Meski tidak bekerja lagi sebagai pendidik, saya punya banyak kenalan para guru-guru. Di antaranya adalah para guru-guru mengagumkan. Misal, di usia yang masih muda (belum 40) tahun, sudah jadi kepala sekolah sebuah sekolah menengah pertama (SMP) negeri. Guru-guru lain, guru-guru muda, yang enerjik dan banyak melakukan inovasi.
Saya misalnya kenal dengan seorang guru perempuan yang di usianya masih muda sudah memiliki yayasan penyandang kaum difabel, mengorganisasi puluhan anak-anak difabel, memberdayakan mereka, dan memperjuangkan hak-haknya. Ada teman-teman guru lain yang saya kagumi dengan kelebihannya masing-masing. Saya memang banyak berinteraksi dengan guru dari kegiatan literasi dan kesukaan menulis dan kegemaran pada membaca.
Ketika pulang kampung di Trenggalek pada 2008, tanpa sengaja saya mendapatkan nomor ponsel guru SMP saya dulu; Pak Sunardi, guru bahasa Indonesia yang membuat saya mudah memahami pelajaran Bahasa Indonesia dari cara mengajarnya yang sistematis. Pada tahun itu, beliau jadi kepala sekolah di SMPN 3 Watulimo, sekolah SMPN baru yang baru punya murid di kelas 7 dan 8 (atau dalam bahasa kami dulu kelas 1 dan 2 SMP).
Karena sejak pulang kampung saya butuh teman dan jaringan agar bisa berkiprah dan tidak diam saja di rumah, sayapun menghubungi beliau dengan kirim SMS. “Pak Nardi, selamat sore. Maaf, kalau sebelumnya mengganggu Jenengan. Saya Nurani, dulu murid Bapak waktu di SMPN 1 Watulimo. Saya baru pulang kampung, apa bisa saya sowan ke jenengan sambil mau memberikan buku-buku karya saya jika berkenan”, begitu sms saya waktu itu.
Maka pada sehabis magrib, saya sowan ke rumahnya. Berbincang tentang masa sekolah dulu dan kegiatan kami masing-masing. Ternyata saya tahu bahwa Pak Nardi adalah guru yang berprestasi di bidang penulisan ilmiah. Beliau rajin membuat penelitian tindakan kelas (PTK) tiap semesternya. Bahkan pada saat itu beliau sedang kuliah doktoral di kampus UM Malang, karena beliau (hingga saat ini) juga menjadi dosen di kampus STKIP PGRI Trenggalek.
Ternyata pertemuan itu menghasilkan semacam “rezeki” buat saya. Suatu siang saya ditelfon oleh beliau, saya dimintai tolong untuk bicara di hadapan murid-murid dan guru-guru di sekolah yang dipimpinnya. Acaranya semacam motivasi menulis, pada hari di mana anak-anak dan guru tak ada kegiatan belajar karena baru saja menyelesaikan ujian semester. Saya pun setuju dan saya juga menawarkan akan memberikan beberapa buku karya saya untuk anak-anak di sekolah yang letaknya di utara (tidak jauh) Gunung Sepikul yang tinggi besar tegak menjulang itu. SMPN 3 Watulimo Kabupaten Trenggalek, memang terletak di lereng gunung.
Acara itu terjadi, di sebuah aula yang sebenarnya adalah dua ruang kelas yang pemisahnya bisa dicopot. Sebagaimana diminta Pak Nardi, saya menjelaskan proses kreasi saya dalam berkarya, juga dunia tulis-menulis dan kiat menulis. Saya tak hanya menyampaikan materi, tapi juga ada sesi tanya jawab. Beberapa murid dan guru bertanya dan saya menjelaskan.
Setelah acara selesai, saya diajak Pak Nardi ke ruang kerjanya. Di sela-sela obrolan, ternyata beliau menawari saya untuk mengajar di sekolahnya. Saya bingung dan belum menjawab langsung, tapi akan saya pikirkan. Beliau setuju dan mengatakan bahwa akan menunggu jawaban saya secepatnya.
Itulah yang akhirnya membuat saya sempat menikmati menjadi seorang guru SMPN meskipun hanya 1 semester. Saya sempat transfer kuliah di kampus STKIP Trenggalek karena memang itu syarat agar saya bisa menjadi guru dalam makna sebenarnya, yang didukung syarat administratif dan kesesuaian jurusan. Tapi nyatanya saya hanya bertahan 1 semester mengajar, pun juga kuliahnya.
