Opini

Bulan Bahasa: Puisi, Prosa, dan Politik Kebangsaan

Selasa, 28 Oktober 2025 | 18:14 WIB

Bulan Bahasa: Puisi, Prosa, dan Politik Kebangsaan

Ilustrasi bulan bahasa (Foto: Freepik)

Sejak era Balai Pustaka, sastra Indonesia telah menjadi ruang kritik sosial dan pembentuk kesadaran kebangsaan. Penerbitan karya-karya awal oleh Balai Pustaka, seperti Sitti Nurbaya (1922) oleh Marah Rusli dan Salah Asuhan (1928) oleh Abdul Muis, menunjukkan bagaimana prosa modern berperan dalam membentuk identitas nasional dan memotret persoalan moral serta sosial masyarakat.


Masa pergerakan kemerdekaan melihat karya-karya Chairil Anwar sebagai suara individual sekaligus politik kebangsaan, yang menekankan kemerdekaan jiwa dan penentuan nasib bangsa melalui puisi. Puisinya seperti “Aku” bukan hanya ekspresi pribadi, tetapi juga cermin kegelisahan dan semangat kebangsaan generasi muda saat itu.


Konteks modern menunjukkan kesinambungan: sastrawan kontemporer, melalui puisi, cerpen, dan esai, tetap mengangkat isu sosial-politik, identitas, dan keberagaman, membuktikan sastra tidak pernah terpisah dari kehidupan bangsa.


Bulan Bahasa selama ini dikenal luas sebagai perayaan bahasa. Namun, momentum ini seharusnya juga menjadi saat untuk menengok kembali peran sastra: sebagai penjaga nilai-nilai bangsa, jembatan antar-generasi, dan medium pembentuk kesadaran kebangsaan. 


Pertanyaan yang relevan untuk era sekarang adalah: bagaimana sastra modern Indonesia, baik puisi maupun prosa, dapat tetap berfungsi sebagai instrumen politik kebangsaan dan pembentuk identitas, di tengah derasnya arus globalisasi dan digitalisasi? 


Sastra dan Pembentukan Kesadaran Kebangsaan
Sejak era Balai Pustaka hingga karya Chairil Anwar, sastra Indonesia selalu berperan sebagai cermin jiwa bangsa. Puisi, cerpen, dan novel tidak hanya sekadar hiburan atau ekspresi individual, tetapi sarana untuk membangun kesadaran kolektif tentang identitas, nilai, dan arah bangsa.


Karya sastra semacam itu menjadi medium politik kebangsaan karena mampu menyuarakan kepedulian sosial, kritik terhadap ketidakadilan, serta aspirasi kemerdekaan dan persatuan. Contohnya, puisi Chairil Anwar dengan semangat “Aku” menegaskan keberanian individual sekaligus membangkitkan gairah nasionalisme pada masa awal kemerdekaan.


Di era digital sekarang, peran ini tidak berkurang, justru berkembang dalam bentuk baru: sastra daring, blog literer, dan platform media sosial sebagai ruang ekspresi sekaligus refleksi kebangsaan. Apakah karya sastra modern masih mampu membentuk identitas dan kesadaran kebangsaan generasi muda, ataukah hanya menjadi konsumsi estetis yang terputus dari konteks sosial-politik? Pertanyaan ini menegaskan bahwa Bulan Bahasa harus menyoroti kembali hubungan antara sastra dan pembangunan karakter bangsa.


Puisi sebagai Penjaga Nilai dan Politik Kebangsaan
Puisi Indonesia sejak awal abad ke-20 tidak hanya mengekspresikan estetika, tetapi juga sarana politik dan pembentuk identitas nasional. Dalam masa kolonial, puisi menjadi medium untuk menyuarakan kritik sosial dan kebangkitan nasional. Contoh paling nyata adalah karya Chairil Anwar, seperti sajak “Aku”, yang menyalurkan keresahan generasi muda terhadap penjajahan sekaligus membangun semangat individualisme berpadu dengan semangat kolektif kebangsaan.


Selain Chairil, puisi-puisi dari pemuda pergerakan nasional, seperti Muhammad Yamin dan Sanusi Pane, menyuarakan cita-cita kemerdekaan dan persatuan bangsa. Yamin melalui puisinya tentang “Tanah Air” membangkitkan rasa cinta tanah air, sedangkan Sanusi Pane menekankan kesadaran moral dan etika sosial.


Era digital membuka ruang baru bagi ekspresi puisi dan politik kebangsaan. Platform daring seperti blog, media sosial, dan podcast sastra memungkinkan puisi menyentuh audiens lebih luas, termasuk generasi milenial dan Gen Z. Contohnya, komunitas puisi digital seperti #PoetryInDigital di Instagram dan TikTok menayangkan puisi-puisi bertema kemanusiaan, toleransi, dan lingkungan, yang mampu menggaungkan nilai-nilai kebangsaan tanpa batas geografis. Seorang penyair muda di Surabaya memviralkan puisinya tentang keberagaman budaya dan toleransi, mendapat puluhan ribu like dan komentar yang menunjukkan resonansi sosialnya.


Namun, tantangan muncul: bagaimana penyair kontemporer mempertahankan intensitas pesan moral dan politik dalam format digital yang sering menuntut kesederhanaan dan konsumsi cepat? Bagaimana puisi tetap menjadi media refleksi kritis, bukan sekadar hiburan estetis?


Bulan Bahasa tidak hanya menjadi momen merayakan bahasa, tetapi juga mengingatkan kita bahwa puisi, baik tradisional maupun digital, adalah penjaga nilai, jembatan antar-generasi, dan medium politik kebangsaan. Puisi mampu menyatukan bangsa dalam kebinekaan, membentuk kesadaran kolektif, serta menanamkan nilai moral dan patriotisme, bahkan di tengah derasnya arus globalisasi dan digitalisasi.


