Opini

Kenangan Memfoto Kaligrafi di Masjidil Haram dan Masjid Nabawi

Rabu, 14 Agustus 2019 | 13:45 WIB

Kenangan Memfoto Kaligrafi di Masjidil Haram dan Masjid Nabawi

Foto: pixabay

Oleh Didin Sirojuddin Ar
Kerajaan Arab Saudi mulai  tegas melarang kegiatan foto-fotoan di Masjidil Haram dan Masjid Nabawi. Dari dulu pun, sebetulnya, aksi berfoto-foto atau pun selfy tidak diperkenankan. Saat berhaji tahun 1994, saya jarang  melihat jamaah terang-terangan pegang kamera apalagi  berfoto-foto di lingkungan Ka’bah. Bila ketahuan, askar langsung merampasnya tanpa ampun. Waktu itu, saya pun sengaja tidak membawa kamera karena tidak ingin terganggu saat ibadah.
Teknologi digital maju sedemikian pesat dan ledakannya menyeruak ke seluruh ufuk bumi. Sekarang, hampir seluruh jamaah haji memegang kamera digital. Nge-WA di mana-mana dan jepretan kamera membidik semua ruang di dua masjid. Bahkan jadi obyek jepretan yang paling dicari.

Saya menduga askar Haromain sudah tidak mampu menahan-nahan "aksi paparazzi" jamaah haji. Bagaimana melarang mereka jika semua memegang kamera? Dalam tiga kali umrah tahun-tahun terakhir, akhirnya,  saya juga  tidak mau ketinggalan.

Tangan rasanya  gatal tanpa jeprat-jepret di interna Masjid Nabawi dan Masjidil Haram, lebih-lebih Ka’bah yang indah. Tapi, tidak hanya foto-fotoan dengan background Ka’bah. Dengan sedikit "action", saya justru banyak menjepret kaligrafi interior masjid agung di Tanah Haram Makkah dan Madinah ini. Ternyata, ada catatan menarik dan sejarah  kaligrafi yang unik di Masjidil Haram dan Masjid Nabawi yang menambah ilmu saya tapi penting pula diketahui jamaah haji dan umrah.

Adalah Abdullah Zuhdi dari Asitanah, Turki, yang berjasa menulis kaligrafi di Masjid Nabawi dan Masjidil Haram. Pengajar khat di kampus Nur Usmaniyah ini diutus Sultan Abdul Majid ke Hijaz untuk menulisi kaligrafi dinding Masjid Nabawi.

Ketika bersafari ke Mesir, Pemerintah Mesir mengangkatnya menjadi guru khat di Madrasah Khudeiwiyah sampai wafatnya tahun 1296 H. Karena kerjanya bagus, ia ditugaskan menulis ayat-ayat Al-Qur’an dan lainnya di Ka’bah. Profesinya dilanjutkan oleh murid-murid dan generasi kaligrafer sesudahnya sampai sekarang.

Menarik sekali, kaligrafi yang terjepret di Masjid Nabawi didominasi khat Tsulus. Beberapa menggunakan Naskhi dan Kufi. Tapi yang paling menarik perhatian dan jadi "sasaran tembak" kamera saya adalah hadits Nabi SAW yang terletak berhadapan dengan Raudhah, tempat yang paling diperebutkan:

مابين بيتي ومنبري روضة من رياض الجنة

Artinya, "Yang berada di antara rumahku dan mimbarku adalah sebuah taman dari taman-taman surga."

Di Masjidil Haram, kaligrafi gaya Tsulus bertebaran menghiasi dinding. Tapi semuanya kalah pamor oleh kaligrafi di kiswah Ka’bah. Kiswah sendiri dan jamaah yang bergemuruh thawaf mengelilingi Ka’bah jadi sasaran tembak kamera yang paling menarik.

Sejak proses pembuatannya, Kiswah memang menarik: dibuat saban tahun dengan biaya sekitar 5 juta real selama 9 bulan sampai setahun penuh dengan bahan-bahan: kain sutra, benang emas, dan materi campuran lainnya. Pembuatannya melibatkan 200 perancang dan pekerja ahli dengan menghabiskan 9.600 pintal benang khusus hanya untuk tulisan segi tiga:

سبحان الله وبحمده، سبحان الله العظيم، ياحنان، يامنان، ياالله.

