Ilustrasi santri Pondok Pesantren Sirojuth Tholibin Brabo, Gorbogan, Jawa Tengah. (Foto: Dok. Pesantren Sirojuth Tholibin Brabo)
Pondok pesantren merupakan lembaga pendidikan Islam tertua di Nusantara. Keberadaanya yang begitu banyak dan mengakar kuat ikut berkontribusi dalam menentukan sejarah perjalanan bangsa dari masa ke masa. Sampai tahun 2022, dalam catatan Kemenag RI, setidaknya ada 26.975 pesantren yang tersebar di pelbagai penjuru Indonesia.
Dalam sejarahnya – setidaknya ketika Raden Ali Rahmatullah atau Sunan Ampel mendirikan Pesantren Ampeldenta di Surabaya pada pertengahan abad 15 – pesantren telah mampu merebut hati masyarakat. Para santri-santrinya yang banyak berasal dari kalangan bangsawan Majapahit, kemudian banyak yang menjadi ulama besar dan pemimpin yang berpengaruh. Sebut saja Raden Paku (Sunan Giri Prabu Satmata) dan Raden Fatah (Sultan Demak), misalnya, adalah dua santri yang kemudian ikut membelokkan arah sejarah. Yang terbaru, Presiden ke-4 RI KH Abdurrahman Wahid atau Gus Dur dan Wakil Presiden KH Ma’ruf Amin, misalnya, adalah tokoh yang pernah berproses di pesantren.
Wajarlah jika lembaga pendidikan pesantren sampai hari ini dipercaya masyarakat untuk mendidik putra-putrinya. Meski demikian, terkadang dijumpai santri baru yang tidak betah atau tidak krasan tinggal di pesantren dengan pelbagai alasan. Nah, berikut ini adalah 11 kiat agar santri baru betah atau krasan tinggal di pesantren.
1. Niat yang Ikhlas
Niat menjadi kunci dalam setiap perbuatan dalam Islam. Niat mondok, tiada lain tiada bukan adalah untuk mempelajari ilmu-ilmu Allah. Jadi, niatnya melaksanakan perintah Allah swt - yang dalam hadits nabi - sangat di-fardhukan bagi muslim maupun muslimah. Jika mondok niat ikhlas karena Allah swt, bukan karena ingin jabatan, harta atau status sosial tertentu, insyaallah akan ditata oleh-Nya.
Perintah untuk mempelajari dan memperdalam ilmu - khususnya ilmu-ilmu agama (tafaqquh fiddin) - sangat ditekankan dalam Al-Qur'an, kitab suci umat Islam. Perintah agar sekelompok orang harus ada yang memperdalam ilmu agama ini, sebagaimana pernah disampaikan Wakil Rais 'Aam PBNU KH Anwar Iskandar, merupakan ruh dan semangat pesantren.
“Tidak sepatutnya bagi mukminin itu pergi semuanya (ke medan perang). Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya.” (QS. At-Taubah: 122).
Jadi, dengan niat tulus ikhlas, sudah semestinya para santri bangga karena melaksanakan salah satu perintah Tuhan Semesta Alam. Jika ada orang yang bangga karena diperintah atau diberi tugas dari seorang presiden saja sudah bangganya minta ampun, apalagi ini yang memerintah langsung adalah penguasa langit, bumi dan seisinya.
2. Menghadapi Ujian Rindu
Rindu adalah ujian yang berat, khususnya bagi santri baru. Terlebih apabila santri baru ini masih kecil, baru lulus sekolah dasar, misalnya, dan harus berpisah dengan orang tua. Malam pertama dan seminggu pertama adalah ujian rindu yang menentukan, bahkan terkadang sampai berlinang air mata mengingat detik-detik kehangatan dengan orang tua.
Lalu, bagaimana cara mengobati rindu ini? Tentu banyak hal, salah satunya ialah dengan membaca ayat-ayat suci Al-Qur'an. Selain untuk mengalihkan rindu, membaca Al-Qur'an juga bisa menjadi obat hati, yang akan menerangi sanubari dari kegelisahan. Membaca Al-Qur'an setelah shalat berjamaah – selain sebagai wirid dan riyadhah – dapat menghentikan rindu kepada orang tua yang ada di rumah.
3. Adaptasi Lingkungan
Tinggal dan menempati lingkungan baru tentu butuh adaptasi. Mulai dari suasana, cuaca, sampai fasilitas. Terkadang hal ini tak sesuai dengan ekspektasi atau keinginan kita. Ada saja keterbatasan yang ada. Misalnya, fasilitas toilet yang terbatas hingga harus rela antre, tempat tidur yang harus berbagi, dan lain sebagainya.
