Opini

Human Trafficking dan Polisi NU

Rabu, 6 Mei 2015 | 01:01 WIB

Oleh Achmad Faiz MN Abdalla

--Kasus human trafficking di Indonesia menunjukkan kekhawatiran yang serius. Menurut data International Organization for Migration (IOM), jumlah korban perdagangan anak sejak 2007 hingga Juni 2013 tercatat 3.943 orang.<> Adapun penyebarannya, laporan Jakarta-Indonesian US Embassy pada tahun 2013 menyebutkan bahwa masing-masing dari 33 provinsi Indonesia merupakan daerah asal dan tujuan human trafficking, dengan wilayah  yang paling signifikan adalah provinsi Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, dan Banten.

Dalam Hukum Internasional, human trafficking termasuk kejahatan lintas negara terorganisir yang diatur dalam United Nations Convention on Transnational Organized Crime (UNTOC). Kejahatan lintas negara memiliki karakteristik yang sangat kompleks. Beberapa faktor yang menunjang kompleksitas perkembangan kejahatan lintas batas negara antara lain adalah globalisasi, migrasi, serta perkembangan teknologi informasi, komunikasi dan transportasi yang pesat. Faktor-faktor tersebut memerlukan tindakan multilateral antar negara untuk menanggulanginya.

Indonesia telah meratifikasi UNTOC melalui UU No. 5 Tahun 2009 dan Protocol to Prevent, Suppress and Punish Trafficking in Persons, Especially Women and Children melalui UU No. 14 Tahun 2009. Selain memberi dasar mengikat secara multilateral bagi peserta, ratifikasi law making treaty tersebut juga memberi rumusan delik yang lebih lengkap ke dalam undang-undang nasional sehingga memberi kepastian hukum bagi para penegak hukum dalam rechvinding dan rechvorming terhadap peristiwa konkret trafficking yang berkembang secara meluas dan kompleks melalui mekanisme pengadilan. Instrumen hukum internasional tersebut melengkapi Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (PTPPO).

Namun secara empiris, banyak kendala yang menghalangi upaya penanggulangan tindak pidana human trafficking, baik dalam tahapan pencegahan (preventif) maupun dalam tahapan penindakan hokum (represif). Secara umum, faktor-faktor penyebab human trafficking adalah kemiskinan, pendidikan rendah, budaya, lemahnya pencatatan kelahiran, dan kebijakan hukum yang bias gender. Menurut Anis Hidayah, Pegiat Migrant Care, kasus human trafficking masih akan marak terjadi selama akar persoalannya tidak berhasil dibereskan oleh pemerintah. Kemiskinan dan keterbatasan lapangan pekerjaan di Indonesia menjadi faktor penting bagaimana trafficking itu bisa terus terjadi di Indonesia.

Urgensi Peran NU sebagai Polisi (Penegak Hukum)

Dewasa ini, sektor pedesaan semakin termarjinalkan seiring arus globalisasi dan kapitalisasi yang makin kencang sejak era reformasi. Kemajuan teknologi dan komunikasi berkonsekuensi pada perkembangan sektor industri dan jasa yang lebih signifikan daripada sektor tradisional seperti pertanian. Peran pemerintah mempertahankan dan mengembangkan keunggulan agraris Indonesia pun sejauh ini dianggap kurang maksimal. Semakin lama, sektor pertanian pun semakin terpinggirkan, tercermin dari kontribusinya yang terus menyusut terhadap produk domestik bruto (PDB).

Menurut Fajar Marta (2015), NU kemungkinan besar menjadi pihak yang terdampak signifikan sebagai akibat kondisi tersebut. Sebab, di wilayah-wilayah yang termarjinalisasi itulah basis pendukung NU berada. Berdasarkan survei nasional LSI 2013, jumlah warga nahdliyin mencapai 36,5 persen dari jumlah penduduk Indonesia. Mayoritas nahdliyin tinggal di pedesaan, terutama di Jawa Timur dan Jawa Tengah. Berdasarkan data BPS per September 2014, Jatim dan Jateng merupakan provinsi dengan jumlah penduduk miskin terbanyak, masing-masing 4,74 juta orang dan 4,56 juta orang. Dari 4,74 juta orang miskin di Jatim, yang merupakan basis utama anggota NU, sebanyak 3,21 juta orang atau 68 persen tinggal di pedesaan.

Data dan analisa yang dipaparkan oleh Fajar Marta tersebut memiliki korelasi dengan data penyebaran kasus human trafficking yang menempatkan Jawa Tengah dan Jawa Timur sebagai provinsi dengan kasus human trafficking terbesar. Hal tersebut tentu beralasan mengingat kemiskinan merupakan faktor atau keadaan yang rentan menyuburkan praktik human trafficking di berbagai daerah di Indonesia.

