Pak Ubed, Mengabdi pada Buntet Pesantren melalui Pendidikan Formal
Selasa, 28 April 2020 | 08:30 WIB
Almarhum Haji Ubaidillah (kanan) saat menyerahkan penghargaan kepada salah seorang santri. (Foto: istimewa)
Selepas menamatkan studinya di Sekolah Menengah Atas Negeri (SMAN) 1 Sindang Laut (sekarang SMAN 1 Lemahabang) pada tahun 1976, Pak Ubed langsung diminta oleh Kepala Madrasah Tsanawiyah (MTs) Nahdlatul Ulama (NU) Putra 1 Buntet Pesantren saat itu, KH Hasanuddin Kriyani, untuk membantunya. Sebagai pegawai baru, ia mengawali karirnya dengan menjadi staf tata usaha, sembari menyiapkan wedang untuk para kiai yang mengajar.
Setelah beberapa waktu, ia kemudian diminta untuk mengajar. Rais Syuriyah Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama (PCNU) Kabupaten Cirebon KH Wawan Arwani Amin mengatakan bahwa ia pernah diajar oleh Pak Ubed tentang administrasi hingga kesenian. Menurutnya, meskipun Pak Ubed tidak secara khusus mendalami keilmuan yang berjauhan itu, tetapi ia menerimanya karena saking khidmatnya kepada para kiai dan Pondok Buntet Pesantren.
Kiai Wawan menjelaskan bahwa Pak Ubed tidak sekadar menerima pinangan itu, tetapi sangat bertanggung jawab dengan betul-betul mendalaminya. Tak pelak, Kiai Wawan merasa punya modal kuat dalam mengurus administrasi berkat pengajaran Pak Ubed. Ia pun pernah tampil sebagai Ketua Pengurus Cabang Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Cabang Cirebon hingga Ketua Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Sudan.
Keyakinannya dengan sosok Pak Ubed menggerakkannya untuk mengangkatnya sebagai Kepala MTs NU Putra 1 Buntet Pesantren saat ia menjabat Ketua Bidang Pendidikan Formal Yayasan Lembaga Pendidikan Islam (YLPI) Buntet Pesantren pada tahun 2007. Hatta sudah pensiun sejak tahun 2018, Kiai Wawan masih mempercayakan kepemimpinan madrasah tersebut kepada Pak Ubed hingga tahun 2019. Serah terima jabatan pun baru dilakukan pada awal tahun ajaran 2020.
Beberapa tahun menjelang akhir masa jabatannya, Pak Ubed sudah sakit keras. Ia harus bolak-balik rumah sakit seminggu dua kali untuk cuci darah. Tetapi, hal tersebut tak menghalangi pengabdiannya kepada para kiai melalui MTs NU Putra 1. Ia tetap berangkat mengantor pagi-pagi betul, memantau para santri yang berangkat sekolah, menghukum beberapa yang terlambat, hingga menjadi pembina upacara.
Sebelum diangkat menjadi kepala MTs NU Putra 1, ia sempat berhenti dari madrasah tersebut sejak 20 tahun silam, 1987. Namun, karena kedisiplinannya dan kecakapannya dalam menyampaikan materi membuat banyak pinangan sekolah kepadanya.
Ia pernah mengajar di Madrasah Aliyah Negeri (MAN) Buntet Pesantren 1987-2009, MTs NU Putri Buntet Pesantren pada tahun 1981-2002, MANU Putri 1982-1987, MANU Putra Buntet Pesantren 1998-2005, Madrasah Aliyah Kejuruan Nahdlatul Ulama (MAKNU) Buntet Pesantren 1999-2001, dan MTs Islamiyah Mundu 1984-1990.
Guru kelahiran 29 Oktober 1957 itu menjadi pengajar favorit di setiap sekolah tempatnya mengabdi. Pasalnya, penjelasan yang disampaikannya mudah diterima oleh para siswa. Tidak hanya administrasi dan kesenian, ia juga fasih mengajar bahasa Inggris. Bahkan, mata pelajaran terakhir ini menjadi salah satu konsennya di beberapa sekolah.
Penulis sendiri, pernah belajar bahasa Inggris kepadanya di kediamannya. Ia mengajar dengan banyak nyanyian dan menyediakan beragam permainan sehingga membuat anak didiknya itu betah belajar bahasa yang pada mulanya asing di telinga.
Tentu untuk sampai puncak karirnya sebagai kepala madrasah, ia sudah ditempa dengan begitu banyak pengalaman. Meski hidup dari keluarga yang sangat sederhana, ia tak patah arang. Pernah saat masih sekolah di Sekolah Menengah Pertama (SMP), ia harus rela berangkat jalan kaki berkilo-kilo meter dari rumahnya. Pasalnya, sebagai seorang anak veteran, bersekolah di sana baginya mendapat keringanan biaya, meski harus memutar otak untuk keberangkatannya.
Beberapa kali, ia juga harus memetik daun-daun melinjo pada sore hari. Lalu, ia bersama adiknya menghadap Nyai Anah, istri KH Abbas Abdul Jamil, untuk mengantarkan daun tersebut. Nyai Anah pun memberinya sejumlah uang yang ia pergunakan sebagai ongkos untuk besok pagi berangkat sekolah.
Selepas sekolah, pada siang harinya ia gunakan untuk mendalami ilmu agama di Madrasah Wathaniyah Ibtidaiyah Nahdlatul Ulama (MWINU) Buntet Pesantren. Tak sedikit masyarakat dan santri yang saat itu sudah bersekolah menengah, turut menempuh studi ibtidaiyah dalam keagamaannya. Sebab, madrasah tersebut justru mengajarkan pelajaran yang sudah cukup tinggi tingkatannya.
Di sekolah tempatnya mengajar juga tidak hanya menjadi guru, tetapi ia juga dipercaya mulai dari wali kelas, Pembina Ekstrakurikuler, Wakil Kepala Madrasah Bidang Kesiswaan, Wakil Kepala Madrasah Bidang Kurikulum, hingga Pelaksana Tugas Kepala MAN Buntet Pesantren (September-November 2005).
Khidmatnya pada Pondok Buntet Pesantren itu didasari atas motivasi yang senantiasa dipegangnya kuat-kuat, bahwa ia bukanlah sesiapa tanpa pesantren yang didirikan oleh Mbah Muqoyim pada medio abad 18 itu. Tetapi Buntet Pesantren tanpanya tetaplah pesantren yang penuh berkah dan memiliki hati di setiap masyarakat, santri, dan para pencintanya.
Kewafatan Pak Ubed melahirkan harapan para kiai dan masyarakat agar muncul sosok Pak Ubed-Pak Ubed baru yang penuh dedikasi dalam berkhidmat untuk kemajuan Pondok Buntet Pesantren.
Pewarta: Syakir NF