Opini

Wawasan Pesantren tentang Politik dan Demokrasi

Kamis, 21 Oktober 2021 | 04:00 WIB

Wawasan Pesantren tentang Politik dan Demokrasi

Ilustrasi santri di pondok pesantren. (Foto: NU Online)

Setiap 22 Oktober, kini diperingati sebagai Hari Santri. Peringatan ini ditandai dengan terbitnya Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 22 Tahun 2015. Penetapan Hari Santri ini merujuk kepada seruan Pendiri Nahdlatul Ulama (NU) Hadratussyekh KH Hasyim Asy’ari yang mengeluarkan Resolusi Jihad, pada 22 Oktober 1945.


Resolusi Jihad itu mewajibkan para santri dan ulama pondok pesantren untuk membela tanah air, serta mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia yang kala itu pasukan sekutu kembali datang untuk menjajah Bumi Pertiwi. 


Hal itulah yang melatari Presiden Joko Widodo menetapkan Hari Santri. Sebab para ulama dan santri pondok pesantren memiliki peran besar dalam perjuangan merebut kemerdekaan dan mempertahankan NKRI. 


Umat Islam di Indonesia juga sudah mafhum bahwa pesantren sudah hadir membersamai masyarakat Nusantara, jauh sebelum negeri ini merdeka. Pondok pesantren adalah suatu komunitas dari masyarakat yang sudah muncul sejak ratusan tahun lalu. 


Sejarah pun mencatat, pesantren merupakan benteng pertahanan terakhir bagi NKRI maupun umat Islam di negeri ini. Selain sebagai penjaga spiritualitas bagi umat Islam, pesantren juga berfungsi untuk menjaga negara dari berbagai macam marabahaya. 


Pesantren pun ikut andil dalam mengatasi pemberontakan komunis dan kaum separatis pengacau republik ini. Sementara bagi umat Islam, pesantren menjadi harapan terakhir dari keberlanjutan dakwah Islam agar terus berlanjut. 


Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) dalam Tasawuf Sebagai Kritik Sosial (2012) menyebutkan bahwa pesantren memiliki dua misi utama, edukasi dan sosial. Pesantren merupakan institusi tertua di negeri ini dan menjadi salah satu aset utama umat Islam yang melestarikan ajaran Islam Ahlussunnah wal Jamaah. 


Sementara sebagai sebuah lembaga sosial, pesantren pada umumnya hidup dari, oleh, dan untuk masyarakat. Visi ini tentu saja menuntut peran dan fungsi pondok pesantren yang sejalan dengan situasi dan kondisi masyarakat, bangsa, serta negara yang terus berkembang. 


Dalam sejarahnya, pesantren tumbuh dan berkembang sebagai penggerak transformasi masyarakat. Perkembangan masyarakat tidak lepas dari sentuhan pesantren dalam memaksimalkan potensi dirinya dalam menjaga proses adaptasi, akulturasi, dan bahkan untuk sebuah perubahan. 


Lembaga pendidikan yang kerap disebut sebagai tradisional itu, kini tengah memasuki era globalisasi. Namun, meskipun dikatakan tradisional, pesantren hingga kini masih tetap eksis dan bahkan semakin mendapat simpati. Terlebih dalam merespons krisis yang berkepanjangan di Indonesia. 


Perjalanan demokrasi di Indonesia pun tidak melulu berjalan baik. Demokrasi merupakan sistem kenegaraan yang dibuat oleh manusia, sehingga jauh dari kata sempurna. Namun sistem inilah yang akhirnya disepakati untuk diterapkan di negeri ini.


Dalam hal ini, pesantren juga dituntut untuk bisa menjadi pemecah masalah dari berbagai problematika di negeri ini, sebagaimana pesantren dapat menjadi salah satu unsur terpenting dalam memerdekakan bangsa Indonesia.


Demokrasi sendiri tidak pernah ditemukan dalam tumpukan kitab kuning yang dipelajari para santri di pesantren, sehingga dalam merespons persoalan yang berkaitan dengan demokrasi di negeri ini, pesantren terkadang kebingungan.


Menurut Kiai Said, di pesantren masih kerap timbul kesalahpahaman dan kekeliruan mengenai istilah demokrasi. Terlebih soal hak-hak asasi manusia, hak-hak rakyat, dan republik. Tak jarang, para kiai juga merasa kaku ketika disodori persoalan-persoalan tersebut. Begitu pun dalam hal politik.


Memang, kita harus mengakui bahwa pesantren tidak secara langsung diproyeksikan sebagai tempat kaderisasi politik. Namun pelajaran politik di pesantren masih sangat minim diperkenalkan. Dari ratusan kitab kuning yang dipelajari, kitab tentang fikih siyasah (fikih politik) sangat jarang dijumpai.


Referensi yang paling sering diandalkan untuk mengkaji soal politik, biasanya hanya Al-Ahkam As-Sulthaniyah karya Imam Mawardi. Namun kitab ini tidak bisa dikategorikan atau bahkan dijadikan sebagai rujukan ilmu politik, karena isinya hanya sebatas notulensi tentang para penguasa di abad pertengahan. 


Karena itu, Kiai Said mendorong agar kajian bidang politik sangat memerlukan pengembangan di pesantren. Meski kalangan Sunni tidak memiliki konsep kepemimpinan yang jelas dan pasti, tetapi kekosongan itu justru bisa dijadikan sebagai arena ijtihad untuk memperbaiki konteks politik dan demokrasi saat ini. 


