Opini

Ekologi Jawa: Doktrin Pelestarian Lingkungan dalam Tradisi Slametan

Ahad, 30 November 2025 | 20:10 WIB

Ekologi Jawa: Doktrin Pelestarian Lingkungan dalam Tradisi Slametan

Iluistrasi selametan (Foto: Wikipedia)

Falsafah ”Hamemayu Hayuning Bawono” begitu melegenda bagi masyarakat Jawa. KRT. Jatiningrat (RM. Tirun Mawrito),  menjabarkan bahwa falsafah tersebut mengandung ajaran untuk ”membuat cantik” atau “menyelamatkan dunia selama mungkin”, meskipun suatu saat nanti dunia ini akan hancur. 


KRT. Jatiningrat bahkan mengutip Al-Qur’an Surah Ar-Rum ayat 21, bahwa ”telah terlihat dengan nyata kerusakan di daratan maupun di lautan yang disebabkan oleh tangan manusia”. Atas dasar itulah, menurut KRT. Jatiningrat, falsafah ”Hamemayu Hayuning Bawono” memberikan konsep yang ”mendunia”, sebab manusia memiliki kedudukan sebagai kepanjangan tangan Allah SWT yang bertugas menyelamatkan dunia dari kerusakan. 


KRT. Jatiningrat menegaskan bahwa harmoni harus diwujudkan dalam hubungan manusia dengan Tuhan, sekaligus hubungan manusia dengan alam semesta (Mason C. Hoadley, 2009:xvi). Islam mengenalkan konsep tersebut dengan istilah hablum minallah, hablum minannas, dan hablum minal ‘alam, ketiganya saling berkaitan satu dengan yang lain. 


Bagi masyarakat adoh watu cedhak ratu, yakni masyarakat Jogja dan sekitarnya, falsafah itu tak akan lekang dalam ingatan. Sebab falsafah ”Hamemayu Hayuning Bawono” mendasari tata kota dan pembangunan keraton oleh Sri Sultan Hamengkubuwono I. Konsep tersebut diejawantahkan oleh Sri Sultan Hamengkubuwono I dengan Laut Selatan dan Gunung Merapi sebagai poros tata kota yang lokasi pembangunan pusat kota dekat dengan sumber mata air Umbul Pacethokan. Kontur tanah wilayah bangunan keraton lebih tinggi, seperti di atas punggung kura-kura, dengan diapit oleh 6 sungai, 3 di timur, dan 3 di barat, sehingga bebas dari banjir, aneka vegetasi juga ditanam di seputar keraton sebagai media menambatkan makna kehidupan (Kraton Jogja, Agustus 2022).


Lantas bagaimana falsafah ”Hamemayu Hayuning Bawono” diejawantahkan dalam masyarakat cedhak watu adoh ratu? Bukan hanya di keraton Ngayogyakarta saja, tetapi falsafah itu telah menjadi hembusan nafas orang Jawa hingga pelosok desa-desa. Ketika keraton ”membangun” Panggung Krapyak hingga Tugu Pal Putih (Tugu Golong Gilig) sebagai pengingat falsafah ”Hamemayu Hayuning Bawono”, di Perbukitan Menoreh simbol-simbol itu ”dibangun” dengan sekul ambeng sebagai ubarampe pada tradisi selametan. Ketika bangunan keraton beserta sumbu filosofisnya dibangun sebagai warisan sejarah, sekul ambeng dalam selametan di desa-desa ”dibangun” setiap kali ada acara penting yang terperanjat bersamanya doa-doa keselamatan. 


Ubarampe selametan di desa-desa bahkan terus hidup menjadi ”monumen hidup” yang menyiratkan simbol harmoni manusia dengan alam, sehingga membentuk cara pandang masyarakat terhadap alam yang harus dijaga kelestariannya. Dalam kacamata agama sebagai sistem kebudayaan yang dikemukakan oleh Clifford Geertz, ”monumen hidup” itu akan menyokong seperangkat nilai dan perasaan (etika) sehingga menuntun kehidupan masyarakat agar bersesuaian dengan falsafah ”Hamemayu Hayuning Bawono” (Daniel L. Pals: 2024: 71). 


