Di era 1970-an hingga 1980-an, KH Abdurrahman Wahid atau Gus Dur terus mengalirkan banyak gagasan tentang Islam dan kebangsaan, Islam dan budaya, Islam dan demokrasi, serta memasyhurkan gagasan pribumisasi Islam dan pesantren sebagai sub-kultur. Dua konsep terakhir menjadi salah satu basis pemikiran penting sebagai peneguhan Islam Indonesia yang bergumul dengan tradisi, budaya, serta kehidupan berbangsa dan bernegara.
Tulisan-tulisan Gus Dur tentang tema-tema substantif itu menghiasi sejumlah media cetak, baik koran maupun majalah. Hingga suatu ketika Gus Dur diundang oleh Arief Budiman, Sosiolog dan tokoh golput termasyhur kala itu untuk menjadi pembicara utama di sebuah forum ilmiah. (Baca KH Husein Muhammad, Gus Dur dalam Obrolan Gus Mus, 2015)
Dalam forum yang didampingi Matori Abdul Djalil tersebut, Gus Dur menguraikan satu per satu konsep negara yang pernah ada dalam sejarah. Presiden ke-4 RI ini juga menyampaikan kelebihan serta mengkritik kekurangan masing-masing konsep tersebut.
Tibalah saatnya ketika Gus Dur menyampaikan kesimpulan, mana sesungguhnya konsep negara yang baik menurut Islam. Namun ternyata, hadirin yang berisi para pakar dan akademisi dibikin bingung karena Gus Dur dinilai kurang clear dalam menjelaskan konsep negara, yaitu negara Islam.
Gus Dur sama sekali tidak menyinggung perihal konsep negara Islam. Hal ini membuat Matori deg-degan khawatir Gus Dur diberondong pertanyaan oleh para pakar yang hadir. Apa yang dikhawatirkan Matori betul terjadi. Sebab salah satu hadirin bertanya kepada Gus Dur, lantas apa yang dimaksud dengan konsep negara Islam?
Semua kolega Gus Dur termasuk Gus Mus yang hadir dalam forum tersebut dibawa penasaran dengan menunggu jawaban cucu Pendiri NU, Hadhratussyekh KH Muhammad Hasyim Asy’ari itu. Ternyata dengan santainya Gus Dur menjawab, “itu yang belum aku rumuskan,” seloroh Gus Dur diplomatis.
Sontak seluruh hadirin yang memadati forum ilmiah tersebut dibuat ngakak dan terpingkal-pingkal oleh jawaban Gus Dur. Sejatinya Gus Dur ingin mengatakan bahwa konsep negara Islam tidak pernah ada. Islam hanya menawarkan nilai-nilai luhurnya untuk mengisi setiap sendi perpolitikan, perekonomian, kebudayaan, seni, dan lain-lain. “Islam tidak pernah dikerek menjadi bendera,” kata Gus Dur dalam sebuah tulisannya.
Gus Dur menegaskan bahwa gagasan negara Islam adalah sesuatu yang tidak konseptual dan tidak diikuti oleh mayoritas umat Islam. Gagasan tersebut hanya dipikirkan oleh sejumlah orang saja yang terlalu memandang Islam dari sudut pandang institusionalnya belaka. Karena lebih dari itu, Islam menyuguhkan nilai-nilai yang merupakan ruh dari seluruh sistem politik, sosial, ekonomi, dan kebudayaan.
Bagi Nahdlatul Ulama, negara berdasarkan Pancasila itulah representasi negara berdasarkan nilai-nilai Islam karena sila Ketuhanan Yang Maha Esa merupakan prinsip Tauhid dalam Islam. Namun, Gus Dur sendiri tidak memungkiri bahwa penerimaan Pancasila oleh sejumlah organisasi Islam tidak mudah. NU tercatat sebagai ormas Islam pertama yang menjadikan Pancasila sebagai asas organisasi.
Setidaknya ada beberapa alasan mendasar NU membahas Pancasila ke forum tertinggi organisasi, Muktamar ke-27 NU tahun 1984 di Situbondo, Jawa Timur. Dasar bahwa Pancasila mampu mempersatukan seluruh bangsa tidaklah cukup bagi sejumlah ormas Islam di Indonesia. Meskipun NU sendiri tidak pernah mempersoalkan keberadaan Pancasila karena dirancang sendiri secara teologis maupun filosofis oleh KH Abdul Wahid Hasyim, ayah Gus Dur.
