Ratu Elizabeth II telah meninggal dunia. Banyak hal terkait tatanan global yang tidak lepas dari pengaruhnya. Dan sebaliknya pula, banyak hal berubah dalam monarki Inggris karena perubahan dunia. Dalam kedua hal itu, mempengaruhi dan dipengaruhi, mendiang Ratu Elizabeth II telah menunjukkan kemampuan adaptasi yang luar biasa. Lahir pada 1926, Elizabeth dinobatkan menjadi ratu pada 1952 ketika usia 25 tahun. Pada 1947, sebelum dinobatkan, dia menyatakan bahwa segenap hidupnya akan dipersembahkan untuk pelayanan manusia. “My whole life, whether it be long or short, will be devoted in service.”
Setelah penobatan, dia mengatakan di hadapan semua negara anggota Persemakmuran (Family of Nations) bahwa ke depan, imperium akan jauh berbeda dibandingkan masa lalu. Ini benar-benar konsep baru yang berdasarkan semangat kemanusiaan: persahabatan, kesetiaan, dan kemauan keras untuk merdeka dan damai. Demi konsep baru ini: kemitraan sejajar antarbangsa dan ras, saya akan curahkan hati dan jiwa setiap hari sepanjang hidup”.
Di pesan terakhir Hari Persemakmuran, sang ratu menyifati keluarga persemakmuran dengan modern, bergairah, dan terkoneksi. Terhimpun di dalamnya kekayaan sejarah, tradisi, budaya dan teknologi masa kini. Jika persemakmuran semakin tinggi itu adalah karena andil semua, kata sang ratu (Thecommonwealth.org).
Sekjen Persemakmuran Inggris, Rt Hon Patricia Scotland KC asal Dominika, mengatakan bahwa pertumbuhan dan semangat persemakmuran yang modern adalah hasil nyata kerja, dedikasi, kebijaksaan, dan kepemimpinan sang ratu.
Sang Ratu benar-benar menunjukkan kepemimpinan modern yang mengedepankan kemaslahatan daripada semata kekuasaan. Dia membiarkan kemerdekaan banyak negara yang semula adalah koloni Inggris dan tidak memaksa mereka berada di bawah Inggris dengan kekuatan militer. Dia memberikan pilihan kepada mereka untuk bertahan di bawah kerajaan Inggris atau lepas dan berubah menjadi republik melalui mekanisme demokrasi dan konstitusi. Seperti referendum di Australia pada 1999 yang ternyata pilihan bertahan di bawah kerajaan Inggris di mana Ratu Elizabeth II sebagai kepala negara. Dalam hal ini sang ratu memasrahkan kepada rakyat Australia perihal keberlangsungan monarki Inggris di sana.
Seiring dengan berpulangnya sang ratu dan naiknya Raja Charles III sebagai pengganti, muncul kasak-kusuk di kalangan 15 negara Alam Persemakmuran (Commonwealt Realm) untuk meninjau ulang posisi Raja Charles III sebagai kepala negara. Isu ini segera ditanggapi oleh Perdana Menteri Australia Anthony Albanese dengan mengatakan bahwa sekarang bukan saatnya membahas posisi raja. Sekarang saatnya belasungkawa atas berpulangnya sang ratu.
Perdana Menteri Papua Nugini, James Marape menyatakan pengakuan kepada Raja Charles III sebagai kepala negara. Sementara Antigua dan Barbuda mempertimbangkan untuk memperpanjang kekuasaan raja Inggris atas mereka atau tidak.
Dari sini jelas keunggulan Ratu Elizabeth II dalam mempertahankan 56 negara Commonwealth di bawah naungannya. Kemampuan menarik hati warga persemakmuran (56 negara total 2,4 miliar penduduk) dan kehangatannya mampu mempersatukan semua dan mempertahan kedudukannya. Bahkan di saat euforia kebebasan melanda seluruh penjuru dunia dan pandangan anti-feodalisme merebak di mana-mana.
Adalah prestasi politik tertinggi saat ini, tatkala 55 negara bekas koloni Inggris masih mau berada di bawah naungan Inggris. Dalam perspektif perlawanan terhadap imperialisme, mereka kelima puluh lima negara itu adalah kaum terjajah yang kekayaannya dihisap oleh penjajah, Inggris. Bagaimana mungkin mereka yang terjajah itu kemudian menerima Inggris sang penjajah sebagai penaungnya? Sungguh berlawanan dengan logika antipenjajahan, namun itu terjadi. Dengan demikian terma “penjajahan” tidak berlaku bagi koloni Inggris. Sebab kalau demikian halnya, tentu mereka menolak tetap berada di bawah naungannya.
Ratu mampu mewadahi negara maju dan kaya seperti Singapura (hasil per kapita 101.936USD), Canada dan Australia dan negara miskin di Afrika tenggara seperti Malawi (per kapita 893USD) dalam wadah Persemakmuran yang rerata hasil per kapita (per warga per tahun) 4.035USD. (Indonesia: 4.349USD). Anggota persemakmuran bertebaran di seluruh penjuru dunia sehingga Inggris bersemboyan: “the sun never sets in the British Empire”.
Yang menarik dari Commonwealth adalah anggota dari benua Eropa hanya Inggris sendiri, Malta, dan Cyprus. Artinya bahwa Inggris dalam ekspansi wilayah menghindari risiko berperang melawan negara terdekatnya yang gajah-gajah, seperti Perancis dan Irlandia. Yang dilakukan adalah membuka lahan baru di kawasan perawan (virgin land) yang jauh yang belum terjamah. Tujuan penguasaan kekayaan alam adalah yang utama. Tidak seperti Spanyol atau Portugal yang menyimpan misi penyebaran agama selain tujuan memburu emas dan perluasan wilayah (gold, glory, gospel) sebagai tujuan umum imperialisme Barat.
Di antara negara muslim yang pernah dikuasai Inggris adalah Mesir, Malaysia, Brunei, Pakistan, Bangladesh, Maladewa, Nigeria, dan Gambia. Berbeda dari Spanyol yang telah mengatolikkan Filipina dan Portugis atas Timor Leste secara mayoritas, imperialisme Inggris tidak demikian atau sedikit bermuatan itu.
Dari sini, imperium Inggris bisa bertahan lama. Dia tidak mengubah keyakinan dan sistem budaya setempat yang bisa menimbulkan perlawanan. Tingkat penguasaan atas koloni juga berkembang. Dari kolonialisme yang berkuasa penuh atas negara pendudukan ke dekolonialisasi yang mendukung kemerdekaan koloni dan berlanjut ke pendirian persemakmuran yang keanggotaannya bersifat sukarela. Dan ternyata, hampir semua bergabung kecuali Mesir, Myanmar, dan Yaman.
Ratu Elizabeth II mewujudkan nilai ideal kebebasan dan kesetaraan yang didambakan manusia. Hal ini membuat Inggris rela melepas koloninya dan menjadi negara merdeka. Yang kemudian dibalas balik dengan kesediaan bekas koloninya untuk tetap di bawah naungannya dalam persemakmuran.
Ibn Taymiyyah mengutip sebuah riwayat dalam Risalah Hisbah: “Sesungguhnya Allah menolong negara yang adil biarpun non-muslim. Dan tidak menolong negara zalim biarpun muslim (Inn Allah yanshur al-daulah al-‘adilah wa in kanat kafiratan wa la yanshur al-daulah al-dhalimah wa in kanat mu’minatan)”.
Achmad Murtafi Haris, dosen UIN Sunan Ampel Surabaya