Akhirnya saya tak jadi berkarier sebagai guru. Sebuah hal yang kadang saya sesali. Tidak sering—tapi beberapa kali—saya mengatakan pada istri saya: “Seumpama saya dulu terus jadi guru, mungkin hidup kita lebih stabil, ayem. Dan kita di masa tua akan mencatat murid-murid kita yang sudah tumbuh jadi ‘orang’... Hehe.”
Dia mendengarkan khayalan saya dan kemudian berkata bahwa takdir manusia kadang berbeda. Sayapun setuju. “Kita tetap bisa jadi guru untuk anak-anak kita dan semua orang!”, bisiknya, dalam sebuah obrolan hangat sebelum tidur, ketika saya mengingat lagi soal itu.
Saya kemudian mengingat masa-masa itu. Kenapa saya bisa berhenti jadi guru? Saya ingat. Penyebabnya antara lain waktu itu saya disibukkan dengan kegiatan keliling menjadi pembicara seminar peningkatan kualitas guru.
Suatu ketika, saya diajak teman menjadi pemateri dengan topik “Kiat Menulis di Media Massa untuk Guru”, pasca semacam seminar keliling-keliling hampir semua kabupaten/kota se-Jawa Timur dengan honor yang cukup lumayan, saya senang menjalani kegiatan itu—kegiatan yang dimulai dengan semacam kontrak atau kesepakatan bahwa saya akan maudiajak keliling ke banyak kota.
Selain itu juga ada kegiatan di desa karena posisi saya sebagai ketua Karangtaruna yang dimintai tolong kepala desa. Waktu itu persiapan penjurian Lomba Karangtaruna Berprestasi karena Karang Taruna desa kami mewakili Trenggalek di Propinsi untuk berkompetisi dengan 8 kabupaten lain (masuk 8 besar). Acara yang cukup menyibukkan dan membuat kuliah dan kegiatan mengajar saya cukup terganggu.
Selain itu juga saya masih sering diundang aktivis mahasiswa di beberapa kota untuk bedah buku, juga diskusi publik. Sejak saya sudah menerbitkan 12 judul buku, permintaan dan undangan menulis dari penerbit terus datang. Akhirnya saya memutuskan untuk keluar dari kegiatan mengajar dan kuliah. Belakangan, awal tahun 2010, saya juga ditawari mengajar di kampus swasta di Blitar, yang saya jalani hingga 2013.
Tapi harus saya akui bahwa dari proses berbagai kegiatan sejak 2008 itulah, saya banyak berkenalan dengan para guru. Ada beberapa guru muda yang awalnya jadi peserta seminar waktu diadakan di Trenggalek. Ada beberapa guru yang ingin mengembangkan kemampuan menulisnya. Dan kemudian bersama beberapa mahasiswa dan para guru kami juga mendirikan kegiatan ngumpul bulanan yang kemudian terkenal dengan acara “Arisan Sastra”—yang kemudian jadi cikal bakal gerakan literasi Trenggalek yang kemudian secara organisasional melahirkan lembaga Quantum Litera Center (QLC).
Di lembaga ini, saya melihat bagaimana ternyata guru-guru banyak yang punya semangat untuk meningkatkan kualitasnya. Mereka menulis dan sebagian besar memiliki semangat belajar yang luar biasa. Di antaranya adalah para guru yang berhasil melejitkan potensi siswa-siswinya di bidang penulisan, sastra, dan teater.
Interaksi dengan guru juga terjadi sejak saya dan beberapa teman mendirikan Lembaga Perlindungan Anak (LPA) Trenggalek. Melalui lembaga inilah kami berkenalan dengan wacana kekerasan terhadap anak, termasuk kekerasan di sekolah. Difasilitasi oleh Badan Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak, dan Keluarga Berencana (BPPPAKB), kami bersama para guru dan perwakilan dari dinas pendidikan beberapa kali belajar tentang hak-hak anak. Dari sinilah kami ikut mengampanyekan program “sekolah ramah anak”.