Dikotomi keilmuan

Diakui atau tidak, hingga saat ini di pesantren masih terdapat dikotomi atau pemisahan keilmuan. Pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam, kerap terkungkung pada kajian-kajian yang sebatas pada persoalan keagamaan saja dan mengesampingkan aspek non-keagamaan. Hal inilah yang justru akan memojokkan pesantren pada posisi yang terpinggirkan. 


Sebab tidak mungkin, para santri atau alumni pesantren akan menjadi penentu kebijakan negara jika pengetahuannya hanya sebatas persoalan halal-haram. Kesalahpahaman yang berasumsi kalau mempelajari sains, matematika, biologi, dan kimia bukan bagian dari agama harus segera dituntaskan apabila pesantren ingin menjadi pionir pembawa panji kosmopolitan umat di masa mendatang. 


Menurut Kiai Said, perubahan tersebut haruslah dibarengi dengan perombakan kurikulum dan metodologi pengajaran. Pola pengembangan madrasah di pesantren yang menerapkan porsi 75 persen untuk pelajaran agama dan 25 persen pelajaran umum, jelas sudah tidak relevan lagi untuk diterapkan. 


Para santri dan alumni pesantren memang diakui sangat fasih ketika berbicara tentang keutamaan ilmu dan kewajiban menuntut ilmu, dengan menyertakan dalil-dalil secara naqliyah. Imam Ghazali misalnya, yang sering dikutip sebagai dalil, secara tegas menghukumi fardhu kifayah (wajib kolektif) kalau umat Islam mempelajari ilmu di luar ilmu-ilmu naqliyah. 


Ilmu naqliyah itu mencakup kajian ilmu-ilmu syariat. Mempelajarinya dihukumi sebagai fardhu’ain (wajib bagi setiap individu) untuk setiap umat Islam. Sementara ilmu non-naqliyah berkaitan dengan kebutuhan dan hajat hidup orang banyak seperti pertanian, kedokteran, demokrasi, dan politik. 


Kiai Said menyebutkan suatu kaidah fikih yang sangat masyhur di kalangan santri yakni maa laa yatimmul wajib illa bihi fa huwa wajib. Artinya, sebuah perbuatan yang tanpanya suatu kewajiban tidak terlaksana dengan sempurna, maka perbuatan itu hukumnya menjadi wajib. 


Saat ini, tegaknya suatu pemerintahan atau negara wajib dibangun di atas pilar-pilar keadilan, kejujuran, amanah, jaminan perlindungan hak asasi, kebebasan berekspresi dan berserikat, persamaan hak serta musyawarah. Pilar-pilar inilah yang menopang tegaknya suatu negara dan roda pemerintahan pun akan berjalan secara efektif. 


Kalau pengelola negara mengabaikan atau mengingkari pilar-pilar tersebut maka itu berarti mereka turut melapangkan jalan bagi kondisi kekacauan, bahkan anarkisme, sehingga pelaksanaan ajaran-ajaran agama akan berpotensi tersendat. 


Berbagai krisis dan problematika yang menerpa bangsa kita belakangan ini merupakan pelajaran berharga bagi pendidikan demokrasi di Indonesia. Dengan demikian, menurut Kiai Said, mempelajari demokrasi dan menerapkannya merupakan sesuatu yang berhukum wajib. Bahkan, wajib'ain bagi setiap Muslim, tak terkecuali bagi santri di pesantren. 


Pola pendidikan demokrasi di pesantren tentu tidak harus terpaku hanya sebatas teori tetapi juga perlu dilakukan melalui praktik yang disertai contoh dan suri teladan yang baik. Misalnya dimulai dari penataan kepengurusan pondok pesantren, organisasi santri, hingga kepengurusan yayasan. Inilah yang sebenarnya menjadi saham yang tidak kecil bagi kehidupan demokrasi.


Jika pesantren menyajikan keilmuan mengenai politik dan demokrasi maka ke depan, pesantren tidak hanya menjadi objek bagi para politisi untuk mengeruk simpati dan dukungan, menjelang perhelatan pesta demokrasi di negeri ini. Pesantren juga tidak lagi menjadi ajang panjat sosial bagi para pejabat lewat embel-embel memberikan bantuan tetapi mengikat pesantren dengan kontrak politik. 


Sekarang sudah saatnya, pesantren mandiri secara politik dan tidak terjebak pada permainan para politisi yang seakan-akan ‘memanfaatkan’ pesantren, hanya demi kepentingan sesaat. Dengan bekal ilmu politik dan demokrasi di pesantren, para alumninya kelak akan menjadi penentu kebijakan negeri ini sehingga posisi pesantren tidak terpinggirkan. 


Pesantren harus segera berbenah agar menjadi wadah kepemimpinan komunitas yang merdeka secara sosial-politik dan tidak berada secara ketat di bawah kekuasaan siapa pun. Di samping itu, pesantren juga harus menjaga dan melestarikan nilai budaya yang telah tertanam selama ratusan tahun, serta berkelanjutan secara ekonomi sehingga dapat menghidupi dirinya sendiri.


Selamat menyambut Hari Santri 2021!


Aru Lego Triono, alumnus Buntet Pesantren Cirebon