Bencana Sumatra: Normalisasi Penderitaan, Hilangnya Oposisi, dan Birokrasi Tanpa Nurani
Rabu, 10 Desember 2025 | 12:14 WIB
Bencana besar Sumatra pada 2025 membuka luka yang jauh lebih dalam daripada sekedar kerusakan fisik dan jumlah korban. Ia membuka keadaan asli sebuah bangsa yang kehilangan sensitivitas terhadap nyawa manusia. Dalam hari-hari sesudah banjir dan longsor, listrik padam berhari-hari, warga berjalan berkilo meter demi mencari beras, banyak desa gelap seperti kota mati, dan ribuan orang tidak tersentuh bantuan.
Namun, negara berjalan seperti biasa. Tidak ada guncangan moral. Tidak ada pejabat yang mundur. Tidak ada permintaan maaf. Tidak ada evaluasi politik yang memadai. Semua berjalan seperti normalitas yang diterima begitu saja.
Krisis Moral sebagai Gejala Sistemik
Fenomena ini menyingkap krisis yang jauh lebih besar, keruntuhan moral negara, suatu kondisi ketika negara tidak lagi merasakan beban etis untuk melindungi warganya. Krisis ini bukan kebetulan; ia merupakan hasil dari proses panjang—puluhan tahun—terkait kultur kekuasaan, kartelisasi partai politik, lemahnya oposisi, birokrasi tanpa empati, dan merosotnya kepemimpinan moral dalam masyarakat.
Kerangka Teoretik: Etika Negara dan Peran Oposisi
Dalam teori negara modern, legitimasi negara tidak hanya berasal dari wewenang formal, tetapi dari kapasitas moralnya menjaga kehidupan warganya (Weber, 1919). Max Weber menyebut bahwa inti “kewibawaan etis” negara terletak pada tanggung jawab terhadap nyawa dan martabat manusia.
Sementara Hannah Arendt (2003) menyatakan bahwa rezim modern yang kehilangan rasa salah (loss of guilt) akan jatuh pada birokratisasi kekejaman—sebuah kondisi ketika tindakan tidak manusiawi dianggap bagian prosedur. Avishai Margalit (1996) menggunakan istilah decent society—masyarakat layak—yang hanya mungkin ada jika negara tidak mempermalukan atau merendahkan martabat manusia, terutama yang paling rentan.
Oposisi sebagai Organ Moral Demokrasi
Dalam demokrasi, oposisi adalah organ moral. Robert Dahl (1971) menegaskan bahwa negara demokratis hanya stabil jika ada persaingan gagasan dan kontrol internal. Katz dan Mair (1995) kemudian menambahkan konsep cartel party, yaitu situasi ketika semua partai besar berkoalisi menjaga status quo sehingga menghilangkan oposisi yang efektif.
Dan Levitsky dan Way (2010) memperingatkan bahwa negara yang menghilangkan oposisi, bahkan tanpa represi keras, akan berkembang menjadi competitive authoritarianism—bangunan politik yang demokratis secara prosedural tetapi otoriter secara substansial. Kerangka teoretik inilah yang menjadi lensa utama membaca kondisi Indonesia hari ini.
Bencana Sumatra sebagai Kaca Pembesar Kegagalan Negara
Banjir dan longsor besar di Sumatra—yang menelan lebih dari 900 korban meninggal, ratusan hilang, dan puluhan ribu terdampak—menjadi kasus nyata dari kegagalan negara melindungi kehidupan manusia.
Data Reuters (2025) dan laporan UNDRR menunjukkan bahwa banyak desa terisolasi selama berhari-hari, listrik padam di ribuan titik, dan bantuan tidak masuk secara memadai ke wilayah terpencil.
Laporan lapangan dari relawan memperlihatkan fakta pahit: warga berjalan jauh kiloan meter untuk mencari beras, banyak wilayah gelap seperti kota mati, korban meninggal justru muncul setelah bencana karena kelaparan, infeksi, dan tidak tersentuh bantuan, serta akses darurat terhambat birokrasi, bukan hanya cuaca.