Prosa sebagai Medium Kritik dan Narasi Bangsa
Prosa Indonesia, baik cerpen maupun novel, telah lama menjadi sarana kritik sosial dan pembentuk narasi kebangsaan. Sejak era Balai Pustaka hingga pasca-kemerdekaan, penulis prosa menyuarakan persoalan masyarakat, norma sosial, dan politik yang relevan dengan konteks zamannya. Misalnya, karya Merari Siregar dalam Azab dan Sengsara (Balai Pustaka, 1920) mengangkat ketidakadilan sosial dan kritik terhadap praktik adat yang mengekang rakyat kecil, sekaligus membangun kesadaran tentang perubahan sosial.


Pada era 1920–1960, novel-novel seperti Salah Asuhan karya Abdul Muis (Balai Pustaka, 1928) menyoroti konflik identitas dan modernitas dalam masyarakat Indonesia, memadukan kritik terhadap penjajahan kultural dengan narasi kebangsaan. Novel ini mengajarkan pembaca untuk merenungkan dilema modernisasi dan tradisi, sekaligus mempertahankan rasa nasionalisme.


Prosa kontemporer juga mengambil peran strategis dalam membentuk kesadaran kritis dan solidaritas sosial. Misalnya, karya Andrea Hirata, Laskar Pelangi (2005), meski bercerita tentang pendidikan, secara implisit menanamkan nilai persatuan, kerja keras, dan penghargaan terhadap keragaman budaya. Cerita yang lahir dari pengalaman lokal ini menyentuh pembaca secara universal, membangun identitas bangsa yang inklusif.


Era digital memberikan dimensi baru bagi prosa. Blog, e-book, dan platform daring memungkinkan penulis muda menyebarkan cerpen dan esai secara instan. Contohnya, gerakan #CeritaIndonesia di media sosial menghadirkan prosa pendek tentang toleransi, isu lingkungan, dan politik lokal. Puisi digital dan prosa online ini membentuk opini publik dan memicu diskusi kritis, menunjukkan bahwa sastra tetap relevan sebagai medium politik kebangsaan.


Bulan Bahasa seharusnya tidak hanya fokus pada perayaan bahasa, tetapi juga menyoroti prosa sebagai alat kritik sosial, pembentuk narasi kebangsaan, dan media pembelajaran moral. Prosa, seperti puisi, berfungsi sebagai cermin masyarakat, mencatat sejarah, dan mengajarkan generasi muda tentang tanggung jawab sosial, toleransi, dan persatuan di tengah pluralitas bangsa.


Sastra Digital dan Media Baru
Perkembangan teknologi digital telah membuka ruang baru bagi lahirnya karya sastra. Blog, media sosial, platform e-book, dan YouTube memberi peluang bagi penulis muda untuk menulis, menerbitkan, dan menyebarkan karya mereka secara cepat dan luas. Fenomena ini tidak hanya mengubah cara pembaca mengakses sastra, tetapi juga mempengaruhi gaya, bentuk, dan tema karya yang dihasilkan.


Contohnya, gerakan #CeritaIndonesia di media sosial menghadirkan cerpen dan puisi yang mengangkat isu sosial, lingkungan, dan toleransi. Meski berbentuk pendek dan instan, karya-karya ini tetap memuat pesan moral, membangun identitas, dan menanamkan nilai-nilai kebangsaan. Platform daring memungkinkan karya-karya ini menjangkau audiens lintas daerah, bahkan lintas negara, sehingga sastra tidak lagi terbatas pada ruang fisik atau penerbit tradisional.


Sastra digital juga berpotensi menjadi alat kritik sosial yang efektif. Melalui medium daring, penulis dapat menanggapi isu-isu politik, ekonomi, dan budaya secara cepat, membangun opini publik, sekaligus mendorong partisipasi masyarakat. Contoh nyata adalah cerpen interaktif yang diunggah di platform Wattpad atau Instagram Story, yang mengajak pembaca memberikan tanggapan langsung, sehingga proses literasi menjadi lebih partisipatif.


Bulan Bahasa harus menyoroti fenomena ini karena sastra digital bukan sekadar tren sementara. Kehadirannya membuktikan kemampuan sastra Indonesia beradaptasi dengan perkembangan zaman, tetap relevan sebagai media pendidikan, alat politik kebangsaan, dan penjaga nilai moral di tengah derasnya arus globalisasi dan digitalisasi.


Puisi dan prosa Indonesia bukan sekadar karya estetik; ia adalah cermin nilai, sejarah, dan politik kebangsaan. Dari Balai Pustaka hingga karya-karya Chairil Anwar, hingga sastrawan kontemporer, sastra telah berperan sebagai pengikat identitas dan kesadaran kolektif bangsa.


Hari Bulan Bahasa, yang biasanya kita kenal sebagai perayaan bahasa, seharusnya juga menjadi momen refleksi atas peran sastra. Sastra adalah media pendidikan nilai, jembatan antar-generasi, dan alat politik kebangsaan yang halus tetapi kuat. Dengan demikian, menjaga dan mengembangkan sastra berarti menjaga daya kritis, moral, dan identitas bangsa.


Bulan Bahasa tidak hanya ajang lomba bahasa atau baca puisi, tetapi juga ruang apresiasi sastra sebagai instrumen kebangsaan. Dengan cara ini, sastra Indonesia tetap relevan, adaptif, dan mampu membentuk identitas generasi di tengah globalisasi dan digitalisasi.


Abdul Wachid B.S., penyair, Guru Besar Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, dan Ketua Lembaga Kajian Nusantara Raya (LK Nura) di Universitas Islam Negeri Prof. K.H. Saifuddin Zuhri Purwokerto