Corona yang kini sudah hidup berdampingan dengan kita, setidaknya juga membawa cerita lain yang perlu kita telaah.
Corona datang untuk mengubah peradaban kita. Ia ada, tapi tak seheboh yang kita kira. Bila pun ada yang terpapar dan lantas mati, memang begitulah cara matinya. Toh ada juga yang kena tapi sembuh. Wis wayahe. Iman kita ditakar dari situ. Semua sudah dirancang oleh Gusti Pangeran. Kita hanya aktor di atas panggung raya kehidupan ini. Bagi kita umat Islam, soal itu sudah harus selesai secara nalar. Jika tidak, kita takkan pernah bisa mengerti betapa sehelai daun jatuh pun, berada dalam pengetahuan Tuhan.
Pada ranah itulah terletak kelebihan Islam ketimbang dua agama Samawi lain. Iman dalam pandangan Islam, adalah soko guru dalam laku beragama. Pun Corona dicipta dengan segala kontroversi serta variannya, ya justru itu bagian dari rencana Tuhan yang kemudian kita hakimi.
Berdasar pola penalaran qur'ani semacam, wajar bila Nabiyullah Khidr as tak ragu membunuh seorang anak yatim di hadapan Musa as. Toh ia hanya agen dari kepanjangan tangan takdir yang misterius. Bukankah membunuh seorang manusia sama dengan membunuh seluruh umat manusia? Paling tidak demikianlah yang dikabarkan Al-Qur’an.
Merujuk premis utama tulisan ini, hanya orang-orang berimanlah yang sanggup memahami gerak-gerik takdir di kolong langit. Tak heran bila mereka sama sekali tak takut dengan penambahan dosa dan pengurangan pahala (QS Jin [72]: 13).
Zaman pandemi yang sudah dua lebaran kita lewati, sejatinya juga ingin mengajak kita merenung. Banyak mitos agama rontok. Kota-kota "suci" yang konon tak bisa dimasuki kejahatan Iblis, ternyata malah kosong melompong. Ka'bah yang jika tak ditawafi menyebabkan kiamat, rupanya tetap baik-baik saja tanpa jamaah haji. Masih banyak lagi yang perlu kita kaji dari fenomena kiwari ini.
Corona menjelaskan kepada kita semua, bahwa beragama juga harus berilmu dengan penggunaan akal maksimal. Bukan hanya membebek—apalagi membabi buta.
Sebuah studi terbaru menemukan bahwa ketebalan stratosfer bumi telah menyusut 400 meter sejak 1980. Meski penurunan ketebalan tersebut sudah pernah dilaporkan sebelumnya, penelitian ini adalah pemeriksaan yang pertama kali dalam skala global.
"Mengejutkan. Ini membuktikan kita telah mengotak-atik atmosfer hingga 60 kilometer," kata salah satu tim peneliti, fisikawan dari University of Vigo Earth, Juan Añel, seperti dikutip dari Science Alert. Perubahan perilaku kita di kolong langit, sebenarnya juga berdampak pada kemunculan Corona sebagai spesies baru. Kehadirannya dipantik oleh kegalatan kita menata jagat gede ke dalam jagat alit—yang adalah diri kita nan sejati.
Polusi kendaraan, pabrik berskala besar, gas rumah kaca, dan sebagainya, telah merusak udara yang kita hirup per detik. Dalam hal ini, menggunakan masker jauh lebih masuk akal daripada menakuti sebentuk virus yang bahkan tak kasat mata. Apabila Islam mendaku bahwa manusia merupakan puncak penciptaan di semesta raya, kenapa pula kita harus tunduk berlutut pada makhluk demikian?
Tanpa Corona pun, kita pasti mati. Ingatlah Kisanak, tak ada yang terjadi begitu saja tanpa sebab. Jangan melulu fokus pada akibat. Sebab segala sesuatu mengada dari Sang Maha Ada. Jadi Dialah yang mengadakan apa saja dalam kehidupan kita, termasuk ketiadaan. asal muasal kita yang paripurna. Jikalau takut mati karena Corona, mengapa tak berani menjalani hidup yang sebegini meriah?
Manakala kita sakit, dokter atau tabib akan membuatkan resep obat yang kadangkala rasanya getir di lidah. Usai kita meminum obat itu, rasa yang sebelumnya mengganggu, hilang seketika. Entah ke mana. Pun begitu dengan Corona yang sedang mendampingi kita saat ini. Ia tak ubahnya ramuan mujarab ciptaan alam raya, agar kesehatan jiwa-raga, pikiran dan rasa kita kembali pulih sebagai manusia—yang selaras dengan kebregasan semesta.
