Opini

Gus Dur Melawan demi Tegaknya Keadilan dan Konstitusi 

Selasa, 16 Desember 2025 | 17:41 WIB

Gus Dur Melawan demi Tegaknya Keadilan dan Konstitusi 

KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) (Foto: NU Online/Aceng Darta)

Desember adalah bulan KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Pada bulan ini, bangsa Indonesia, terutama umat Nahdliyin, di berbagai pelosok akan menyelenggarakan haul Gus Dur. 


Sebagai bahan refleksi, saya akan menceritakan sepenggal kisah saat terjadi ketegangan politik menjelang pemakzulan Gus Dur. Penggalan kisah ini barangkali dapat menjadi bahan renungan pada haul Gus Dur kali ini.   


Pada awal Juli 2001, tidak ingat tanggal persisnya, saya sowan menghadap Gus Dur di Jalan Irian, sekitar jam 21.00. Suasana di rumah itu sudah agak sepi, tamu-tamu yang biasanya antre menghadap sudah tidak ada. Tidak seperti bulan-bulan sebelumnya, saat ketegangan politik belum terjadi, banyak tamu datang hingga larut malam. 


Saat saya menghadap, hanya ada Gus Dur dan para ajudan serta beberapa orang yang biasa mendampingi beliau. 


Saat itu, Gus Dur diancam akan dimakzulkan karena dituduh menggelapkan dana Yayasan Kesejahteraan Karyawan Bulog sebesar 4 juta Dolar AS yang kemudian disebut dengan kasus Buloggate. Selain itu, Gus Dur juga dituduh menyelewengkan dana bantuan dari Sultan Brunei untuk rakyat Aceh sebesar 2 juta Dolar AS karena tidak disalurkan melalui jalur resmi negara. Kasus ini dikenal sebagai Bruneigate.


Atas dua tuduhan tersebut, Gus Dur dianggap telah melanggar Undang-Undang Dasar 1945, pasal 9 tentang sumpah jabatan dan TAP MPR XI/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bebas Korupsi, Kolusi dan Nepotisme. 


Selain tudingan melakukan korupsi, ancaman pemakzulan Gus Dur juga disebabkan kebijakan dan pernyataannya yang dianggap kontroversi dan memancing kegaduhan publik yang mengganggu stabilitas nasional,  seperti usulan penghapusan TAP MPR No 25 tentang pelarangan PKI, membuka hubungan diplomatik dengan Israel yang pernah diucapkan tahun 1994 dan diusulkan kembali saat jadi presiden, pertemuannya dengan Presiden Cuba, Fidel Castro, sampai pemecatan menteri yang dianggap melakukan KKN dan melanggar HAM.


Berbagai kebijakan ini membuat para politisi Senayan merasa gerah sehingga berupaya membangun narasi dan mencari legitimasi hukum dan politis untuk dapat menekan Gus Gur dengan ancaman pemakzulan. Ketegangan antara Gus Dur (istana) dengan politisi (Senayan) ini berlangsung selama berbulan-bulan.


Demi mengendurkan ketegangan antara istana dan Senayan, muncul gagasan kompromi. Untuk mencapai kompromi, dilakukan lobi-lobi politik untuk mencari jalan tengah agar kekuasaan Gus Dur terjaga sampai akhir periode dan kepentingan politisi juga terakomodasi secara aman. 


Beberapa tawaran kompromi yang diajukan kepada Gus Dur adalah pembagian kekuasaan antara presiden dan wakil presiden, pembentukan “Kabinet Kaki” yaitu kabinet yang terdiri dari para politisi dari partai politik. Jika Gus Dur menerima tawaran tersebut maka kedudukan Gus Dur sebagai presiden akan dijaga dan diamankan. Bahkan kasus Bruneigate dan Boluggate akan ditutup jika Gus Dur menerima tawaran kompromi.


Di tengah keheningan suasana malam di rumah Jalan Irian, saya mencoba memberanikan diri bertanya kepada Gus Dur tentang kenapa tidak menerima tawaran kompromi yang diajukan oleh mereka.


Mendengar pertanyaan saya, Gus Dur langsung bicara dengan nada tinggi bahwa dirinya tidak menerima kompromi yang bertentangan dengan konstitusi dan mengkhianati amanat kekuasaan.


Dengan hati-hati, saya menanyakan kompromi yang diminta mereka. 


Gus Dur menjelaskan, kalau dirinya menerima kompromi, sama artinya dengan mengkhianati amanah yang diberikan rakyat dan berjuang untuk mensejahterakan rakyat. Kalau kompromi saya terima, berarti Gus Dur tidak bisa melakukan semua itu lagi karena kekuasaannya dipreteli. Dan itu artinya, Gus Dur hanya jadi presiden boneka. 


“Saya bisa menjabat presiden selama lima tahun, tapi saya tidak bisa memperjuangkan nasib rakyat. Buat apa mempertahankan kekuasaan kalau tidak dapat menjalankan amanat,” kata Gus Dur dengan suara pelan, tapi nadanya tinggi dan tajam.


