Bom Waktu di Balik Pengelolaan Ratusan Triliun Dana Haji di BPKH
Senin, 8 Juni 2020 | 03:00 WIB
Apakah benar biaya pelaksanaan haji Indonesia paling murah di antara biaya haji pada negara lain? (Foto ilustrasi: setkab.go.id)
Oleh Mustolih Siradj
Selama ini Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH), Kemenag bahkan DPR selalu menarasikan dengan begitu meyakinkan bahwa biaya haji di Indonesia paling murah di antara negara-negara lain. Apakah benar? Nyatanya klaim tersebut tidak sepenuhnya benar.
Dalam tiga tahun terakhir biaya haji nyaris tidak pernah naik, rerata berada di kisaran Rp. 35 juta per jamaah. Padahal biaya sesungguhnya (real cost) yang harus dibayar untuk berbagai keperluan penyelenggaraan haji Rp. 70 juta per jamaah. Separuhnya adalah subsidi.
Dari mana uang subsidi itu? Subsidi ternyata diambil dari nilai manfaat pengelolaan setoran awal calon jamaah haji yang masuk daftar tunggu (waiting list) yang disetorkan ke BPKH sebesar Rp. 25 juta per jamaah melalui akad wakalah. Dari 4,3 juta calon jamaah yang saat ini antre, akumulasi dana mencapai sebanyak Rp. 135 triliun ditambah Rp. 3,5 triliun Dana Abadi Ummat (DAU).
Dana ini lantas dikelola dan diinvenstasikan oleh BPKH sebagai penerima wakalah ke berbagai instrumen investasi baik bank maupun nonbank dengan pendekatan korporatif. Hasil investasi tersebut kemudian diperuntukkan mensubsidi biaya penyelenggaraan ibadah haji setiap tahun.
Dengan kata lain, jamaah yang berangkat haji pada tahun berjalan sesungguhnya bukan semata- semata memakai hasil jerih payah dan kemampuan (istitha’ah) dari jamaah itu sendiri (yang berangkat), tetapi separuh dananya ditambal dari dana milik jamaah lainnya yang diperoleh dari hasil investasi.
Hasil manfaat yang diperoleh dari investasi pengelolaan dana haji juga disalurkan untuk keperluan lain misalnya membayar pajak yang jumlahnya tidak kecil. Berdasarkan laporan BPKH tahun 2018 pajak yang dibayar sebesar Rp 1,2 triliun, berikutnya membiayai operasional dan gaji staf maupun pimpinan BPKH yang bisa menyedot sampai 5% dari hasil investasi yang diperoleh.
Sisanya baru dipecah-pecah diberikan kepada pemilik dana (shāhibul māl) yakni seluruh calon jamaah haji (tunggu) yang jumlahnya sangat kecil di kisaran rerata Rp. 60 ribu-Rp. 100 ribu per tahun. Bandingkan dengan subsidi kepada jamaah yang berangkat pada tahun berjalan Rp. 35 juta orang setiap tahun.
Nah, sistem subsidi ini jika tidak segera dibenahi sangat berbahaya dan bisa menjadi bom waktu di kemudian hari. Terlebih di saat seperti sekarang manakala berbagai skema maupun instrumen investasi dan keuangan domestik maupun global tengah dibayang-bayangi cengkeraman resesi akibat dihantam pandemi Covid-19 sehingga memiliki risiko sangat tinggi dalam investasi.
Jika ternyata investasi yang dilakukan BPKH jeblok dan tidak memperoleh keuntungan maka yang akan tergerus dan menjadi taruhan adalah uang setoran pokok jamaah. Pada saat yang sama BPKH harus terus menerus menyubsidi penyelenggaraan haji setiap tahunnya. Maka calon jamaah bukannya mendapat untung malah bisa “buntung” alias rugi. Padahal dana setoran awal calon jamaah tidak boleh berkurang apalagi rugi.
Masih ingat di benak publik sistem subsidi silang semacam itu dilakukan oleh beberapa perusahaan travel swasta seperti First Travel dan Abou Tour di mana biaya jamaah umrah yang berangkat ternyata disubsidi oleh calon jamaah umrah yang mendaftar berikutnya sebagai konsekuensi dari promosi harga jorjoran dengan membanting harga sangat murah jauh di bawah standar.
Kemudian apa yang terjadi? Dua perusahaan tersebut itu akhirnya kolaps karena gagal mengelola uang setoran awal yang diputar di berbagai investasi sebagai sumber subsidi yang ternyata jeblok tanpa memperoleh keuntungan. Ratusan ribu calon jamaah umrah daru dua travel tersebut pun gagal berangkat ke tanah suci, mereka tertipu, uang setoran juga raib tidak kembali.
Konsekuensi dari kejadian itu, pimpinan dua perusahaan tersebut harus berhadapan dengan proses hukum dan kemudian divonis masuk bui sampai belasan tahun. Tidak cukup sampai di situ mereka juga dijerat dengan undang-undang pencucian uang. Semua asetnya dirampas negara. Jamaah umrah merana.
Hal semacam itu tidak boleh terjadi dalam pengelolaan dana haji. BPKH harus hat-hati dalam memilih skema investasi, transparan kepada publik karena dana haji bukan dana siluman, dan memberikan sistem bagi hasil yang adil dan proporsional kepada calon jamaah haji (tunggu) sebagai pemilik dana (shāhibul māl).
BPKH sudah semestinya berkonsultasi kepada MUI, Nahdlatul Ulama, Muhammadiyah, dan ormas Islam berpengaruh lainnya terkait dengan skema akad wakalah yang benar-benar sesuai syariat (syaria compliance).
Sampai sekarang mekanisme, syarat, aturan akad serta pembagian keuntungan sistem wakalah dana haji belum diatur secara teknis. Padahal menurut Pasal 13 Peraturan Pemerintah Nomor 5 Tahun 2018 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Pengelolaan Keuangan Haji, semua mekanisme itu menjadi tanggung jawab BPKH. Jangan sampai BPKH lalai dengan tugasnya.
Penulis adalah Ketua Komnas Haji dan Umrah