Opini

Ikhtiar Menyusun Pelajaran Sejarah untuk Santri Dasar

Sabtu, 15 April 2023 | 20:30 WIB

Ikhtiar Menyusun Pelajaran Sejarah untuk Santri Dasar

Pelajaran sejarah yang dikemas menarik dapat menarik minat para santri mendalaminya. (Foto ilustrasi: Kemenag/Elik Ragil)

Dalam artikel sebelumnya saya sudah sedikit menguraikan bahwa secara umum para santri tidak memiliki pengetahuan yang cukup mengenai sejarah. Saya mengajukan hipotesis bahwa hal itu terjadi karena porsi pelajaran sejarah di pondok pesantren sangat minim. Selain tentunya juga belum ada materi pelajaran sejarah yang mudah dipahami sekaligus menyenangkan untuk dipelajari.


Buku-buku sejarah yang digunakan kurikulum pada pondok pesantren rata-rata berkutat pada sejarah Islam klasik, alih-alih sejarah Islam di Indonesia yang justru tidak kalah penting untuk diajarkan kepada para santri.


Membuat terobosan dalam menyusun materi pelajaran sejarah bagi para santri merupakan sebuah keniscayaan. Proses pembuatan materi sejarah harus benar-benar bisa terukur dari mulai perencanaan kurikulum, pengembangan bahan ajar, metode pembelajaran, hingga output yang ingin dihasilkan dalam pembelajaran tersebut. Hal ini dimaksudkan agar dapat menarik minat para santri dalam mempelajari sejarah.


Secara umum terdapat tiga metode yang biasa digunakan dalam pembelajaran sejarah kepada peserta didik. Pertama partisipatif, yaitu metode pembelajaran yang melibatkan secara langsung peserta didik dalam proses pembelajaran. Kedua, metode uji appraisal yang bertumpu pada kemampuan daya jelajah peserta didik serta menggali informasi dari pengalaman mereka. Ketiga, tutorial yaitu metode yang berpusat pada ceramah pengajar kepada peserta didik. Dari ketiga ini, mungkin hanya metode yang terakhir yang hingga kini masih dilakukan dalam pembelajaran sejarah di pondok pesantren.


Menyusun Ulang Materi Sejarah yang Menarik

Model pembelajaran yang dilakukan di pondok pesantren memang berbeda dengan pendidikan di institusi lain termasuk di sekolah madrasah. Pengajaran di pondok pesantren berbasis kitab kuning, sementara di sekolah madrasah menggunakan buku ajar. Perbedaan ini memiliki implikasi pada bagaimana perbedaan metode pembelajarannya kepada peserta didik.


Meski berbasis kitab kuning yang menggunakan buku-buku berbahasa Arab sebagai bahan ajarnya, tidak menutup kemungkinan pembelajaran sejarah di pondok pesantren bisa dibuat semenarik mungkin.


Salah satu hal yang bisa dilakukan adalah bagaimana membuat materi khusus pelajaran sejarah yang dapat diajarkan di pondok pesantren. Sebagaimana mata pelajaran yang lain seperti Jurumiyyah, Imrithi, hingga Alfiyyah ibnu Malik yang di beberapa pondok pesantren menggunakan muqarrar alias taqrirat hasil “perasan” dari sejumlah kitab-kitab utama, hemat saya taqrirat pelajaran sejarah juga bisa disusun sendiri.


Kita bisa memulainya dengan menghimpun sumber-sumber otoritatif kitab sejarah dari masa ke masa.  Kita peras inti-inti dari fakta sejarah yang ada dalam kitab-kitab tersebut dan merumuskan ulang bagaimana materi yang ada tersebut bisa dituangkan dalam materi baru.

 

Jika biasanya kitab yang digunakan untuk mengajarkan materi sejarah berbasis pada sejarah masa Nabi hingga Khulafaurrasyidin, maka perlu diperluas skala dan masanya hingga masa-masa sejarah Islam di Indonesia.


Hal penting lainnya yang perlu juga dimasukkan dalam kurikulum sejarah di pondok pesantren adalah mengenai sejarah Islam pra kemerdekaan, sejarah pondok pesantren, dan sejarah perjuangan para ulama dalam memerdekakan bangsa Indonesia.

 

Untuk itu, kita perlu duduk bersama. Para pemangku pondok pesantren harus dilibatkan untuk membicarakan penyusunan materi sejarah ini dengan melibatkan para ahli cum sejarawan dari berbagai institusi, termasuk kalangan akademisi kampus.


Selain itu kita juga perlu menghadirkan para ahli di bidang pendidikan untuk kita ajak berkontribusi merumuskan bersama bagaimana metode pembelajaran sejarah yang menarik bagi para santri.


Singkat kata, dalam menyusun materi sejarah bagi para santri sesuai dengan tingkatnya masing-masing, dari mulai santri pemula (mubtadiin) hingga santri senior (ulya), perlu melibatkan seluruh stakeholder yang memiliki kapasitas di bidangnya masing-masing.

 

Waryono Abdul Ghofur, Direktur Pendidikan Diniyah dan Pondok Pesantren Kemenag RI