Opini

Gelar Pahlawan untuk Marsinah dan Realitas Kesejahteraan Buruh

Ahad, 16 November 2025 | 15:05 WIB

Gelar Pahlawan untuk Marsinah dan Realitas Kesejahteraan Buruh

Ilustrasi Marsinah memperjuangkan buruh (Marsinahdotid/NU Online/Aceng)

Peringatan Hari Pahlawan tahun ini tampak berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya. Suasananya lebih riuh dan ruang publik mendadak dipenuhi silang pendapat. Seremoni yang biasanya berjalan datar dan penuh khidmat, kali ini berubah menjadi panggung tarik-menarik narasi sejarah. Pemicu utamanya adalah kontroversi penokohan, terutama setelah pemerintah secara resmi menganugerahkan gelar Pahlawan Nasional kepada Soeharto.


Di tengah kegaduhan itu, perhatian saya justru tertuju pada nama lain yang melintas jauh dari pusat kekuasaan, namanya Marsinah. Seorang buruh perempuan yang bekerja di pabrik arloji, tewas dibunuh di usia muda setelah memperjuangkan kenaikan upah dan hak dasar rekan-rekannya. 


Kepahlawanannya tidak lahir dari medan pertempuran atau panggung kekuasaan, melainkan dari keberanian menyuarakan tuntutan sederhana di lantai pabrik, di tengah deru mesin produksi yang kerap membuat suara mereka yang paling lemah tak terdengar.


Namun, proses pengusulan gelar pahlawan Marsinah sendiri tidak luput dari perdebatan. Menurut keterangan dalam siniar Bocor Alus Politik Tempo (8/10), seharusnya penetapan gelar tersebut baru bisa dilakukan tahun depan, tetapi pemerintah diduga mempercepat prosesnya. Langkah ini memunculkan spekulasi bahwa pengangkatan Marsinah bersamaan dengan Soeharto dapat dibaca sebagai bentuk hero-washing. Terlebih, pembunuhan Marsinah terjadi pada masa Orde Baru berkuasa, dan hingga kini misteri pelaku serta dalang di balik peristiwa tersebut belum terungkap.


Hampir tiga dekade setelah kepergian Marsinah, persoalan yang ia suarakan masih bergema. Berbagai laporan tentang kondisi ketenagakerjaan menunjukkan bahwa kesejahteraan buruh tidak selalu sejalan dengan pertumbuhan ekonomi. Aliansi Ekonom Indonesia mencatat: sebelum pandemi (2010–2020) pertumbuhan ekonomi rata-rata 5,4 persen mendorong kenaikan upah riil hingga 5,1 persen. Pasca-pandemi (2022–2024) perekonomian tetap tumbuh sekitar 5 persen, namun upah riil hanya naik 1,2 persen. Di banyak keluarga pekerja, itu berarti ruang hidup yang semakin menyempit. 


Kondisi tersebut diperparah dengan kebijakan kenaikan gaji dan tunjangan anggota DPR, yang kemudian menjadi salah satu pemicu terjadinya prahara di bulan Agustus 2025 lalu. Bayangkan rata-rata upah minimum nasional tahun 2024 hanya sekitar Rp 3 juta, sedangkan take home pay anggota DPR per bulan mencapai ratusan juta sebelum mendapat protes. 


Ketimpangan yang lebar ini memicu kemarahan publik karena telah mengoyak rasa keadilan. Buruh, yang bekerja keras dan membayar pajak, hidup dengan upah pas-pasan, berbanding terbalik dengan fasilitas dan kemewahan yang dinikmati wakil rakyat—yang notabene itu juga berasal dari pajak mereka.


Di sisi lain, realitas keseharian para pekerja menunjukkan tantangan yang lebih kompleks. Tidak hanya buruh pabrik, tetapi juga pekerja nonformal dan pekerja gig menghadapi kondisi yang serba abu-abu. Status “mitra” membuat mereka bekerja layaknya karyawan, tetapi tanpa perlindungan dasar. Pendapatan bisa berubah sekejap karena algoritma atau kebijakan perusahaan, sementara kebutuhan hidup terus meningkat. 


Di rumah-rumah sempit dan kontrakan sederhana, banyak keluarga harus menata ulang pengeluaran hanya untuk memenuhi kebutuhan pokok sehari-hari. Tak jarang kita menyaksikan pengemudi daring turun ke jalan untuk menuntut pembagian yang lebih adil dari pihak aplikator. 


Aksi mereka menjadi pengingat bahwa di balik kemudahan layanan digital, ada pekerja yang tetap menanggung risiko, penghasilan tidak pasti, dan tekanan yang terus meningkat—sebuah kondisi yang menunjukkan betapa jauh ketentuan dan kebijakan saat ini dari kebutuhan hidup yang layak.


Kebijakan pengupahan dalam Undang-Undang Cipta Kerja berupaya menyeimbangkan inflasi, produktivitas, dan pertumbuhan ekonomi. Bagi dunia usaha, formula ini memberikan kepastian biaya. Namun bagi buruh, kenaikan upah sering tertinggal dari laju harga kebutuhan pokok. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 168/PUU-XXI/2023 menegaskan bahwa penghitungan upah minimum harus memperhitungkan Kebutuhan Hidup Layak (KHL), sehingga penetapannya tidak sekadar berdasar angka di tabel statistik ekonomi, tetapi mencerminkan kebutuhan dasar pekerja.


Kesepakatan terbaru International Labour Organization (ILO) yang menetapkan standar global untuk pekerjaan platform memberi arah bagi perbaikan. Prinsip-prinsip ini menekankan pengakuan pekerja sebagai pihak yang berhak atas perlindungan sosial, upah layak, dan hak negosiasi. 


Jika diterapkan di Indonesia, standar tersebut dapat membantu menutup celah hukum yang selama ini memungkinkan pekerja digolongkan secara keliru, serta mendorong perusahaan platform memberikan kondisi kerja yang lebih adil dan transparan. Tanpa perubahan ini, pekerja gig tetap menghadapi risiko tinggi, ketidakpastian pendapatan, dan tekanan kerja yang terus meningkat, meski ekonomi digital semakin berkembang.


Dalam realitas keseharian, buruh hadir di mana-mana: di pabrik, di gudang logistik, di platform digital, bahkan di jalanan kota. Namun inti tuntutannya tetap sama—kepastian upah, rasa aman dalam bekerja, dan pengakuan atas kontribusi mereka terhadap perekonomian. Reformasi ketenagakerjaan bukan sekadar revisi pasal demi pasal, melainkan upaya memperkuat martabat manusia yang menopang fondasi negara.


Marsinah mengajak kita merenungkan, apakah penghargaan simbolik telah diikuti perubahan substantif? Atau sekadar memberi nama pada monumen tanpa menyentuh akar persoalan? Sapardi Djoko Damono dalam puisinya berkata: 


“Marsinah itu arloji sejati, 
melingkar di pergelangan tangan kita ini; 
dirabanya denyut nadi kita, 
dan diingatkannya agar belajar memahami hakikat presisi.” 


Selama presisi itu belum tercermin dalam kebijakan, selama keadilan belum terasa di rumah-rumah para pekerja, kita belum selesai dengan Marsinah.


Muchamad Nadzirummubin, kader muda NU, tinggal di Jakarta