Menjelaskan hubungan Islam dan Pancasila tidak semudah membalikkan telapak tangan. Karena jika hal ini berhasil dilakukan NU, ormas Islam di Indonesia merasa terbantu secara dasar syar’i. Sebab itu, Pancasila sebagai dasar mutlak dalam berbangsa dan bernegara harus juga dijelaskan oleh NU untuk menegaskan bahwa lima sila yang dipelopori oleh Presiden Soekarno pada 1 Juni 1945 tersebut dapat diterima secara final sebagai pondasi negara yang Islami.
Riwayat ketika Gus Dur secara mudah memutuskan bahwa Pancasila itu Islami dan final diceritakan Gus Mus. Bahkan, Gus Mus sendiri merupakan pelaku sejarah dalam perumusan Pancasila sebagai asas tunggal organisasi dalam Muktamar NU 1984 tersebut. Dia salah satu kiai yang ditunjuk oleh Gus Dur untuk menjadi anggota dalam tim perumusan deklarasi hubungan Islam dan Pancasila.
Dalam kehidupan sehari-hari, Gus Dur menjunjung tinggi nilai-nilai keadilan, kemanusiaan, dan keberagaman yang mengandung nilai-nilai keislaman, serta kedamaian bagi siapa saja yang berada di sekitarnya, baik Muslim maupun non-Muslim. Jauh sebelum maraknya isu radikalisme agama saat ini, Gus Dur telah memberikan pandangannya tentang konsep negara Islam.
Dalam Tuhan Tidak Perlu Dibela (1999), tanpa menggunakan banyak dalil, Gus Dur menarasikan beberapa pandangan dari kelompok Islam konservatif dengan narasi yang sederhana dan mudah dipahami.
Gus Dur menjelaskan, kalau memang Nabi Muhammad menghendaki berdirinya sebuah Negara Islam, mustahil masalah suksesi kepemimpinan dan peralihan kekuasaan tidak dirumuskan secara formal. Nabi cuma memerintahkan ‘bermusyawarahlah kalian dengan persoalan’. Masalah sepenting itu menurut Gus Dur seharusnya dilembagakan secara konkret.
Namun faktanya, hanya dicukupkan dengam sebuah diktum ‘masalah mereka (haruslah) dimusyawarahkan antara mereka’. Mana ada negara bentuk seperti itu? (Gus Dur, 1999: 20).
Dalam buku kumpulan Kolom dan Artikel Abdurrahman Wahid Selama Era Lengser (2002), Gus Dur menguraikan bahwa pengertian negara dari kata daulah tidak dikenal Al-Qur’an. Dalam Al-Qur’an, kata tersebut (di Al-Qur’an dibaca duulatan) bermakna berputar atau beredar, yang terdapat pada Surat Al-Hasyr ayat 7: “agar harta yang terkumpul itu tidak berputar/beredar antara orang-orang kaya saja di lingkungan Anda semua”.
Sementara dalam buku Islamku, Islam Anda, Islam Kita (2006), Gus Dur melakukan penelusuran yang berakhir pada kesimpulan serupa dengan pengembaraannya di wilayah teks. Dilihat dari kacamata historis, bentuk kempemimpinan yang dipraktikkan umat Islam senantiasa berubah.
Pengangkatan Sayyidina Abu Bakar sebagai pemimpin dengan sistem prasetia/baiat dari para kepala suku atau wakli-wakilnya kepada beliau, berlanjut dengan model penunjukkan beliau kepada Sayyidina Umar sebagai penerusnya sebelum beliau meninggal, kemudian sistem ahlul halli wal aqdi (elector) sama dengan sistem yang dianut MPR RI era terpilihnya Gus Dur jadi Presiden—dalam pengangkatan Sayyidina Utsman bin Affan, berdasarkan permintaan Sayyidina Umar di akhir masa hidupnya, sesaat setelah beliau ditikam oleh Abu Lu’luah. Lalu Sayyidina Utsman digantikan oleh Sayyidina Ali bin Abi Thalib, dan berlanjut ke sistem kerajaan atau keturunan dan seterusnya.
Bentuk-bentuk pengangkatan pemimpin yang berubah-ubah itu bagi Gus Dur merupakan sebuah bukti, atau boleh dikatakan Islam tidak mengenal konsep negara. Kesimpulan ini diperkuat oleh Gus Dur dengan menyebutkan beberapa data sejarah bahwa pada perjalanannya Islam tidak menentukan besarnya negara yang akan dibentuk.
Pada masa Nabi Muhammad, negara hanya meliputi Madinah dan sekitarnya, lalu berupa imperium dunia pada masa khalifah dan diteruskan oleh Dinasti Umayyah dan Dinasti Abbasyiah. Misalnya pada masa Sayyidina Umar, Islam mencakup wilayah pantai timur Atlantik sampai Asia Tenggara.
Penulis adalah Redaktur NU Online