Keberagaman sudah menjadi keniscayaan yang tak terbantahkan di Indonesia. Ratusan suku dan bahasa, sejumlah agama, hingga bermacam etnis bersatu dalam naungan Indonesia. Persatuan ini dilatari oleh adanya kesepakatan menjadi satu bangsa tunggal, Indonesia.
Kebersatuan ini, disebut Franz Magnis Suseno dalam prolog buku Negara Paripurna: Historisitas, Rasionalitas, dan Aktualitas Pancasila (2011), bukan sekadar sebagai pelanjut dari kesatuan administratif bekas Belanda. Bagi Magnis, pemikiran demikian ini terlalu dangkal. Sebab, bangsa Indonesia sejak jauh sebelum kemerdekaan sudah menyatakan diri sebagai satu bangsa. Hal ini dideklarasikan dalam Sumpah Pemuda pada 28 Oktober 1928.
Heterogenitas tidak menjadi penghalang dalam mengusung persatuan bangsa Indonesia. Bahkan, bukan saja menyatakan diri sebagai bangsa yang satu dan tanah air satu, tetapi mereka juga menciptakan bahasa yang digunakan bersama dalam satu kawasan, yakni bahasa Indonesia. Hal tersebut tidak lain karena adanya kesepakatan di antara manusia yang berbeda-beda. Kesepakatan ini tentu saja ditempuh dengan musyawarah untuk mencari titik temu di antara segala perbedaan yang ada tersebut.
Sebagaimana diketahui, di era itu, terdapat kelompok pemuda dari sejumlah daerah, seperti Jong Sumatranen Bond, Jong Ambon, Jong Java. Mereka merupakan aktivis terpelajar berjuang untuk kemerdekaan bangsa dari penjajahan Belanda, tetapi masih berbasis primordial. Kemudian, mereka menyampingkan unsur kedaerahannya demi mewujudkan persatuan keseluruhan daerah kepulauan Nusantara dalam sebuah negara yang dicita-citakan bernama Indonesia.
Lalu, mereka pun bermusyawarah dalam sebuah forum yang bernama Kongres Pemuda Kedua yang digelar oleh Perhimpunan Pelajar Pelajar Indonesia (PPPI). Dilansir dari situs resmi Museum Sumpah Pemuda, kongres ini digelar selama dua hari, 27-28 Oktober 1928 di tiga tempat berbeda, yakni (1) Gedung Katholieke Jongenliengen Bond, (2) Oost-Java Bioscoop, dan (3) Indonesische Clubhuis Kramat. Dalam kongres tersebut, terdapat sejumlah forum pemaparan dari para pemuda yang membawa gagasan masing-masing dalam berbagai bidang. Hal tersebut kemudian mengerucut dalam sebuah rumusan penting yang kita kenal saat ini sebagai Sumpah Pemuda.
Pancasila
Selain kesepakatan pada 17 tahun sebelum merdeka, para pendiri bangsa Indonesia juga kembali bersepakat dalam perumusan dasar negara. Perdebatan di antara kaum terpelajar di forum sidang Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK) bukan saling berbantah-bantahan, bukan pula saling tuding-menuding, melainkan mereka justru berupaya menemukan titik temu yang dapat mempersatukan mereka, mengenyahkan segala perbedaan tanpa hilang rasa hormat terhadap segala keberbedaan di antara mereka.
Titik temu di antara ratusan suku dan keragaman agama itu adalah Piagam Jakarta yang diputuskan pada 1 Juni 1945. Lima sila yang termaktub di dalamnya menjadi muara sehingga melebur dalam satu aliran menuju cita-cita luhur sebagai bangsa yang sama, tidak lagi sebagai bangsa yang berbeda-beda, terpecah-pecah, dan berjuang sendiri-sendiri. Tekad mereka bulat menuju kemerdekaan bersama.
Baca Juga
Sumpah Pemuda Sudah Menjadi Nafas Santri
Adapun lima yang disepakati pada saat itu adalah sebagai berikut.
1. Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya;
2. Kemanusiaan yang adil dan beradab;
3. Persatuan Indonesia;
4. Kerakyatan yang dipimpin oleh kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan;
5. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Sempat terjadi perdebatan ulang pascamerdeka 17 Agustus 1945. Perdebatan ini mengingat ada sesuatu yang masih terasa mengganjal di kalangan golongan kebangsaan, meminjam istilah Yudi Latif. Pasalnya, tujuh kata setelah ‘Ketuhanan’ pada sila pertama terkesan memberikan perlakuan khusus kepada Muslim sehingga mereka melobi golongan Islam agar bersedia menyepakati untuk menghapus tujuh kata tersebut. Tujuh kata tersebut adalah ‘dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya’. Sebelum Rapat Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI), 18 Agustus 1945, Hatta mendekati tokoh-tokoh Islam untuk dapat menyepakati penggantian tujuh kata itu dengan ‘Yang Maha Esa’. Dengan begitu, sila pertama menjadi ‘Ketuhanan yang Maha Esa’. Permintaan ini disertai alasan demi menjaga persatuan bangsa mengingat adanya keberatan dari orang-orang Katolik dan Protestan di Indonesia bagian Timur. Keberatan tersebut atas hasil musyawarah mereka di Tretes, Jawa Timur pada 8-11 Agustus 1945, sebagaimana ditulis Yudi Latif dalam Wawasan Pancasila: Bintang Penuntun untuk Pembudayaan (2020: 49-50).
Dua peristiwa bersejarah di atas menunjukkan bahwa Indonesia merupakan sebuah negara kesepakatan. Kesepakatan ini tentu saja hasil dari musyawarah guna menemukan hal yang bisa saling menguntungkan satu sama lain di antara mereka yang bermusyawarah.
Sebagaimana diketahui, musyawarah dalam pengambilan keputusan ini juga merupakan perintah Allah swt. Dalam Al-Qur’an surat Asy-Syura ayat 38, Allah swt menegaskan perintah tersebut agar dapat dilakukan dalam setiap ketetapan.
وَالَّذِيْنَ اسْتَجَابُوْا لِرَبِّهِمْ وَاَقَامُوا الصَّلٰوةَۖ وَاَمْرُهُمْ شُوْرٰى بَيْنَهُمْۖ وَمِمَّا رَزَقْنٰهُمْ يُنْفِقُوْنَ ۚ
Artinya, “dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhan dan melaksanakan salat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah antara mereka; dan mereka menginfakkan sebagian dari rezeki yang Kami berikan kepada mereka,”
Dijelaskan dalam kitab Tafsir Ibnu Katsir, bahwa ayat tersebut berarti tidaklah orang yang memenuhi perintah Allah swt itu kecuali mereka tidak akan memutuskan sesuatu sehingga mereka bermusyawarah terlebih dahulu dalam perkara tersebut. Hal ini agar dapat menggembirakan hati masing-masing mereka.
Bahkan, Ibnul Arabi, sebagaimana dikutip Al-Qurthubi dalam kitab tafsir, menyatakan bahwa musyawarah merupakan keharmonisan bagi sebuah jamaah, media penguji kedalaman akal, dan sebab menuju kebenaran, dan tidaklah musyawarah sebuah kaum kecuali mereka diberi petunjuk.
Syakir NF, alumnus Fakultas Islam Nusantara Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia (Unusia)