Dari LPA pulalah kami akhirnya mengetahui ternyata banyak kasus-kasus kekerasan yang dialami oleh anak-anak, baik di masyarakat, keluarga, maupun sekolah. Anak dihamili oleh ayahnya sendiri. Anak di-bully temannya. Anak berhadapan dengan hukum. Anak dihamili temannya. Anak korban kejahatan seksual dengan berbagai bentuk dan kadarnya.
Untuk dunia pendidikan, ternyata juga cukup membuat saya miris. Meski tak banyak, tapi ada juga guru yang menempeleng muridnya. Dan yang sampai kami mediasi adalah kasus guru memberikan hukuman dengan cara menyuruh dua orang murid yang memecahkan pot untuk mengalungkan kedua sepatunya dan berkeliling kelas dengan telanjang dada. Pihak orangtua murid meminta secara keras guru itu dipecat. Akhirnya hasil diskusi di pertemuan mediasi, diputuskan bahwa guru tersebut di-non aktifkan dari kegiatan mengajar dan dipindah di unit dinas pendidikan (UDP) di kecamatan.
Berbagai bentuk kekerasan ternyata juga dialami murid oleh guru dengan variasi dan kualitas yang berbeda-beda di berbagai tempat. Ketika dunia medsos dihebohkan dengan informasi tentang bagaimana guru yang menjewer muridnya dilaporkan oleh orangtua, sebenarnya awal-awalnya saya sangat setuju bahwa tindakan orangtua itu sangat “lebay” dan memberikan rasa simpati pada masyarakat dan para guru untuk menolak kriminalisasi guru dalam kasus itu.
Akan tetapi, sayangnya kemudian respons guru-guru tak sedikit yang kebablasan dan secara sudut pandang ada beberapa hal yang menurut saya kurang tepat dan bahkan bisa dibilang cukup “menyesatkan” (maaf!). Saya trenyuh karena sebagian besar akhirnya justru jadi ajang melampiaskan kekesalan dengan cara menyebarkan meme yang isinya menunjukkan kebejadan anak-anak (murid) dan thread-thread sombong seperti “Kalau tak mau anak anda dididik dengan cara kami, didik aja sendiri atau cari aja sekolah lain!” Ada juga pernyataan “Zaman saya sekolah dulu, dipukul guru saya lapor ke orangtua, malah sama orangtua saya malah tambah dipukuli karena saya dianggap tak patuh pada guru”.
Yang saya anggap salah adalah menyatakan kecongkakan menolak murid. Apapun tingkat kenalakan si anak (murid), saya meyakini bahwa mereka adalah anak yang memang perlu diubah karakter, pandangannya, perasaannya, dan perilakunya. Jadi tak boleh guru-guru hanya menunjukkan meme seperti itu, yang bahkan kalau dilihat si anak yang gambarnya dimuat di meme atau foto yang disebarkan, akan menjadi teror psikologis bagi si anak. Si anak malah tak berubah, tapi malah tertekan.
Lantas pernyataan menolak si anak sekolah di sekolah si guru dan menyuruhnya cari sekolah lain, atau tak mau mendidik. Ini juga kesalahan fatal, apalagi jika si guru adalah guru PNS yang merupakan representasi negara. Sebab negara memang berkewajiban memberikan anak-anak pendidikan. Dalam UU Perlindungan Anak, salah satu hak anak adalah hak tumbuh-kembang yang itu didapat salah satunya dari pendidikan di sekolah.
Kemudian tersebarnya cara pandang bahwa kekerasan adalah metode yang dianggap wajar oleh guru. Saya jadi miris karena setahu saya kekerasan adalah jalan bagi mereka yang berjiwa lemah. Artinya, guru yang menggunakan cara-cara hukuman fisik sebagai cara penjinakan terhadap anak, menurut saya adalah guru yang tak punya keahlian membuat anak perhatian padanya, tak bisa mempengaruhi anak dan malah tidak dipatuhi anak. Saya tahu, konsep pendidikan yang menyenangkan (‘joyfull education’) itu tuntutan jaman sekarang.
Saya jadi ingat zaman sekolah dulu. Bahwa di awal tahun 1990-an ketika saya sekolah SMP, memang ada beberapa guru yang sangat gemar melakukan kekerasan baik fisik dan kekerasan emosional (psikologis). Seingat saya anak-anak jadi takut. Sebagian menuruti bukan karena senang melakukan pekerjaannya, tapi karena takut. Sebagian anak males sekolah karena males bertemu guru-guru semacam itu.
