Opini

Islam, Radikalisme, dan Terorisme

Jumat, 1 Januari 2016 | 23:36 WIB

Oleh Ahmad Saifuddin*
Radikalisme atas nama agama tidak akan pernah habis dibicarakan. Sampai saat ini, berita-berita harian baik media televisi maupun di media cetak, sebagian masih diisi dengan berita terorisme. Belum lagi mengenai konflik-konflik di Timur Tengah yang salah satunya disebabkan oleh pemahaman yang fundamental dan radikal terhadap permasalahan politik, keagamaan dan kehidupan. <>Pada akhir tahun 2015, Densus 88 mengadakan penangkapan terduga teroris di beberapa daerah, misalkan di Cilacap, Sukoharjo, Mojokerto, dan Bekasi. Sebagian elemen di Indonesia pun secara terang-terangan menolak keberadaan aliran radikal atas nama agama. 

Di sisi lain, banyak kelompok radikal atas nama agama yang hendak mengganti Negara Kesatuan Republik Indonesia, Pancasila, dan UUD 1945 dengan khilafah, meskipun NKRI dan UUD 1945 merupakan produk dari ulama-ulama Indonesia yang berjuang melawan dan mengusir penjajah, sampai merumuskan dasar negara dan bentuk negara Indonesia ini.

Metamorfosis

Sejatinya, radikalisme atas nama agama ini sudah terjadi sejak masa Nabi Muhammad SAW. Bahkan, beliau pun sudah mengabarkan dalam berbagai haditsnya bahwa gerakan semacam ini akan selalu ada sampai kelak. Salah satunya hadits yang menceritakan tentang Dzul Khuwaishirah (HR Bukhari 3341, HR Muslim 1773) dan hadits yang menceritakan mengenai ciri-ciri kelompok radikal (HR Bukhari nomor 7123, Juz 6 halaman 20748; Sunan an-Nasai bab Man Syahara Saifahu 12/ 474 nomor 4034; Musnad Ahmad bab Hadits Abi Barzakh al-Aslami 40/ 266 nomor 18947). 

Dalam sejarah perkembangan Islam, dikenal kemudian firqah yang bernama Khawarij. Khawarij ini muncul sebagai respon ketidakksepakatan terhadap tindakan tahkim (arbitrase) yang ditempuh Khalifah ‘Ali Ibn Abu Thalib dalam penyelesaian peperangan Shiffin dengan Mu’awiyah ibn Abu Sufyan. Dalam perjalanannya, Khawarij ini dapat ditumpas. Namun, pemikirannya bermetamorfosis dalam berbagai bentuk firqah. Sehingga, sampai sekarang pun masih banyak ditemukan pemikiran yang benar-benar fanatik, tekstual, dan fundamental. Kalangan yang pendapatnya berbeda dengannya maka akan diberikan stempel “kafir”, “bid’ah”, dan “sesat”.

Dalam tataran kenegaraan pun, juga terdapat kelompok radikal yang selalu mengangkat isu khilafah (satu pemerintahan atas nama Islam). Setiap permasalahan negara selalu dibawa ke ranah khilafah. Bahkan, ada kalangan yang menganggap pemerintahan selain khilafah adalah thaghut. Meskipun, bentuk negara ini merupakan perkara yang ijtihadi (diperlukan ijtihad dan tidak mutlak).

Kalangan-kalangan radikal ini pun sangat gencar menyuntikkan paradigma-paradigmanya sehingga tidak sedikit kalangan muda yang terbius oleh paradigma-paradigma semu tersebut. Didorong oleh pahala dan surga, kalangan muda banyak yang mendukung gerakan-gerakan radikal tersebut. Bahkan, banyak kalangan muda yang bersedia menjadi pihak bom bunuh diri.  Ironisnya, bekal keagamaan mereka pun belum dapat dikatakan mencukupi (belum ‘alim dan faqih), namun mereka sudah gencar berdakwah atas perspektif yang mereka pelajari sendiri. Model gerakan mereka pun sangat masif dan terkoordinir dengan baik sehingga mampu memengaruhi hampir seluruh lapisan masyarakat. Sehingga, paradigma ini harus menjadi perhatian serius.

