Opini

Indonesia: Negara yang Mungkin Menuju Gagal atau Emas

Jumat, 26 September 2025 | 19:37 WIB

Indonesia: Negara yang Mungkin Menuju Gagal atau Emas

Ilustrasi Indonesia di antara menuju negara gagal atau sukses (emas) (Foto: AI)

Indonesia selalu berada di persimpangan sejarah. Di satu sisi, kita memiliki potensi luar biasa: sumber daya alam berlimpah, bonus demografi dengan mayoritas penduduk usia produktif, serta posisi geopolitik yang strategis. Namun di sisi lain, ancaman besar mengintai: korupsi sistemik, polarisasi politik, dan jurang kesenjangan sosial yang kian menganga. 


Pertanyaannya: apakah Indonesia sedang menuju negara emas atau justru tergelincir menjadi negara gagal?


Cermin dari Sejarah dan Indikator Negara Gagal
Menurut Robert I. Rotberg dalam States in Crisis (2003), negara gagal ditandai oleh lemahnya institusi, ketidakmampuan pemerintah memenuhi hak dasar warga, dan konflik horizontal yang berkepanjangan. 


Data Fragile States Index 2024 juga menempatkan Indonesia dalam kategori “warning” karena rapuhnya kapasitas institusi, lemahnya rule of law, dan ancaman polarisasi sosial. Fenomena demo 25 Agustus menjadi cermin nyata: masyarakat menuntut aspirasi yang tidak selalu tersalurkan melalui jalur formal.


Namun, pemerintah menegaskan bahwa aspirasi damai akan dihormati. Presiden Prabowo Subianto menyatakan kebebasan berpendapat dilindungi, sementara aparat diarahkan untuk menjaga masyarakat dan fasilitas publik dari tindakan anarkis. 


Langkah ini menunjukkan keseimbangan antara demokrasi dan ketertiban, dua pilar yang menurut Fukuyama (Political Order and Political Decay, 2014) sangat penting bagi stabilitas negara.


Menuju Negara Emas
Narasi Indonesia Emas 2045 bukan utopia. Bonus demografi bisa menjadi mesin pertumbuhan jika didukung pendidikan berkualitas dan kesempatan kerja luas. Pertumbuhan ekonomi digital, energi terbarukan, dan inovasi kreatif anak muda memberi secercah harapan. 


Namun tanpa kepemimpinan visioner dan institusi yang bersih, bonus demografi bisa berubah menjadi “bencana demografi”, sebagaimana diperingatkan Collier (Wars, Guns, and Votes, 2009).


Pidato Presiden (31 Agustus 2025) menekankan dialog dengan tokoh masyarakat dan mahasiswa, keterbukaan pemerintah terhadap masukan publik, serta menjaga persatuan nasional. Langkah ini selaras dengan konsep pembangunan negara yang sehat menurut Rotberg: institusi terbuka, responsif, dan mampu menyalurkan aspirasi rakyat secara konstruktif.


Politik, Keadilan Sosial, dan Polarisasi
Polarisasi politik saat ini menjadi indikator rapuhnya kohesi sosial. Pilpres dan berbagai peristiwa sosial kerap membelah masyarakat. Pesan presiden untuk menjaga persatuan nasional menggarisbawahi bahwa energi rakyat harus diarahkan untuk membangun, bukan saling menghancurkan. 


Kesenjangan ekonomi juga menjadi faktor risiko negara gagal; satu persen orang terkaya menguasai separuh kekayaan nasional, sementara jutaan rakyat hidup pas-pasan. Tanpa keadilan sosial, pembangunan hanya menjadi etalase kosong.


Peran Ulama dan Intelektual
Peran ulama dan intelektual menjadi jembatan moral antara rakyat dan penguasa. Mereka membantu menyalurkan aspirasi publik agar tetap damai dan konstruktif, memperkuat legitimasi institusi, dan mencegah kerentanan negara terhadap konflik internal—sesuai prinsip Rotberg bahwa kekuatan moral dan sosial masyarakat sipil penting untuk stabilitas negara. Kritik ini bukan hal baru. 