Dalam beradaptasi dengan lingkungan baru ini, para santri baru mesti menerima kenyataan dan berdamai dengan keadaan. Tak mudah, memang, terlebih jika di rumah terbiasa menikmati fasilitas yang disediakan orang tua. Namun, dengan fasilitas pesantren yang serba milik bersama ini akan menempa santri hidup sederhana, memiliki kebersamaan (komunal) dan belajar hidup bermasyarakat.
4. Mencari Teman Baru
Jika di rumah sudah memiliki teman belajar dan bermain yang akrab, maka ketika menjadi santri baru sebaliknya. Para santri akan dihadapkan kenyataan orang-orang baru dengan berbagai latar belakang daerah, suku, bahasa dan karakter yang berbeda-beda. Jika tak biasa bergaul (introvert), hal ini bukan perkara mudah.
Mencari teman baru ini dapat dimulai dari teman sekamar, sekelas, atau yang berasal dari daerah yang sama. Akan ada teman yang menyenangkan dan menjengkelkan atau setidaknya tak sesuai harapan. Pilihlah teman yang cocok dan bisa memahami. Usahakan memilih teman santri yang rajin, pandai dan tekun shalat berjamaah agar tertular.
5. Sabar Menghadapi Teman
Santri akan dihadapkan pada orang-orang baru yang tentu tak semuanya berperilaku baik dan menyenangkan. Tak jarang santri berperilaku usil, nakal dan menyebalkan, sehingga menuntut kesabaran dalam menghadapinya. Jika tak kuat menghadapi ini, alih-alih betah, santri baru bisa saja tidak betah hidup di pesantren. Santri baru harus memiliki tekad kuat dan kesabaran dalam menghadapi hal ini.
Salah satu menghadapi teman atau orang yang usil adalah dengan bangun malam, shalat tahajud misalnya. Dengan shalat tahajjud, membaca wirid, mengadu dan melangitkan doa di malam hari akan menguatkan hati kita dalam menghadapi teman dan manusia yang beraneka macam karakternya. Hal ini tidak hanya berlaku di pesantren, di mana pun tempatnya ada saja orang yang kadang karakter dan omongannya menyebalkan dan menjengkelkan.
“Makanya nabi di-khitabi sabar setelah qiyamul lail (bangun malam). Karena bersabar atas musuh setelah qiyamul lail itu jauh lebih mudah daripada yang tidak qiyamullail,” ungkap Gus Baha, ketika menjelaskan Surat Al-Muzammil ayat 10. “Kamu kalau sudah qiyamul lail, otomatis – Muhammad – kamu bisa sabar menghadapi orang yang bermacam-macam,” imbuhnya.
6. Belajar Mandiri
Jika di rumah biasanya hidup serba dilayani oleh orang tua, seperti mandi, menyisir rambut, makan dan mencuci pakaian misalnya, maka di pesantren hal itu akan dilakukan sendiri. Ini menuntut santri baru untuk dapat melayani dirinya sendiri (self service), sehingga tidak membebani orang lain. Anggap saja ini adalah suatu tantangan dalam menjadi dewasa. Di sinilah salah satu kelebihan pesantren dalam mendidik para santri untuk dapat mandiri, sampai kelak hidup di masyarakat.
Namun di era modern ini sudah banyak pesantren yang membuka laundry dan catering, sehingga santri tak perlu repot-repot masak dan mencuci pakaian sendiri. Meski begitu, karena jauh dari orang tua, tentunya akan banyak hal yang dilakukan sendiri. Para santri mesti menikmati hal ini sebagai sebuah tanggung jawab yang kelak berguna di masa depan.
7. Aturan Bukan Beban
Salah satu hal yang ada di pesantren yaitu aturan. Jika di rumah terbiasa hidup bebas bagai burung terbang, maka di pesantren akan ada aturan-aturan yang mesti ditaati santri. Misalnya, santri tidak boleh membawa handphone atau adanya target hafalan. Adakalanya jika melanggar aturan-aturan itu santri dihukum (takzir), mulai dari yang paling ringan sampai agak berat. Misalnya, karena dalam tempo tertentu belum hafal, santri harus berdiri di depan kelas.
Nah, aturan-aturan yang ada di pesantren itu jangan lantas dianggap sebagai sebuah beban yang mengungkung kebebasan, melainkan sebuah kebutuhan bagi santri agar dapat fokus dan belajar dengan sungguh-sungguh. Jadikan aturan-aturan itu sebagai sebuah motivasi untuk meningkatkan kedisiplinan. Selain itu, jika ternyata memang belum bisa sesuai harapan dan mendapat hukuman, maka tidak usah berkecil hati. Anggap saja itu sebuah tes mental.