Secara akademik, kegagalan ini bukan sekadar teknis. Ia menandakan penyakit sistemik: negara tidak merasakan urgensi moral dalam menanggapi krisis kemanusiaan. Wisner et al. (2004) dalam At Risk menyatakan bahwa bencana besar selalu memperlihatkan kualitas negara: negara yang efektif bergerak cepat, negara yang rapuh bergerak lambat, dan negara yang tidak bermoral tidak bergerak sama sekali. Indonesia—dalam kasus ini—jatuh dalam kategori ketiga.
Normalisasi Penderitaan sebagai Patologi Sosial
Bangsa ini mengalami apa yang para sosiolog sebut normalization of suffering—penderitaan yang menjadi bagian dari rutinitas kehidupan sosial. Riset Eve Warburton (2020) menunjukkan bahwa masyarakat Indonesia sejak lama “menurunkan ekspektasi” terhadap negara akibat kemiskinan struktural, layanan publik yang buruk, dan ketidakadilan yang berulang.
Akibatnya, ketika tragedi besar terjadi, masyarakat cenderung pasrah, media menurunkan isu dengan datar, tidak dalam dan yang nampak dalam permukaan, hanya dalam beberapa hari, itu pun tertutup dan timbul tenggelam dengan berita-lain yang tak relevan, elite politik menyederhanakan narasi sebagai “musibah alam”, dan tidak ada guncangan nasional, apalagi minta maaf dan sadar diri untuk undur diri karena gagal, bahkan ada yang malah angkat dan lepas tangan berangkat umroh.
Inilah bahaya terbesar: bangsa kehilangan kemampuan untuk terkejut. Seperti diingatkan Arendt, ketika tragedi tidak lagi memunculkan kejutan moral, bangsa tersebut sedang mengalami “pembusukan nurani kolektif”.
Kartelisasi Kekuasaan dan Hilangnya Oposisi
Salah satu akar krisis saat ini adalah hilangnya oposisi politik. Sejak dekade terakhir, koalisi besar menjadi norma. Hampir semua partai berkumpul dalam satu payung kekuasaan. Oposisi dipandang sebagai gangguan, bukan komponen demokrasi.
Katz & Mair (1995) menyebut fenomena ini sebagai party cartel, ketika partai-partai besar kompak menjaga kepentingan bersama, menghindari kompetisi ideologis, saling berbagi kekuasaan, dan menekan oposisi.
Dalam konteks Indonesia, koalisi super mayoritas menciptakan ruang politik yang tanpa kontrol. Parlemen kehilangan fungsi check and balance sebab hampir semua partai berada di bawah patron yang sama.
Pemerintahan tanpa oposisi ibarat negara tanpa sistem imun: setiap penyakit yang masuk dibiarkan berkembang tanpa perlawanan. Inilah mengapa kegagalan dalam respon bencana tidak memunculkan konsekuensi politik apa pun. Parlemen tidak mendesak pertanggungjawaban, tidak ada dorongan penyelidikan publik, tidak ada tekanan agar pejabat mundur, bahkan tidak ada perdebatan substansial terkait bencana, semua dianggap wajar begitu saja dan nyawa jelata hanya sebuah angka-angka, inilah malapetaka yang sesungguhnya, kebebalan dan tidak adanya rasa bersalah dan tanggungjawab para penyelenggara negara.
Birokrasi Tanpa Nurani dan Malpraktik Negara
Birokrasi Indonesia bekerja dengan prinsip “takut salah prosedur” tetapi tidak takut salah dalam kemanusiaan. Edward Aspinall (2005) menunjukkan bahwa birokrasi Indonesia dibangun dengan logika kepatuhan ke atas, bukan pelayanan ke bawah.
Dalam konteks bencana Sumatra, bantuan tertahan karena surat tidak lengkap, personel daerah menunggu instruksi pusat, pusat menunggu laporan daerah, koordinasi saling menunggu, dan pejabat takut mengambil keputusan cepat, bahkan ada penolakan bantuan karena status bencana lokal dan mesti lewati prosedur birokrasi, sungguh di luar nurani dan rasa manusiawi.