Akar masalah

Scott M. Thomas (2005) dalam bukunya The Global Resurgence of Religion and The Transformation of International Relation, The Struggle for the Soul of the Twenty-First Century halaman 24 mengemukakan bahwa pemikiran dan gerakan radikal biasanya terkait dengan faktor ideologi dan agama. Istilah radikalisme adalah hasil labelisasi terhadap gerakan-gerakan keagamaan dan politik yang memiliki ciri pembeda dengan gerakan keagamaan dan politik mainstream. Gerakan radikalisme yang terkait dengan agama sebenarnya lebih terkait dengan a community of believers ketimbang body of believe.

Ernest Gelner (1981) dalam bukunya Muslim Society halaman 4 mengatakan bahwa pemikiran dan gerakan radikal yang dikaitkan dengan komunitas Muslim dipahami sebagai cara  bagi komunitas Muslim  tertentu dalam mengembangkan nilai-nilai keyakinan akibat desakan penguasa, kolonialisme maupun westernisasi. Di lain pihak, Mudhofir dan Syamsul Bakri (2005) menjelaskan dalam bukunya Memburu Setan Dunia, Ikhtiyar Meluruskan Persepsi Barat dan Islam tentang Terorisme halaman 93—95 bahwa radikalisme modern muncul biasanya disebabkan oleh tekanan politik penguasa, kegagalan pemerintah dalam merumuskan kebijakan dan implementasinya di dalam kehidupan masyarakat serta sebagai respon terhadap hegemoni Barat.

Syafi’i Ma’arif, Mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah 1999–2004, dalam buku Ilusi Negara Islam, Ekspansi Gerakan Transnasional di Indonesia (2009), setidaknya ada tiga teori yang menyebabkan adanya gerakan radikal dan tumbuh suburnya gerakan transnasional ekspansif. Pertama, adalah kegagalan umat Islam dalam menghadapi arus modernitas sehingga mereka mencari dalil agama untuk “menghibur diri” dalam sebuah dunia yang dibayangkan belum tercemar. Kedua, adalah dorongan rasa kesetiakawanan terhadap beberapa negara Islam yang mengalami konflik, seperti Afghanistan, Irak, Suriah, Mesir, Kashmir, dan Palestina. Ketiga, dalam lingkup Indonesia, adalah kegagalan negara mewujudkan cita-cita negara yang berupa keadilan sosial dan kesejahteraan yang merata.

Dalam suatu artikelnya, Adian Husaini (2004) mengutip dan menganalisis beberapa pendapat Samuel P. Huntington yang menulis buku berjudul “Who Are We? : The Challenges to America’s National Identity” pada tahun 2004. Huntington menggunakan bahasa yang lebih lugas, bahwa musuh utama Barat pasca Perang Dingin adalah Islam – yang ia tambah dengan predikat “militan”. Namun, dari berbagai penjelasannya, definisi “Islam militan” melebar ke mana-mana, ke berbagai kelompok dan komunitas Islam, sehingga definisi itu menjadi kabur.

Hal ini membuktikan bahwa Islam secara tidak langsung diciptakan (dijebak) sebagai teroris sehingga persepsi terhadap Islam pun menjadi buruk dan mengerucut bahwa Islam adalah teroris. Definisi “Islam militan” yang tanpa batasan tersebut kemudian merugikan umat Islam secara keseluruhan.

Radikalisme dan terorisme

Radikalisme atas nama agama ini tidak jarang kemudian menimbulkan konflik sampai pada puncaknya, yaitu terorisme dalam taraf membahayakan stabilitas dan keamanan negara. Pada akhirnya, radikalisme ini menyebabkan peperangan yang justru menimbulkan rasa tidak aman. Pada taraf terendah, radikalisme sampai mengganggu keharmonisan dan kerukunan masyarakat. Klaim “sesat”, “bid’ah”, dan “kafir” bagi kalangan yang tidak sependapat dengannya membuat masyarakat menjadi resah. Ironisnya, keresahan tersebut dianggap sebagai tantangan dakwah oleh kaum radikalis.