Saya terpana mendengar jawaban Gus Dur. Para ajudan yang berada tidak jauh dari Gus Dur  menatap kami dengan penuh siaga saat mendengar Gus Dur bicara dengan nada tinggi. Saya sendiri belum pernah melihat Gus Dur bicara seserius ini.


Saya tidak mau melanggar konstitusi. Ini bukan karena saya tamak jabatan atau serakah. Tapi undang-undangnya emang berbunyi seperti itu. Tidak ada pembagian kekuasaan antara Presiden dan Wakil Presiden. Kalau harus dibagi-bagi itu menyalahi undang undang. Tidak boleh kita melanggar dan menabrak aturan demi kepentingan politik” kata Gus Dur masih dengan nada suara tinggi.


Saya mencoba mencairkan ketegangan sambil menyodorkan segelas teh. Gus Dur menerima lalu meminumnya. Ketegangan sedikit reda setelah Gus Dur meminum beberapa teguk teh yang saya tawarkan. Setelah menaruh gelas di meja, saya kembali bertanya tentang kompromi tersebut tetap ditolak?


“Ya harus ditolak! Masak saya menerima tawaran politik dagang sapi dengan menabrak konstitusi dan mengorbankan nilai-nilai keadilan demi mempertahankan kekuasaan. Kalau sampai kompromi seperti itu saya terima, ini akan jadi preseden buruk dalam politik kita,” kata Gus Dur tegas dengan wajah serius. “Saya akan melawan, meskipun harus kalah. Kalah menang dalam politik itu biasa, yang penting saya tidak salah.” 


Jleb… saya termangu dan  kehabisan kata-kata mendengar penjelasan dan penegasan sikap Gus Dur. Kami semua diam. Hening. Suasana makin senyap karena saat itu kami hanya ngobrol berdua. Hanya ada beberapa ajudan dan beberapa orang yang berada beberapa meter dari kami ngobrol. Saya tidak tahu apakah mereka mendengar obrolan kami, tapi suasana saat itu benar-benar hening setelah Gus Dur menyatakan sikapnya yang tegas dan jelas.


Beberapa saat kemudian, Gus Dur kembali bicara. Beliau menceritakan langkah-langkah yang akan diambil untuk melawan manuver politik yang akan memakzulkannya. Termasuk rencana menerbitkan dekrit sebagai upaya terakhir menghadapi manuver politik dan menyelesaikan ketegangan yang terjadi saat itu. 


Tanggal 23 Juli 2001, dekrit itu benar-benar dikeluarkan Gus Dur, dibacakan oleh Juru Bicara Presiden Yahya Cholil Staquf. Dekrit ini menjadi puncak perlawanan terhadap politisi yang ingin memakzulkannya.


Peristiwa itu sangat membekas bagi saya, bahkan hingga saat ini. Peristiwa itu saya ingat bagaimana Gus Dur meneguhkan sikap menjaga nilai-nilai keadilan dan menegakkan konstitusi. Kalau saja saat itu Gus Dur mau kompromi dan menerima syarat-syarat yang diajukan, mungkin tidak terjadi drama pemakzulan sehingga kekuasaan Gus Dur “selamat” sampai akhir periode. 


Namun, Gus Dur melawan demi menjaga agar kekuasaan benar-benar dapat menjadi alat mensejahterakan umat sesuai kaidah tasarruful imam ‘alal ra’iyah manuutun bil maslahah (kebijakan pemimpin harus mengacu pada kemaslahatan umat).


Jelas di sini terlihat, Gus Dur tidak menerima begitu saja ketika ada upaya pemakzulaan dirinya. Gus Dur melawan dengan segenap kekuatan yang dimilikinya. Perlawanan Gus Dur bukan karena ingin mempertahankan kekuasaan dan jabatan yang dimilikinya, tetapi untuk menjaga nilai-nilai keadilan dan penegakan konstitusi. Gus Dur melihat ada indikasi perebutan kekuasaan untuk disalahgunakan sehingga dia berusaha menjaganya dengan segala kemampuan yang dimilikinya.


Perlawanan Gus Dur berhenti ketika risiko terburuk menghadang di depan mata, yaitu adanya potensi pertumpahan darah di antara sesama anak bangsa. Karena bagi Gus Dur yang terpenting dari politik adalah kemanusiaan. Jika politik sudah mengancam kemanusiaan, maka harus dihentikan dan Gus Dur rela melepas semuanya itu, meski dengan perasaan sedih. 


Saya tahu kesedihan Gus Dur saat itu bukan karena kehilangan jabatan sebagai presiden, tapi karena Gus Dur tahu adanya potensi terjadinya distorsi fungsi kekuasaan. Dan saat ini apa yang dikhawatirkan Gus Dur itu terbukti.  


Dua puluh empat tahun lebih peristiwa ini berlalu, tapi bagi saya ini menjadi cermin jernih. Gus Dur tidak membela kekuasaan atau mempertahankan jabatan, tapi membela nilai dan aturan main, agar kekuasaan dapat dipergunakan secara konsisten untuk membangun kemaslahatan umat, bukan sekadar alat memperkaya diri.


Ngatawi Al-Zastrouw, Ketua Lembaga Seni Budaya Muslim Indonesia (Lesbumi) PBNU 2004-2015