Rumah kita nan hijau ini, sudah teramat usang akibat ulah para penghuninya sendiri. Kita terlampau jauh menerobos batas. Teramat sering melampaui batas norma kehidupan. Segala aturan hidup yang semula terabaikan, bahkan sengaja dinafikan, kini dikembalikan pada hakikat sejatinya. Kita dipaksa kembali ke rumah purbani. Di mana kita bisa bercengkerama dengan diri yang terdalam, lebih hangat, lebih intim, dan personal.
Kita yang kadung tercerai-berai, kini disatukan keadaan-kenyataan yang tak bisa ditampik. Kebersihan jiwa, pikiran, dan rasa, jadi penentu seberapa cepat kita memulihkan kondisi yang carut-marut ini. Bukan roda perekonomian yang harus diputar secepat mungkin, tuk menanggulangi beban derita. Namun kesadaranlah yang mesti dimekarkan kelopaknya.
Apa pun yang terjadi, yang kita alami, semuanya membutuhkan penerimaan, disyukuri, diinsyafi, dijalani, diikhlaskan. Tanpa itu, hidup kan terasa seperti beban berat yang sulit diangkat. Tuhan jelas tak mungkin membebani kita, makhluk-Nya yang lemah tak berdaya ini. Apa yang mau diuji dari barang ciptaan yang memang tiada daya upaya? Allah menciptakan kita untuk mengabdi. Menjadi hamba. Budak sahaya. Bukankah dengan derajat hamba itulah Nabi Muhammad SAW diperjalankan menuju Ketinggian Tertinggi?
"Mahasuci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Masjid al-Haram ke Masjid al-Aqsha yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda (Kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui" (QS Perjalanan Malam [17]: 1).
Perhatikanlah, Kisanak, kenapa Allah tak mencantumkan saja nama Muhammad dalam ayat itu? Lantas ada apakah gerangan dengan penahbisan gelar 'abdi (hamba) tersebut? Tak mungkin Al-Qur’an sembarang mencuplik redaksionalnya. Berdasar keterangan ini, jelaslah sudah betapa sesungguhnya bentuk ibadah paripurna adalah pengabdian pada jalan takdir-Nya, bagi masing-masing kita. Maka renungkanlah.
Corona yang kini sudah hidup berdampingan dengan kita, setidaknya juga membawa cerita lain yang perlu kita telaah. Imam 'Ali bin Abi Thalib karamallahu wajhahu sudah menubuatkannya seribu empat ratus tahun silam.
Zaman yang memaksa kita ngedan ini adalah panggung akbar bagi para pelacur yang jadi panutan publik. Banyak orang yang keimanannya cuma bersarang dalam pikiran, bukan merasuk ke sanubari. Orang-orang baik bertebaran di mana saja, tapi tak berakal. Sementara orang-orang bodoh malah tak tahu diri. Ulama sudah tak lagi bisa diteladani. Mereka yang fasih berbicara, namun tak sesuai dengan tindakannya.
Kembali ke pasasi awal, kita tak bisa serta-merta mengabaikan sepenggal ayat berikut ini, "Demikianlah Allah membiarkan sesat orang-orang yang dikehendaki-Nya dan memberi petunjuk kepada siapa yang dikehendaki-Nya" (QS Orang yang Berkemul [74]: 32). Karena itu pula, kita tak perlu kerok melihat orang yang sedang menjalani takdir ketersesatannya. Toh itu pun bagian dari cara Tuhan membimbing mereka.
Salah-benar itu bergantung pada bagaimana cara kita memandang sahaja, meski keduanya mengendap dalam pikiran dan rasa. Salah bagimu, benar bagi liyan. Pun sebaliknya. Maka jangan pernah merasa bersalah atau benar sendiri. Rasa bersalah dan rasa benar itulah yang perlu disadari dasarnya. Kesalahan terbesar kita sebagai manusia, hanya satu:
Kita tak pernah sungguh benar mengetahui Rahasia perjalanan Hidup, tapi kita sok tahu dengan berkata ini-itu, berbuat begini-begitu, berpikir anu-inu. Takdir kita dimulai dari tangan yang menggenggam kekosongan, lantas kita pergi jauh menunggangi kehampaan. Mencintai-dicintai semesta kehidupan. Mengajari manusia kasih-sayang Tuhan.
Dari situlah bermunculan dosa berjela-jela. Sebab kita menuding kejadian, dan lupa pada Hyang Maha Menentukan Kejadian. Kita juga gemar mengambil peran-Nya yang Maha Meliputi segala sesuatu. Apa pun itu, dhahir-bathin, tak terlepas dari liputan-Nya. Sekali saja kita mengakui Perbuatan-Nya, pasti berakibat fatal. Bukankah tak ada yang terjadi di semesta ini, tanpa sepengetahuan Dia Hyang Maha Mengetahui?
Ren Muhammad, pendiri Khatulistiwamuda yang bergerak pendidikan, sosial budaya, dan spiritualitas; Ketua Bidang Program Yayasan Aku dan Sukarno, serta Direktur Eksekutif di Candra Malik Institute.