Salah satu aktivitas belajar-mengajar di Pondok Pesantren Babakan Ciwaringin Cirebon. (Foto ilustrasi: Kemenag/Elik Ragil)
Dalam Islam, ilmu dan amal bagai dua sisi mata uang, berbeda namun tidak dapat dipisahkan. Dalam kitab Nadham Zubad dinyatakan:
وكل من بغير علم يعمل # أعماله مردودة لاتقبل
“Setiap orang yang berbuat-beramal tanpa ilmu maka amalnya tertolak.”
Baca Juga
Dua Kiai "Gila" Beda Zaman
Sementara itu, pepatah Arab menyatakan, ilmu yang tidak diamalkan bagai pohon yang tak berbuah. Tanpa ilmu amal ditolak, tidak diamalkan ilmu tidak berguna. Buah ilmu adalah akhlak. Perpaduan ilmu dan akhlak ini terlihat dan dicontohkan oleh kiai. Ilmu itu wasilah. Sedangkan ghayah-nya adalah amal atas ilmu tersebut. Imam al-Syathibi dalam al-Muwafaqat menyebutkan bahwa ilmu adalah salah satu wasilah/media. Bukan sebagai tujuan akhir. Ia adalah wasilah bagi amal perbuatan. Dalam redaksi lain, para bijak bestari mengungkapkan bahwa ilmu itu ibarat orang tua dan amal adalah putranya.
Sepanjang belajar di pesantren, saya memiliki kesan yang sangat kuat pada beberapa kiai yang mencerminkan ilmu dan kitab yang dibacanya. Saya mengaji kitab fiqih-tasawuf dasar Sullamut Taufiq kepada Kiai Mukhlas, sampai kemudian berkesempatan mengaji Syarah Hikam kepada beliau juga. Sejak itu, saya—yang kala itu masih tsanawiyah—memiliki kesan mendalam dengan kata-katanya yang lembut, penuh kerendahan hati (tawaduk), dan zuhud serta sederhana. Doa yang selalu dibacakan ketika memulai ngaji adalah Allahummarham ummata Muhammad (Ya Allah, rahmatilah umat Nabi Muhammad saw). Ketika berjalan, beliau selalu menundukkan pandangannya.
Pada titik ini, kiai bagi saya bukan sekadar membagikan ilmu melalui pengajian, melainkan juga menjadi cermin dan teladan bagi para santri dan masyarakat. Hal ini sesuai dengan hadits Nabi Muhammad saw: al-Ulama’ waratsatul anbiya’. Mereka adalah penerus para nabi. Kenangan ini mempertegas tesis tentang ilmu dan akhlak harus berjalan seirama.
Apa itu Akhlak?
Akhlak secara bahasa dalam bahasa Arab merupakan bentuk jamak dari kata "khuluq" yang berarti tabiat atau karakter. Secara istilah, al-Jurjani mendefinisikan khuluq sebagai sebuah kondisi jiwa yang mapan dimana sebuah perbuatan dilakukan dengan mudah tanpa membutuhkan pemikiran dan pertimbangan. Definisi ini hampir mirip dengan yang ditawarkan oleh Ibn Miskawayh. Hanya saja, Ibn Miskawayh dalam Tahdzib al-Akhlaq membaginya menjadi dua kategori. Yaitu tabiat atau karakter yang memang terbentuk secara alamiah dan ada pula yang bermula dari sebuah sikap yang terus berulang-ulang sehingga menjadi karakter.
Rumusan tentang akhlak sebagaimana definisi di atas menjadi diskursus akademik yang cukup menarik. Sejumlah kajian tentang apa dan bagaimana akhlak telah menarik minat para sarjana untuk ikut mendiskusikannya. Terlebih dalam sudut pandang filosofis dan teologis yang sejak dulu menjadi perbincangan hangat. Dan tentu saja, hal tersebut tidak akan saya ulas secara rinci di sini.
Dalam konteks akhlak sebagai sebuah laku sebagian para pengkaji mendefinisikan akhlak sebagai seperangkat prinsip dan kaidah-kaidah yang mengatur perilaku manusia yang ditentukan oleh wahyu untuk mengatur kehidupan umat manusia, mengatur dan menentukan hubungan antarsesama manusia agar tercapai tujuan hidup manusia yang sempurna.
Teladan Kiai
Kiai bukan hanya sekadar sosok pengajar atau pendidik. Kiai adalah teladan umat sekaligus penerus perjuangan para nabi. Oleh karena itu, dalam diri kiai tercermin akhlak-akhlak mulia yang bisa menjadi teladan bagi santri dan masyarakat. Sikap-sikap seperti khasyatillah alias takut kepada Allah, rendah hati atau tawaduk, dan terus mendidik para santri adalah sejumlah akhlak yang ada dalam diri para kiai.
Saya masih begitu terkesan dengan guru-guru saya, kiai-kiai saya di pesantren. Beliau merupakan teladan bagi kami para santri. Betapa keikhlasan para kiai dalam mengajar para santri begitu membekas kepada saya. Sebagaimana dikisahkan oleh para ustadz senior di pondok dulu bahwa beliau-beliau para kiai setiap malam mendoakan secara khusus para santrinya. Bukan hanya mendoakan diri dan keluarganya, melainkan juga para santri yang dididiknya agar mendapatkan ilmu yang berkah dan bermanfaat.
Sebagai buah ilmu dan amal, akhlak merupakan cermin kematangan seseorang, sehingga ia tidak terlalu formalistik dan cenderung lebih mengutamakan titik-temu dan persamaan. Hal ini karena akhlak itu di atas dan melampaui fiqih. Seorang yang berakhlak disebut dalam Al-Quran antara lain dengan panggilan ibadurrahman, sehingga gerak-gerik lakunya sopan, ucapannya pun penuh kedamaian.
Waryono Abdul Ghofur, Direktur Pendidikan Diniyah dan Pondok Pesantren Kemenag RI