Imam al-Ghazali, berabad-abad lalu, sudah menulis: “Secara umum, kerusakan rakyat disebabkan oleh kerusakan penguasa, dan kerusakan penguasa disebabkan oleh kerusakan ulama. Seandainya tidak ada hakim dan ulama yang buruk, niscaya kerusakan para penguasa akan berkurang karena takut pada kritik ulama.”


Tentang relasi agama dan negara, Imam Abu Hamid al-Ghazali dalam al-Tibr al-Masbūk fī Naṣīḥah al-Mulūk mengatakan: ad-dīnu wa al-mulku taw’āmāni. mithlu akhawayni. wulidā min baṭnin wāḥid — “Agama dan negara bagaikan saudara kembar. Keduanya lahir dari satu sumber.”


Dan dalam  Iḥyā’ ‘Ulūm al-Dīn (juz 1, hlm. 17) beliau menegaskan: ad-dīnu ussun was-sulṭānu ḥārisun, wa mā lā ussa lahu fahadmun, wa mā lā ḥārisa lahu faḍāi’ — “Agama adalah fondasi, dan kekuasaan adalah penjaganya. Sesuatu yang tidak punya fondasi pasti runtuh, dan sesuatu yang tidak punya penjaga pasti hilang binasa.”


Kutipan klasik ini menegaskan bahwa ulama punya peran sentral dalam menjaga keseimbangan negara. Ketika ulama memilih diam, kerusakan justru beranak-pinak. Bukan hanya rakyat yang menjadi korban, tetapi juga legitimasi agama ikut runtuh di mata publik.


Reformasi Kedua dan Pembangunan Berkelanjutan
Indonesia membutuhkan “reformasi kedua”: memperkuat demokrasi substantif, dari politik uang ke politik gagasan, dari pembangunan fisik ke pembangunan manusia. Langkah ini juga menekankan prinsip keberlanjutan yang Fukuyama sebut sebagai syarat negara tidak hanya bertahan, tetapi juga berkembang.


Sementara harapan masa depan Indonesia sangat tergantung pada generasi muda. Mereka yang kini mengisi kampus, pesantren, ruang digital, dan dunia kreatif menentukan apakah negeri ini gagal atau berjaya. Pemerintah menekankan partisipasi generasi muda secara damai dan produktif, sebagai ujian nyata kapasitas mereka mengawal Indonesia Emas 2045.


Menentukan Arah
Indonesia sedang berada di persimpangan sejarah. Jalan menuju negara emas menuntut kerja keras, konsistensi, keberanian moral, dan dialog konstruktif; sementara negara gagal muncul dari kelalaian, keserakahan, dan pengkhianatan terhadap amanah rakyat. Pilihan itu ada di tangan kita semua—pemimpin, ulama, intelektual, dan rakyat jelata.


Bangsa ini lahir dari idealisme besar: kemerdekaan diperjuangkan dengan darah dan air mata. Jangan sampai cita-cita itu hancur karena elit politik lebih sibuk memperkaya diri daripada membangun negeri. Protes masyarakat menjadi pengingat bahwa mereka tidak diam, aspirasi mereka harus didengar, dan pemerintah berkomitmen menegakkan hukum serta dialog terbuka. 


Indonesia bisa menjadi negara emas, tetapi juga bisa jatuh menjadi negara gagal. Pertanyaannya: di manakah posisi kita sekarang, dan ke arah mana kita mau melangkah?


Dengan segala tantangan yang ada, kita tetap memiliki modal besar: energi muda, kekayaan alam, serta tradisi gotong royong yang melekat. Indonesia tidak ditakdirkan menjadi negara gagal, melainkan bangsa besar yang sedang ditempa menuju kematangan. 


Karena itu, mari kita songsong dengan optimisme: Indonesia Emas 2045 hanya akan terwujud bila sejak 2025 kita berani melangkah bersama, menjaga persatuan, dan menyalakan obor harapan.


Ahmad Chuvav Ibriy, Pengasuh Ponpes Al-Amin Mojowuku Kedamean Gresik, Anggota Komisi Fatwa, Hukum dan Pengkajian MUI Kabupaten Gresik JATIM, Penasehat LBM PCNU Kab. Gresik