Guru yang paling menakutkan waktu SMP adalah Pak M dan Bu M. Sepasang suami istri—yang sama-sama jadi guru di sekolah yang sama. Si suami terkenal dengan hukuman fisik, njewer pakai ‘catem” atau tang. Si istri juga begitu, selain suka “nggepuk” pakai penggaris kayu, mulutnya kadang juga kotor.
Tapi saya sendiri sebenarnya tak pernah jadi korban. Karena lumayan rajin dan sejak awal sekolah hingga lulus selalu rangking di kelas. Lagian, waktu SMP saya introvert, pendiam, “nembak” cewek aja nggak berani.
Saya diajar Pak M hanya satu semester, jadi aman. Tapi terus mendengar hukuman-hukuman ngeri dari Pak Guru yang wajahnya agak bule itu. Sedangkan diajar Bu M, istrinya, seingat saya mengajar dua semester. Dia guru matematika. Sekali-lagi, saya bebas dari kekerasan dari beliau. Ya itu tadi, saya bukan murid bodoh dalam hal pelajaran, dan saya gak neko-neko. Bu M tampaknya juga senang dan sering memuji pada saya.
Tapi korban bu M yang saya ingat paling parah adalah teman saya yang diolok-olok dengan menggunakan sentimen kelas sosial. Gara-gara tak bisa mengerjakan soal, teman saya diolok-olok dengan teriak marah, diejek “entek emek kurang golek” (habis-habisan). Dikatain makanannya talas (“nyatu panganane mbote”), diolok rumahnya “nggunung”, dll. Itu bentuk kekerasan psikologis paling parah yang saya lihat secara langsung. Teman saya itu menangis, sesenggukan, meletakkan mukanya di sela dua tangan hingga tak kelihatan.
Bu M dan Pak M, keduanya tak akan bisa kami lupakan! Mereka adalah legenda. Sering dikenang juga oleh kamu yang sudah dewasa. Sering jadi cerita mantan murid-muridnya. Tentu saja kami mengenang tanpa kebencian.Bahkan kami kadang merasa senang, ada guru yang fenomenal seperti itu sebagai bagian dari sejarah kami mengenyam pendidikan di sekolah! Mereka mendidik kami dengan cara sendiri.
Tentu masih banyak guru guru lain yang menyenangkan. Yang menginspirasi dan memotivasi. Masih satu sekolah dengan Pak M dan Bu M waktu itu, nama Pak Wikanto justru saya sebut guru yang masuk kategori menyenangkan serta ‘motivating’. Termasuk secara khusus memberikan motivasi besar untuk saya yang akan terus saya ingat. Karena beliau guru Bahasa Inggris sejak kelas 2. Karena tiap ulangan nilai saya 9 atau 10 (seringnya sepuluh, benar semua). Suatu saat ia menantangku di depan kelas, kalau saya nilai ujian akhir (NEM) saya 10,00 lagi, dia akan salto di depan kelas. Ternyata nilai UN (NEM)-ku bener-bener 10,00.
Nilai mutlak untuk bahasa Inggris. Meski dia tak mau salto di depan kelas, tapi tantangannya adalah hal yang luar biasa. Guru-guru semacam itulah yang kita butuhkan di era sekarang ini.
Terima kasih guru-guru kami! Jasamu tiada tara. Kan kami kenang sepanjang masa!
Nurani Soyomukti, penulis buku “Pendidikan Berpespektif Globalisasi” (Yogyakarta, Arruzmedia, 2008), ‘Pendidikan Marxis-Sosialis: Teori dan Praktek” (Yogyakarta, Arruzmedia, 2009), dan "Teori-Teori Pendidikan: Tradisional, Liberal, Marxis-Sosialis, dan Posmodernis" (Yogyakarta, Arruzmedia, 2010), dan 20-an judul buku bertema sosial-politik dan budaya, pernah menjadi guru selama satu semester di SMPN 3 Watulimo, Kabupaten Trenggalek, sekitar pertengahan tahun 2009; pernah Mengajar di Jurusan Ilmu Komunikasi FISIP UNISBA Blitar, 2010-2013; Komisioner KPU Kabupaten Trenggalek, 2014-2019 dan 2019-2024.