 2023 lalu. (Foto: NU Online)
Saya mengetahui Hj Rofiqoh Dharto Wahab pada 2012 saat membaca novel berbahasa Sunda, Bentang Pasantren karya Usep Romli HM. Pada novel itu, seorang santri bernama Aep jatuh cinta kepada putri ajengan pemimpin pesantren bernama Imas. Selain cantik jelita, Imas juga ahli membaca Alquran dengan suara merdu. Suaranya mirip Rofiqoh Dharto Wahab. (hlm. 9)
Waktu mengunyah-ngunyah kalimat itu, saya betul-betul tidak bisa membayangkan bagaimana kemerduan Imas yang mirip Rofiqoh Dharto Wahab. Kemerduan semacam itu adalah sesuatu yang tak ada referensinya dalam ingatan.
Setelah berhenti sejenak, saya memutuskan untuk mencari nama itu di Google. Sayang sekali, tak ada pihak yang mengunggah catatan sekadar biodata singkat yang menceritakan Rofiqoh Dharto Wahab. Apalagi yang me-review skill suaranya. Meski demikian, saya masih beruntung mendapatkan gambar sebuah cover sebuah album lagunya, meskipun tanpa satu pun MP3-nya.
Saya kemudian tenggelam dalam pencarian di Google berjam-jam dengan gonta-ganti kata kunci. Usaha saya membuahkan pertemuan dengan 2 lagu. Hanya 2: yaitu Ya Asmar Latin Tsani dan Hamawi Ya Mismis. Saya putar berulang-ulang.
Kemudian entah pikiran dari mana, saya berniat memberanikan diri untuk berkomunikasi melalui Facebook dengan Usep Romli HM, pengarang Bentang Pasantren. Sebagai modal awal untuk berkomunikasi saya akan memulai dengan meresensi karyanya.
Kemudian dengan dua lagu itu. Saya berharap semoga dia belum memiliki dua lagu itu dan menginginkannya. Tentu akan menambah “nilai jual” saya sebagai pembaca karyanya yang berbeda dari yang lain.
Rupanya betul dia belum memilikinya. Dan seperti yang saya duga, jika tak memilikinya, dia akan memintanya. Dan dengan senang hati saya mengirimkannya melalui email.
Jadi Entri Ensiklopedia NU
Pada tahun 2012 juga, sebuah tim di PBNU akan menerbitkan Ensiklopedia NU. Saya ikut nimbrung dengan para penulis. Saat itulah saya mendengar salah seorang dari mereka mengusulkan agar Rofiqoh Dharto Wahab akan menjadi salah satu entri. Ia menjelaskan apa dan kenapa namanya masuk ensiklopedia itu.
Tak banyak perdebatan ketika nama itu masuk kategori. Salah seorang penulis bahkan menambahkan bahwa Rofiqoh merupakan qira'ah pada peringatan harlah ke-40 NU yang berlangsung pada 1966.
Saya menyimak para penulis itu mengudar tokoh yang sedang saya cari informasinya tersebut. Namun, tidak banyak karena tokoh itu bukan untuk dibicarakan, melainkan dituliskan.
Saat ini jika saudara punya kesempatan dan memiliki Ensiklopedia NU, buka saja jilid 4 pada halaman, maka Saudara akan menemukan informasi Rofiqoh Dharto Wahab. Jika Saudara tidak punya ensiklopedia itu, saya kasih tahu namanya berada di halaman 49-50.
Rofiqoh Dharto Wahab adalah salah satu dari sebagian kecil yang namanya bisa masuk ensiklopedia tersebut. Namanya berada dalam satu bundel bersama tokoh-tokoh top NU dari masa ke masa.
Baca Juga
Nasida Ria, Kasidah Legendaris
Ummu Kultsum-nya Indonesia
Beberapa waktu kemudian, saya bertemu dengan seorang aktivis Pagar Nusa asal Madura. Entah bagaimana ceritanya saya dengan pihak yang biasa olah fisik tersebut, kami menyerempet membicarakan Rofiqoh Dharto Wahab. Ia kemudian mengatakan bahwa Rofiqoh Dharto Wahab adalah Ummu Kultsum-nya Indonesia.
Saya tidak tahu dia mendapatkan informasi dari mana tentang ungkapan itu. Tidak tahu pula bagaimana asal-usulnya. Pihak mana saja yang menyetujui informasi itu. Saya merasa waktu itu tidak penting. Hanya saja saya semakin penasaran ingin bertemu dengan Rofiqoh Dharto Wahab sebagaimana saya ingin bertemu H. Muammar ZA, KH Zainuddin MZ, dan H. Rhoma Irama. Tokoh-tokoh yang menghiasi masa kecil.
Belakangan, saya menemukan informasi itu tertera di entri Rofiqoh Dharto Wahab pada Ensiklopedia NU. Jika Saudara masih belum punya ensiklopedia itu, maka sesekali mainlah ke Perpustakaan PBNU di lantai 2.
Bertemu di Jombang
Keinginan saya untuk bertemu Rofiqoh Dharto Wahab tetap tumbuh. Sembari menunggu belas kasihan waktu untuk bertemu dengannya, saya mencari tahu keberadaannya. Setelah saya tanya sana-sini, saya mendapatkan satu petunjuk, kemungkinan yang memiliki nomor kontaknya adalah Bu Khadijah, istri Ketua Umum Jam’iyyatul Qurra wal Huffaz Nahdlatul Ulama KH Muhaimin Zen.
Saya mengikuti petunjuk itu, dan memang betul, dia memilikinya. Namun, dia memberi tahu saya bahwa Bu Rofiqoh tidak tinggal di Bekasi lagi, melainkan di Jombang. Saya mempertahankan keinginan untuk bertemu dengannya, selanjutnya saya serahkan kepada waktu agar bekerja berbelas kasihan mengantarkan saya ke Jombang.
Dua tahun kemudian kesempatan itu datang. Saat itu saya ditugaskan teman-teman majalah Surah untuk mengantarkan puluhan eksemplar novel H. Mahbub Djunaidi Dari Hari ke Hari ke Pesantren Tebuireng, Jombang. Pada waktu itu, Majalah Surah yang dipimpin Hamzah Sahal menerbitkan kembali novel yang terbit pertama kali pada 1974 itu.
Karena waktu saya senggang, di Jombang saya mencari orang yang bisa “disiksa” untuk mencari Rofiqoh Dharto Wahab. Pertama yang saya lakukan adalah menelepon nomor kontak yang diberikan Bu Khodijah. Ternyata pemiliknya merespons dan mempersilakan saya datang.
Akhirnya saya bertemu dengan Ummu Kultsum-nya Indonesia itu. Saya masih ingat, ketika awal bertemu dengan memperkenalkan diri sebagai wartawan NU kepadanya.
“Kalau dengar wartawan, saya jadi ingat suami saya…,” katanya.
Ya, dua kata di belakang Rofiqoh adalah nama suaminya, Dharto Wahab; seorang wartawan Duta Masyarakat, teman Mahbub Djunaidi, Said Budairy.
Kini, Bu Rofiqoh telah tiada pada Rabu pekan ini. Begitu pula suaminya yang bahkan lebih dahulu pergi meninggalkan kita semuanya. Sebagaimana salah satu judul lagu yang dinyanyikannya, "Tiada yang Abadi: Semuanya fana, tiada yang abadi/Tiada satu pun yang tak akan sirna/ Bahagia di dunia hanya sementara".
Hanya kemerduannya yang tersisa…