Tradisi selametan seperti ini telah menjadi daur hidup masyarakat Jawa di pedesaan. Misalnya untuk memperingati Maulid Nabi di bulan Rabi’ul Awwal, ada kegiatan Muludan Praja yang sebelumnya diawali selametan dengan seperangkat ubarampe yang lengkap, termasuk sekul ambeng di dalamnya bersama sekul golong, tumpeng, ayam ingkung dan ubarampe lainnya. Demikian pula dengan peringatan Isra’ Mi’raj di Bulan Rajab, selametan tak pernah absen melengkapi rangkaian acara yang selalu diawali dengan berkirim tahlil kepada para leluhur. Begitu pun setelah shalat Idul Fitri, tradisi selametan dilanjutkan dengan acara makan bersama bagi seluruh jamaah. Masyarakat pedesaan bahkan terbiasa menggelar selametan sebelum bergotong-royong, merenovasi rumah, mengawali hajatan pernikahan atau khitanan, termasuk dalam peringatan kematian tujuh hari, empat puluh hari, seratus hari, hingga seribu hari. 


Seluruh ubarampe selametan memiliki simbol masing-masing, pemaknaan simbol itu dirapalkan oleh sesepuh, perapalan itu sering disebut dengan ngujudaken walimahan, sebelum nantinya ditutup dengan doa walimah. Sampai pada sekul ambeng, sesepuh akan merapalkan:


”Ambeng ingkang sak asahan minongko tandha bekti Kanjeng Nabi Ilyas – Kanjeng Nabi Khidir ingkang ngrumeksani daratan soho lautan, pramilo dipunbekteni, dipun suwuni sawab rahayu wilujeng, tanam tuwuh ingkang karisak kangge pasang kawilujengan mugi pulih lilih ijo royo-royo kados wingi uni.”


Ambeng (dalam) satu piring merupakan tanda bakti kepada Kanjeng Nabi Ilyas – Kanjeng Nabi Khidir, yang menjaga daratan dan lautan, sehingga dimuliakan, dimintai sawap keselamatan, tanaman dan tumbuhan yang dirusak untuk membuat selametan ini, semoga hijau rimbun kembali seperti semula” (Sumardi, 2025)


Sekul ambeng merupakan sepiring nasi dengan lauk pauk sebagai topping-nya. Pada akhir selametan, setelah doa walimah, seluruh ubarampe selametan akan diputar keliling dan seluruh jamaah bebas mengambil ubarampe untuk dinikmati. Sekul ambeng ini cukup banyak digemari jamaah yang tidak mau repot mengantre makan bersama, karena sudah siap dihidangkan beserta lauk yang lengkap. 


Doktrin pertama, Islam mengajarkan bahwa perbuatan membuang-buang makanan adalah mubazir, dan termasuk perbuatan tercela bahkan dalam Al-Qur’an Surah Al Isra’ ayat 27 dikategorikan sebagai perbuatan setan. Apakah ubarampe selametan akan ”dipersembahkan” sehingga terbuang sia-sia, seperti tuduhan yang dilontarkan oleh kalangan anti selametan?

 

Tentu tidak, sebab setelah selametan selesai, ubarampe itu dikonsumsi bersama-sama oleh seluruh jamaah. Dari hal ini, kita belajar betapa alam semesta memberikan tanaman-tetumbuhannya untuk kita konsumsi, namun seberapa sering kita membuang sia-sia sisa makanan kita? Pelaksanaan ”Hamemayu Hayuning Bawono” yang paling esensial ada di dalam ritus selametan ini, apa yang telah diberikan oleh alam, dapat dimanfaatkan untuk kemaslahatan manusia ”secukupnya”.