Hasilnya adalah malpraktik negara—bukan korupsi uang, tetapi korupsi kemanusiaan. Sebagaimana dikatakan Margalit (1996), negara yang memperlakukan warganya sebagai objek administrasi, bukan subjek martabat, bukanlah negara yang layak secara moral.
Bungkamnya Elite Moral Masyarakat
Dalam sejarah Indonesia, kekuatan moral bangsa terletak pada agamawan, intelektual, mahasiswa, aktivis masyarakat sipil, dan pers kritis. Namun selama satu dekade terakhir, hampir semua kekuatan moral ini direduksi perannya: agamawan masuk dalam orbit kekuasaan, akademisi sibuk administrasi dan proyek, aktivis tercerai-berai atau masuk ke lembaga negara, mahasiswa kehilangan daya protes nasional, dan media terpolarisasi serta tersedot industri politik, yang dimiliki para petinggi partai. Ketiadaan kekuatan moral inilah yang membuat negara merasa tidak ada risiko politik dari kegagalan moral.
Ketika negara tidak meminta maaf, tidak melakukan evaluasi, tidak ada pejabat yang mundur, tidak ada oposisi yang menuntut, tidak ada elite moral yang menegur, dan masyarakat pasrah, maka lengkap dan sempurna sudah, negara secara struktural kehilangan etika publik.
Hannah Arendt menyebut kondisi ini sebagai banality of administrative cruelty—kekejaman banal yang tidak disengaja, tetapi menjadi sistem karena birokrasi bekerja tanpa hati. Dalam konteks Indonesia, penderitaan warga diterima sebagai statistik, kelambatan dianggap prosedural, bencana dianggap rutinitas, dan kegagalan dianggap takdir. Inilah titik di mana nyawa manusia kehilangan nilai sosial politiknya.
Pemulihan bangsa ini tidak bisa dimulai dari teknologi, proyek besar, atau reformasi hukum saja. Ia harus dimulai dari restorasi moral negara melalui empat jalur:
Satu, mengembalikan oposisi politik sebagai organ moral demokrasi. Dua, menghidupkan kembali etika tanggung jawab agar pejabat publik membawa prinsip “jika ragu, pilih keputusan yang menyelamatkan manusia” dan budaya mundur ketika gagal.
Tiga, merestorasi kepemimpinan moral masyarakat—agamawan, akademisi, mahasiswa, dan aktivis harus kembali berdiri sebagai oposisi moral dan kekuatan penegur negara
Empat, reformasi sistem tanggap darurat yang berbasis nyawa, bukan prosedur, dengan komando tunggal, kecepatan sebagai prinsip, pemotongan rantai birokrasi, integrasi pusat-daerah, dan audit moral tanggap darurat.
Menyelamatkan Jiwa Negara
Restorasi moral ini bukan sekadar reformasi teknis, tetapi pembaruan etika kebangsaan. Indonesia hari ini bukan sekadar menghadapi kegagalan teknis dalam menghadapi bencana. Bangsa ini sedang menghadapi krisis yang lebih mendasar: negara kehilangan ruh dan jiwa fungsional dan tanggungjawabnya.
Negara yang kehilangan rasa bersalah, kehilangan rasa malu, kehilangan oposisi, kehilangan suara moral, dan kehilangan etika pelayanan adalah negara yang tidak lagi mampu menyelamatkan rakyatnya.
Pemulihan bangsa harus dimulai dari pemulihan moral negara—dari keberanian untuk berkata bahwa kita sedang tersesat sebagai bangsa.
Sebab tanpa pemulihan moral itu, bencana berikutnya akan kembali datang bukan sebagai ujian alam, tetapi sebagai bukti bahwa negara ini gagal berdiri sebagai penjaga kehidupan manusia, bukan karena tidak mampu namun lebih karena tidak mau dan tidak sadar.
Mohammad Alfuniam, alumnus Filsafat UGM