NU yang sebagian besar anggotanya berada pada mata rantai kemiskinan dan kasus human trafficking sudah seharusnya memberikan perhatian serius terhadap upaya pencegahan (preventif) human trafficking di Indonesia. Sebagai organisasi yang mengakar kuat dalam struktur sosial bangsa Indonesia, NU merupakan unsur penting dalam upaya penegakan hukum secara preventif terhadap kejahatan human trafficking di Indonesia. Inilah yang dimaksud penulis sebagai peran polisi NU: bahwa NU harus menjadi penegak hukum secara preventif terhadap kejahatan human trafficking di Indonesia. Terkait pemilihan kata polisi sendiri, di banding penegak hukum lain, kata polisi dianggap lebih representatif sebagai petugas penegakan hukum.

Ada beberapa teori hukum yang dapat dijadikan dasar peran penegak hukum NU tersebut. Pertama, dalam sosiologi hukum dikatakan bahwa hukum positif banyak dikalahkan oleh struktur sosial dimana hukum positif tersebut dijalankan. Penelitian tentang budaya hukum di Indonesia oleh Daniel S. Lev menunjukkan bagaimana prosedur hukum di Jawa dikalahkan oleh pola harmoni, menjaga perasaan dan sebagainya. Hal tersebut menunjukkan bahwa struktur sosial menjadi faktor penentu dalam hukum. Teori ini merupakan dasar urgensi NU bagi penegakan hukum secara sosiologis.

Teori kedua, bahwa penegakan hukum bukanlah semata menjadi tugas para penegak hukum konvensional. Penegakan hukum selain dimaknai dalam arti yang sempit-konvensional, juga dapat dimaknai dalam arti yang luas-sosiologis. Penegakan hukum dalam arti sempit-konvensional adalah penegakan hukum oleh kepolisian, kejaksaan, kehakiman dan lembaga-lembaga lain yang secara yuridis-formal memang diberi wewenang untuk menegakan hukum. Sedangkan penegakan hukum dalam arti luas-sosiologis adalah penegakan hukum oleh semua unsur dalam bernegara dalam rangka tercapainya keselarasan unsur hukum normatif dan hukum empiris dalam negara tersebut. NU sebagai pendiri bangsa dengan sejarah panjang dan kontribusi besar dalam perjalanan bangsa ini sudah seharusnya menyadari peran pentingnya sebagai penegak hukum dalam arti luas.

Melalui dua teori yang menjadi dasar peran penegak hukum NU tersebut, dan dalam rangka pengabdian NU terhadap bangsa dan negara, maka sudah seharusnya NU berkontribusi secara sadar dan maksimal terhadap penegakan hukum di negara ini. Dalam kejahatan Human trafficking di Indonesia, upaya preventif oleh NU sangatlah ditunggu mengingat upaya represif oleh administrasi negara dan penegak hukum tidak kunjung menunjukkan progres berarti dalam menanggulangi kejahatan tersebut. Masih suburnya budaya koruptif para penegak hukum serta kurangnya koordinasi antarpemerintah daerah maupun antara pemerintah nasional dengan instansi vertikal (penegak hukum, ketenagakerjaan, maupun imigrasi) sebagai akibat dari euforia otonomi daerah menjadi masalah dalam penindakan hukum.

Upaya penegakan hukum preventif oleh NU tersebut dapat dilakukan baik melalui pendekatan kultural maupun pendekatan struktural. Pengaruh NU dalam struktur sosial yang mengakar kuat dan bagaimana pengaruh struktur social sebagai penentu dalam hukum, merupakan premis bagaimana peran kultural NU akan lebih efektif mempengaruhi kepatuhan masyarakat terhadap hukum di banding pemerintah sendiri dengan alat kekuasaanya sekalipun. Mempengaruhi masyarakat merupakan unsur terpenting dalam penegakan hukum, khususnya dalam kepatuhan hukum.

Salah satu upaya awal dan penting dalam rangka mencegah kejahatan human trafficking adalah sosialisasi perihal bahaya dan modus operandi dalam kejahatan tersebut. Sosialisasi tersebut merupakan upaya pendekatan KOL (knowledge and opinion about law) terhadap masyarakat dalam rangka pencegahan human trafficking. Pengetahuan masyarakat akan pengertian human trafficking merupakan satu upaya penting pencegahan human trafficking. Menurut Padgorecki, pengetahuan tentang peraturan hukum merupakan salah satu indikator dalam mengidentifikasi kesadaran dan kepatuhan hukum dalam masyarakat. Berbekal peran kultural NU, sosialisasi tersebut akan lebih efektif dilakukan melalui pengajian-pengajian NU dan kegiatan kultural NU lain di banding sosialisasi formal pemerintah.

Bila dirasa perlu, NU juga dapat melakukan pendekatan structural mengingat sangat urgennya peran NU untuk menanggulangi kejahatan ini. Melalui lembaga bantuan hukum yang dimiliki oleh Anshor dan perangkat NU lain, NU dapat lebih nyata mengaktualisasikan peran preventif NU sebagai penegak hukum. Tentunya, peran cultural dan struktural NU lainnya juga sangat ditunggu oleh masyarakat.

 

Achmad Faiz MN Abdalla, Pelajar NU Gresik, aktif di sekolah kepenulisan beberapa kampus di Yogyakarta


Terkait