Opini

Ansor dalam Kooptasi Kekuasaan

Jumat, 7 Januari 2011 | 09:19 WIB

Oleh: Imam Subawi

Jika tidak diundur lagi, Gerakan Pemuda (GP) Ansor segera menggelar kongres ke-14 di Asrama Haji Sukolilo, Surabaya, 13–17 Januari 2011. Momen kongres itu sangat tepat untuk dijadikan renungan perjalanan Ansor masa lalu, sekarang, dan ke depan. Dengan demikian, Ansor sebagai salah satu badan otonom (banom) NU mampu merumuskan kembali langkah-langkah kejuangannya menghadapi tantangan masa depan.
 
Persoalan krusial yang dihadapi Ansor pasca reformasi 1998 hingga saat ini adalah kontaminasi Ansor dan politik. Diakui atau tidak, kontaminasi Ansor sebagai ormas kepemudaan NU yang independen, netral, penjaga ulama, dan berpolitik moral kebangsaan, terongrong oleh kontaminasi kepentingan elite Ansor yang masuk di pusaran arus politik kepartaian dan kekuasaan.
t;
Wajar jika citra Ansor yang muncul ke permukaan lebih berwajah politik praktis daripada politik moral kebangsaan. Kepentingan elite Ansor dalam rangka dukung-mendukung berbagai pemilihan umum (pemilu), mulai pemilu legislatif, presiden, dan pilkada di berbagai daerah, menenggelamkan citra Ansor sebagai ormas kepemudaan NU yang independen. Wajah Ansor hampir persis dengan parpol.
 
Kondisi ini berpengaruh besar terhadap moralitas kehidupan berorganisasi sampai ke daerah. Banyak elite daerah yang menggunakan Ansor untuk bernegosiasi politik, bargaining kekuasaan, dan muncul banyak kader dadakan yang menjadikan Ansor sebagai batu loncatan politik.

Banser sebagai garda terdepan Ansor, sebagian ikut-ikutan terkontaminasi, berperilaku seperti satgas parpol. Mereka selalu menanyakan financial feedback saat menjaga pengajian umum, konferensi NU, mengawal kiai, dan sebagainya. Satu hal yang sebelumnya dinilai tabu.

Bau money politics sebagaimana pemilihan ketua parpol tercium menyengat menjelang kongres Ansor. Kondisi serupa selalu terjadi menjelang konferwil, konfercab, sampai konferancab. Uang sudah menjadi panglima. Ukuran calon ketua Ansor bukan lagi proses kaderisasi, pengabdian, loyalitas, dan moralitas. Sebaliknya, yang dominan adalah transaksional finansial, pemberi terbesar yang dipilih.
 
Kontaminasi Ansor ke politik ini mengakibatkan program kaderisasi internal menempati nomor ke sekian, pemberdayaan anggota menjadi utopia, transaksional finansial menjadi napas baru yang terus berproses menelisik masuk ke sendi-sendi darah organisasi.
 
Jika kontaminasi ini tidak segera direduksi, Ansor lima sampai sepuluh tahun ke depan akan semakin berwajah politik dan partisan abu-abu. Kebijakan dan gerakannya sangat diwarnai kepentingan politik elite.

Indikasinya bisa dilihat dari beberapa hal yang berkembang menjelang kongres. Pertama, semua kandidat ketua umum yang muncul ke permukaan adalah kader partai. Mereka adalah Malik Haramian (anggota FKB DPR, Sekjen PP GP Ansor), Chatibul Umam Wiranu (anggota Fraksi Partai Demokrat DPR, ketua PP GP Ansor), Marwan Ja’far (anggota FKB), dan Nusron Wahid (anggota Fraksi Golkar), dan sebagainya.

Meskipun sebelumnya secara struktural sebagian terlibat kepengurusan PP GP Ansor, peran keorganisasiannya nyaris tak terdengar. Bahkan, ada yang proses kaderisasinya di Ansor tidak jelas, yang berpotensi besar menjadikan Ansor sebagai kaki baru parpol.

Melihat bursa kandidat menjelang kongres saat ini, sangat sulit untuk bisa membayangkan Ansor ke depan tidak berwajah politik praktis. Bahkan, sangat mungkin Ansor menjadi kaki baru bagi parpol tertentu.

Kedua, diundurnya pelaksanaan kongres Ansor hingga empat kali dengan alasan menyesuaikan jadwal Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) mengindikasikan bahwa ketergantungan Ansor pada kekuasaan yang sangat tinggi terkooptasi sedemikian kuat. Tanpa dihadiri presiden, seakan kongres Ansor tidak bisa berjalan dan tidak boleh dilaksanakan.

Mengapa kongres Ansor ”wajib” dibuka presiden? Sebaliknya, mengapa kongres Ansor tidak wajib dibuka ketua umum PB NU? Seharusnya yang paling berhak adalah ketua umum PB NU, bukan presiden. Karena Ansor adalah banom NU, bukan banom presiden.

Ketergantungan dan kooptasi Ansor oleh kekuasaan ini membuka peluang miskoordinasi vertikal yang semakin lebar antara Ansor dan PB NU. Ini karena kiblat Ansor lebih pada kekuasaan dibanding PB NU.

Ketiga, tidak adanya rancangan ketegasan larangan rangkap jabatan ketua umum Ansor dan di parpol pada materi kongres, semakin memberikan pintu masuk yang luas untuk menjadikan Ansor berwajah politik praktis.

Bagaimanapun, citra organisasi sangat diwarnai citra ketua umum sebagai penggerak, penentu kebijakan, sekaligus panutan organisasi. Ketua umum adalah simbolisasi wajah organisasi dan warna dominan gerakan.

Realitas selama ini, rangkap jabatan di Ansor dan parpol, terasa merusak tata nilai internal. Dominasi kepentingan personal elite lebih tinggi dibanding kepentingan organisasi. Elite Ansor di parpol yang seharusnya memosisikan diri sebagai kader Ansor yang memperjuangkan nilai-nilai keumatan dan kebangsaan, berubah menjadi kader parpol yang ditempatkan di Ansor untuk membawa kepentingan parpol.

Momen Kongres Ke-14 GP Ansor ini sangat penting dilakukan gerakan netralisasi Ansor dari politik praktis, menegakkan independensi dan sendi-sendi kemandirian, serta merajut kembali sinkronisasi kebijakan Ansor dengan garis kebijakan PB NU.

Untuk itu, Ansor harus berani melakukan langkah tegas. Pertama, melarang rangkap jabatan di Ansor dan Parpol. Minimal untuk ketua umum, ketua wilayah, ketua cabang, dan ketua anak cabang. Kedua, proses kaderisasi Ansor yang belakangan ini melemah karena para elitenya sibuk dalam pusaran arus politik praktis, harus kembali digerakkan secara berjenjang dan terprogram.
 
Ketiga, perlu dimunculkan calon alternatif ketua umum yang memiliki karakter nilai-nilai ke-Ansor-an tegas, nonpartisan, proses kaderisasi jelas, berkomitmen menjaga netralitas organisasi. Keempat, menempatkan pemerintah sebagai mitra strategis pembangunan dan pemberdayaan masyarakat, tapi tetap berlaku kritis proporsional. (*)

*)Imam Subawi, wakil ketua GP Ansor Kota Kediri
dimuat di Harian Jawa Pos, 7 Desember 2011


Terkait