Permasalahan radikalisme dan terorisme yang saling keterkaitan ini pun sangat kompleks. Buku Samuel P. Huntington tersebut mempengaruhi AS untuk menciptakan Islam militan sebagai terorisme, meskipun Huntington sendiri tidak memberikan batasan-batasan “militan” sehingga Islam militan yang dimaksud itupun akan menajdi bias dan berpotensi melebar. AS pun juga selalu berkampanye bahwa Islam militan adalah terorisme. 

Terorisme selalu berawal dari radikalisme. Radikalisme dalam konteks sebab memahami teks dan norma agama secara dangkal. Radikalisme dalam konteks sebab terjebak pada situasi politik dan hegemoni Barat. Radikalisme dalam konteks sebab tidak puas dengan kinerja pemerintah dan ingin mengadakan revolusi secara besar-besaran.

Adian Husaini (2004) dalam sebuah artikelnya menjelaskan bahwa banyak ilmuwan dan tokoh AS, seperti Chomsky, William Blum, yang tanpa ragu-ragu memberi julukan AS sebagai ‘a leading terrorist state’, atau ‘a rogue state’. Maka dari itu, sangat naif bagi Huntington yang justru mencoba menampilkan fakta yang tidak adil dan sengaja membingkai Islam sebagai musuh baru AS. Bahkan ia menyatakan, “The rethoric of America’s ideological war with militant communism has been transferred to its religious and cultural war with militant Islam.” Di sisi lain, aksi terorisme oleh kalangan Islam militan dan radikal ini juga menuai protes dari kalangan Muslim moderat, meskipun kalangan Muslim moderat juga berpandangan bahwa terorisme ini juga termasuk pada konspirasi global untuk menghancurkan Islam.

Menampilkan wajah Islam sebagai rahmat

Islam yang berasal dari kata “salima” yang berarti selamat, merupakan agama yang menjamin keselamatan bagi siapapun baik di dunia maupun di akhirat. Bahkan, sabda Nabi Muhammad SAW bahwa orang yang dinamakan Islam itu apabila orang lain dapat selamat dari ucapan dan tindakan orang Islam itu. Perang dalam sejarah perkembangan Islam pun harus dimaknai secara kontekstual, termasuk penafsiran terhadap ayat-ayat perang dalam Al-Qur’an dan Hadits. Allah SWT pun berfirman bahwa Dia mengutus Nabi Muhammad SAW yang membawa Islam sempurna sebagai rahmat untuk seluruh alam. Selain itu, Nabi Muhammad SAW pun bersabda bahwa beliau diutus untuk menyempurnakan akhlak. Maka, wajah asli Islam adalah penuh kelembutan, toleransi, dan menyejukkan. Bahkan, dalam Q.S. An Nahl ayat 125 pun dikatakan mengenai cara berdakwah yang sama sekali tidak diperintahkan untuk perang.

Satu hal yang salah dipahami oleh Muslim radikal bahwa makna berdakwah itu adalah mengajak, bukan memaksa. Mereka memahami makna dakwah bahwa kelompok lain wajib dan harus mengikuti jalur pemikiran mereka. Dakwah berasal dari kata “dâ’a” yang berarti mengajak. Mengajak inipun juga sudah diatur dalam Q.S. An Nahl ayat 125 tersebut, yaitu dengan cara hikmah (perkataan yang baik, jelas, tegas, dan benar), mau’idhah al hasanah (pelajaran yang baik) dan mujadalah bi al lati hiya ahsan (membantah dengan cara yang baik). Dalam kalimat selanjutnya pun dijelaskan bahwa “Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk”. Hal ini mengindikasikan penekanan bahwa berdakwah itu memang dengan cara yang baik dan benar, serta kemauan orang untuk mengikuti jalan Islam itu hanya ditentukan oleh hidayah Allah SWT. Bukan kemudian dijuluki dengan “sesat”.

