Kalender yang memuat goresan kaligrafi terendam air karena banjir. (Ilustrasi: Didin Sirojuddin AR).
Sekarang musim banjir. Tapi cerita ini berisi tentang pengalaman Jakarta kebanjiran beberapa tahun lalu. Banjir beberapa tahun lalu cukup dahsyat dan punya keunikan seperti banjir di awal Januari tahun ini. Tidak juga berhubungan dengan lagu Pop Betawinya Benyamin S:
Kalau banjir turun ke bawah, itu pasti. Seperti dari Bogor pasti turun ke Jakarta. Sehingga untuk dijadikan pelajaran, banjir diibaratkan ilmu yang turun hanya kepada orang yang merunduk tawadhu :
العلمُ حَرْبٌ لِلْفَتَى المُتَعَالِى
Artinya, “Ilmu adalah lawan anak muda yang angkuh//
Ibarat banjir yang pantang ke tempat tinggi."
Duuuh, hampir lupa. Sahibul hikayat kisah ini adalah Ir L Jayanto Lokanatha yang dipanggil Ayun, sarjana listrik jebolan Universitas Trisakti Jakarta dan pengusaha percetakan kalender yang sukses. Ia Chinese Kristen yang saleh. Ia sobat saya. Ia menerbitkan kalender kaligrafi saya selama 32 tahun sejak 1988.
Isi ceritanya malah tentang lukisan kaligrafi kalender saya yang ikut kebanjiran. Karya-karya tersebut masih berupa coretan hitam putih di kertas gambar 42 x 30 cm. Bila saban tahun rata-rata menulis 7-10 set kalender x 6 lembar x 30 tahun, maka seluruhnya berjumlah 1.500an lembar.
Rumah Ayun terletak di bilangan Kedoya (Jakbar) dan kebanjiran. Perabotan di lantai bawah tenggelam. Air mengalir deras. Tiba-tiba dia teringat sesuatu, "Whadduh celaka! Hancur dah tulisan kalender Om Siroj! Hancuuur!"
Ayun bergegas nyamperin tumpukan desain kalender tiga dekade itu. Di pojok kamarnya. Karya-karya itu benar-benar tenggelam di air mengalir. Hati Ayun ikut hancur. Lha, kok?
Seingatnya, kaligrafi Al-Qur'an tulisan saya sahibnya itu memuat banyak tema dan gagasan tentang kuasa Allah, Kitab Suci Al-Qur'an, orang-orang bertakwa, iman dan amal saleh, toleransi, pergaulan sosial, harta halal dan haram, surga-neraka, perjuangan hidup, dunia yang menipu, setan yang menggoda, mirasantika, pornografi dan pornoaksi, dunia ilmu pengetahuan, pesan persatuan dan persaudaraan, cinta yatim, fuqara, dan dhu'afa, jihad melawan hawa nafsu, akhlakul karimah, keluarga bahagia, hukum dan keadilan, pemimpin baik dan pemimpin jahat, pendidikan anak, cinta tanah air, dan lain-lain.
Ayun khawatir misi kalendernya hancur bersama tenggelamnya desain kaligrafi Kitab Suci itu.
Alhamdulillah, ternyata banjir tidak melunturkan karya-karya itu. Ayun mengambil selembar demi selembar karya tulis kaligrafi dari dalam air. Semuanya utuh. Tidak satu pun yang luntur. Subhanallah. Tidak seperti ribuan kitab yang dilemparkan tentara Mongol ke Sungai Tigris dan Eufrat dulu, yang menyebabkan air sungai itu jadi hitam oleh tinta yang luntur.
Sambil nyeruput teh tarik panas di rumah saya, Ayun tak habis menceritakan kekagumannya terhadap kejadian itu:
"Om Siroj, itu karena mukjizat Al-Qur'an ya?" tanya Ayun.
"O, iya. Iya. Mukjizat Al-Qur'an," jawab saya spontan.
Saya sendiri tidak tahu karena tidak melihat kejadiannya. Justru masih kaget, "Kenapa karya-karya itu tidak luntur?" Padahal ditulisnya pun hanya dengan tinta merk biasa seperti Yamura, Pelikan, Parker, Rotring, atau Expression Chinese Ink. Bukan dengan tinta mahal. Memang, saya belum pernah sengaja mengguyur hasil tulisan sendiri. Jadi tidak tahu.
Yang aneh, sahibul cerita "keajaiban Yang Maha Kuasa" dan yang langsung mengalaminya adalah non-Muslim, yaitu Ayun teman saya, yang sangat-sangat yakin "Islam itu komersil" karena mengatur segala aspek kehidupan manusia, termasuk aspek ekonominya.
Saya hanya berucap, "Alhamdulillah, Allah menjaga naskah-naskah yang tak ternilai harganya itu."
Penulis adalah pengajar pada Fakultas Adab dan Humaniora UIN Syarif Hidayatullah. Ia pendiri Lembaga Kaligrafi (Lemka).