Doktrin kedua, kesadaran lingkungan menjadi faktor penting dalam upaya pelestarian alam itu sendiri. Secara terus terang dan blokosuto, sesepuh merapalkan ”tanam tuwuh ingkang karisak kangge pasang kawilujengan mugi pulih lilih ijo royo-royo kados wingi uni” yang berarti ”tanaman dan tumbuhan yang ”dirusak” untuk memasang selametan ini, semoga hijau rimbun kembali seperti semula”. 


Ungkapan ini terlampaui jujur, bahkan terkesan tak biasa bagi orang Jawa yang selalu menyiratkan kejujuran dengan simbol dan basa-basi. Seribu satu orang Jawa yang ceplas-ceplos, blokosuto tanpa tedheng aling-aling. Tetapi rapalan inilah yang dirapalkan sesepuh dalam memaknai sekul ambeng! Sesepuh memilih diksi “merusak” yang artinya diakui bahwa memang manusia telah “membuat rusak” tanaman-tumbuhan untuk kebutuhan dan hajat hidupnya. 


Timbul pertanyaan kemudian, bukankah memang sunatullah-nya tumbuhan untuk dimanfaatkan manusia? Tentu saja, namun bukankah hakikatnya pemanfaatan itu tetaplah merusak ”hidup” tumbuhan? Maka, pada akhirnya rapalan selametan itulah yang ”benar” bahwa manusia ”merusak” untuk dimanfaatkan seperlunya. Dengan demikian, tanggung jawab kita adalah berupaya sekuat tenaga agar alam pulih rimbun hijau kembali. 


Doktrin pertama dan kedua akan mudah diterima bagi siapa pun yang berpikiran jernih, adapun yang ketiga, rapalan Nabi Ilyas sebagai penjaga daratan (hutan) dan Nabi Khidir sebagai penjaga lautan, lebih dekat dikategorikan sebagai mitologi. Namun demikianlah adanya, mitologi ini (terutama tentang Nabi Khidir) begitu mengakar dalam tradisi Jawa, terutama dalam melegitimasi supranatural kesadaran ekologi masyarakat Jawa. Ajaran itu salah satunya adalah anjuran membaca Al-Fatihah untuk Nabi Ilyas ketika hendak memulai bercocok tanam (Muchammad Ikhsanudin, 2025).


Bila dispesifikkan, Nabi Khidir adalah guru Sunan Kalijaga (Syekh Malaya) sebagaimana tertulis dalam Serat Suluk Walisana (Sri Haryatmo, 2015:178). Menariknya, Sunan Kalijaga-lah yang memerintahkan Sunan Geseng, seorang muridnya yang asli Bagelen, untuk mengajarkan pertanian kepada masyarakat Bagelen, sebagaimana diriwayatkan Babad Kedu (Mas Kumitir, n.d:6). Bagelen Raya, pada masanya mencakup kawasan Perbukitan Menoreh yang sampai hari ini masih didapati tradisi selametan sebagaimana telah dijabarkan. Menurut Babad Jalasutra, Sunan Geseng adalah guru dari Sultan Agung Hanyakrakusuma di masa kanak-kanaknya (Abd. Shomad & Zainal Abidin, n.d:220). 


Sebagaimana masyhur kita ketahui, Sultan Agung adalah Raja Mataram Islam yang menata konsep keislaman secara lebih terstruktur dengan mengakulturasikan budaya Jawa. Pertanyaannya kemudian, apa jangan-jangan, konsep selametan muncul dahulu di Bagelen kemudian dibawa ke timur, dimonumenkan menjadi bangunan-bangunan yang menyimbolkan “Hamemayu Hayuning Bawono” di pusat kerajaan, diadopsi menjadi tata kota keraton? 

 

Mastri Imammusadin, Peneliti Hukum Jawa, Periset Lesbumi PCNU Purworejo