Selain itu, kisah-kisah menyejukkan dalam Islam yang bernuansa kedamaian pun jarang diangkat untuk menampilkan wajah Islam yang sesungguhnya. Seperti misalkan kisah Nabi Muhammad SAW yang menolak penawaran malaikat untuk menghancurkan kaum kafir dalam perang Uhud, kisah Nabi Muhammad SAW yang justru menjenguk orang yang meludahi beliau setiap hari, kisah ‘Ali ibn Abu Thalib yang tidak jadi menghunuskan pedang ke musuh karena diludahi oleh lawan, kisah ‘Ali ibn Abu Thalib yang kalah dalam pengadilan dalam kasus pencurian baju perangnya sehingga pencuri justru masuk Islam, kisah Shalahuddin al-Ayyubi yang mengirimkan kuda kepada Raja Richard The Great karena Raja Richard dijatuhkan oleh anak buah Shalahuddin al-Ayyubi, kisah Shalahuddin al-Ayyubi yang mengirimkan dokter kepada Raja Richard yang sedang sakit, dan kisah lainnya.

Menampilkan wajah Islam yang moderat inipun menjadi tugas berat, terutama bagi elemen bangsa Indonesia yang belum tertular virus radikalisme atas nama agama. Konsep Islam Nusantara pun akan diuji dan harus dioperasionalkan. Pemerintah jangan hanya berusaha menangkis gerakan radikalisme dan terorisme dengan menghancurkan kelompok-kelompok mereka. Namun, juga dengan berupaya memperbaiki kondisi bangsa dan kinerja pemerintah sehingga lebih mengedepankan kepentingan dan kesejahteraan rakyat, mengingat salah satu faktor penyebab radikalisme dan terorisme adalah faktor politik dan ketidakpuasan terhadap berbagai penyelesaian masalah yang dilakukan oleh pemerintah dan politik global. 

Tugas berat bagi kalangan Muslim moderat, harus gencar dalam menanamkan nilai Islam yang humanis dalam tataran akar rumput. Misalkan, memajukan TPA (Tempat Pendidikan Al-Qur’an) dan pengajian serta majelis-majelis yang diisi dengan internalisasi nilai-nilai Islam rahmatan lil ‘alamin dan deradikalisasi. TPA, pengajian, dan majelis ta’lim ini merupakan tempat yang jitu dalam menginternalisasikan nilai-nilai keislaman karena sasaran dari TPA, pengajian, dan majelis adalah masyarakat akar rumput.

Kajian terhadap bentuk negara, menceritakan kembali mengenai perjuangan para ulama memperjuangkan kemerdekaan Indonesia, kajian terhadap hubungan Islam dengan konstitusi, dan kajian mengenai sahnya Negara Kesatuan Republik Indonesia juga harus diintensifkan. Satu hal yang juga tidak boleh dilupakan adalah bahwa Islam harus dibumikan sehingga mampu memberdayakan umat manusia. Nilai-nilai Islam yang dibumikan ini akan menjadi nilai universal yang mampu menyelesaikan persoalan umat manusia. Nilai-nilai Islam yang tidak kaku dan tidak tergantung pada bentuk, sehingga dapat diimplementasikan dalam kerangka kebajikan apapun dan dalam dimensi waktu kapanpun. Menampilkan wajah Islam rahmatan lil ‘alamin inipun akan menghindarkan kaum Muslim dari jebakan Huntington, sehingga Islam tidak dipandang radikal dan teroris. Wallahu a’lam bish shawab.

*Penulis adalah Mahasiswa Magister Psikologi Profesi Universitas Muhammadiyah Surakarta. bergiat sebagai Wakil Sekretaris Pimpinan Wilayah Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama Propinsi Jawa Tengah 2013—2016


Terkait