8. Mengelola Uang
Salah satu hal yang sulit adalah mengelola uang kiriman orang tua. Jika di rumah biasa jor-joran, maka di pesantren perlu ditahan. Jika di rumah terkadang orang tua agak pelit dengan memberi uang sedikit demi sedikit, maka di pesantren santri baru akan diberi uang setidaknya untuk bekal satu bulan. Jika tidak pintar-pintar mengelola, hal ini dapat menjadi kendala bagi si santri maupun orang tua. Kendala bagi santri tentu uang jatah sebulan tidak cukup. Dan kendala orang tua adalah belum sebulan sudah minta kiriman uang lagi.
Siasat yang dapat diterapkan adalah, pertama dengan menitipkan uang kepada pengampu kamar atau pengurus pesantren untuk mengelola uang. Jadi, santri baru tidak memegang semua uang yang diberikan orang tua. Di beberapa pesantren hal ini sudah menjadi kebijakan, yaitu uang jajan santri dibatasi, tujuannya agar rekening atau dompet orang tua tidak boncos. Intinya, bagaimanapun caranya, santri harus pintar-pintar mengelola uang itu, bagaimana caranya supaya cukup untuk hidup sebulan. Jika ingin beli yang macam-macam, harus berpikir ulang, karena besok masih ada hari.
9. Cita dan Tekad Kuat
Santri mesti memiliki cita dan tekad yang kuat. Senyampang masih muda, yang jika menyerap ilmu seperti melukis di atas batu, pergunakan waktu dan kesempatan sebaik-baiknya. Tak ada sejarah orang-orang besar yang selalu hidup dalam kesenangan. Mulai dari para nabi sampai ulama dan para pejuang, hidup mereka penuh cobaan, onak dan duri tajam.
Maka, salah satu hal yang dapat memotivasi adalah menyempatkan membeli buku dan membaca biografi para nabi, sahabat, ulama, ilmuwan atau pejuang. Bagaimana peran dan kontribusi mereka tetap dikenang sampai sekarang, salah satunya adalah karena memiliki cita-cita dan tekad yang kuat dalam turut serta menghidupkan agama, mencintai ilmu pengetahuan dan berjuang agar menjadi manusia yang bermanfaat bagi orang lain.
10. Harapan Orang Tua
Salah satu motivasi kuat agar santri baru betah di pesantren adalah harapan orang tua. Ya, orang tua seringkali menjadi spirit dalam pelbagai hal yang kita lakukan. Memondokkan anak di pesantren, tentu orang tua memiliki harapan agar sang anak kelak menjadi manusia yang berilmu, berakhlak serta dapat bermanfaat bagi masyarakat. Semua orang tua ingin anaknya berguna dan berkontribusi, baik untuk agama, bangsa dan negara.
Jangan sampai santri mengecewakan kepercayaan orang tua dengan berbagai macam alasan. Dengan bersungguh-sungguh belajar dan mencari ilmu di pesantren, santri mesti membayangkan kelak membuat senyum wajah orang tua dan membahagiakan mereka. Membuat bangga orang tua tentu merupakan salah satu bakti anak, yang telah dirawat dengan sepenuh hati.
11. Doa Orang Tua
Selain usaha santri sendiri dalam beradaptasi, doa orang tua menjadi salah satu kunci. Hal ini mengingat lembaga pesantren bukanlah seperti tukang jahit baju, yang jika kita membawa bahan, diserahkan, bayar uang, lalau esok atau lusa jadi. Lebih dari itu, pesantren mendidik para santri dari berbagai sisi, baik intelektual, emosional, sampai spiritual. Sehingga doa orang tua sangatlah penting.
Menghadiahkan bacaan Surat Al-Fatihah kepada anak adalah salah satu hal yang penting bagi orang tua atau wali santri. Selain agar anak betah di pesantren, juga agar ia mudah menerima dan memahami pelajaran, sehingga cepat futuh atau terbuka hatinya. Pengasuh Pesantren Al-Mahrusiyyah Lirboyo KH Reza Ahmad Zahid, pernah menyarankan orang tua – khususnya ibu – membacakan Surat Al-Fatihah 41x ba’da magrib sebagai laku tirakat.
Demikian 11 tips agar santri baru bisa betah belajar, mengaji dan memperdalam ilmu di pesantren. Pada hakikatnya, hidup di mana saja selalu ada saja tantangan dan hambatan, termasuk di pesantren.
Di tengah dunia yang serba cepat dan pergaulan bebas merebak di mana-mana, pendidikan pesantren kini semakin diminati dan menjadi pilihan utama. Selain karena menjaga khazanah tradisi baik yang turun-temurun dari masa lalu, pesantren juga mampu beradaptasi dengan perkembangan zaman modern. Akhirnya, selamat datang dan menjadi keluarga besar santri!
Ahmad Naufa, almunus Pondok Pesantren An-Nawawi Berjan, Purworejo, Jawa Tengah