Kiswah, yang beberapa abad lamanya dibikin atas tanggungan pemerintah Mesir (sebelum akhirnya jatuh ke tangan pemerintahan Ibnu Saud),  adalah kelambu Ka’bah dari sutra yang dihias pertama kali oleh bangsa Himyar 2 abad sebelum hijrah. Tepatnya yang mula-mula mengelambui Ka’bah dengan kulit yang disamak adalah Abu Karbin As'ad, Raja Himyar, tatkala baginda kembali dari berperang (220 SH) dan kebetulan lewat di depan Ka’bah.

Sejak Islam lahir sampai Fathu Makkah, Rasulullah belum sempat mengiswahi Ka’bah karena belum ada kebebasan ibadah akibat konfrontasi dengan musyrikin Quraisy. Setelah seorang wanita membakarnya, barulah Rasulullah menggantinya dengan kain baru dari Yaman. Kecuali Abu Bakar, Umar, dan Usman, Ali tidak disebut-sebut pernah membikin kiswah, barang kali tidak sempat akibat pertentangan politik dengan Muawiyah dan fitnah di dalam negeri yang merajalela. Sebaliknya, Muawiyah sendiri mengiswahi Ka’bah dua kali setahun, Makmun tiga kali. Khalifah Makmunlah yang mula-mula membikin kiswah dari sutra putih bergambar.

Di zaman Fatimiyah diganti lagi dengan sutra putih, kemudian kuning, kemudian hijau, kemudian hitam, warna yang berlaku sampai sekarang.

Asyiiik... dah.  Tidak terasa kamera hape saya terus membidik huruf-huruf kaligrafi hitam “La ilaha illallah, Muhammadur Rasulullah” berulang-ulang  yang samar-samar  memenuhi body kiswah yang hitam anggun. Sambil mengklik tombol kamera, terbayang ingatan ke pabrik kiswah super modern yang dilengkapi peralatan dan komputer serba up to date.

Tahap pembuatan kiswah tersebut diawali dengan pencucian kain sutra putih yang didatangkan khusus dari Italia. Digosok berkali-kali dengan air mendidih dan sabun untuk mengikis debu dan zat kimia yang melekat. Dibeberkan hingga kering, lalu dicelup dengan warna biru nila dengan sedikit bumbu kimia untuk menguatkan warna. Dicelup lagi dengan warna hitam pekat. Sesudah kering dilipat dengan gelondongan kayu besar-besar ratusan batang. Pintalan benang yang ditargetkan berjumlah 9.870 gulung dibentangkan pada 8 buah sisir besi.

Kamera saya seakan diarahkan ke proses pembuatan kaligrafinya. Dimulai dari tahap penjahitan pada lengkung garis-garis ukur yang diguratkan sang direktur seniman. Apabila para pekerja menginjak pedal dengan telapak kakinya, maka bermunculanlah benang-benang sulam yang berkilauan. Nah, itulah kalimat-kalimat kaligrafi penghias kiswah. Indah sekali bukan?

Ka’bah memang dahsyat. Amalan untuk memuliakannya juga dahsyat. Satu kiswah, yang diolah oleh 200 seniman spesialisasi tenun, bordir dan pengisian, jahit dan seterusnya,  menghabiskan 875 m kain sutra. Untuk sabuk Ka’bah saja diperlukan 16 potong kain dengan panjang 61 m dan lebar 94 cm, berjarak 9 m dari permukaan tanah. Sepanjang sabuk itu bertuliskan, “bismillahir rahmanir rahim” disusul dengan ayat 197-199 Surat Al-Baqarah. Tulisan itu tampak dari arah Hijir Ismail.

Di sebelah barat antara Rukun Yamanisyah dan Hijir Ismail, kamera yang lengkeeet terus di tangan  membidik kaligrafi “bismillahir rahmanir rahim” disusul dengan ayat 96-97 Surat Ali Imran.

Di sebelah timur pada pintu Ka’bah tertulis “bismillahir rahmanir rahim” disusul dengan ayat 125-127 dan 128 surat Al-Baqarah. Juga terdapat sepotong kain sutera besar bertuliskan kata sanjungan:

صنعت هذه الكسوة فى مكة المكرمة وأهداهاإلى الكعبة المشرفة خادم الحرمين الشريفين (nama Raja) تقبل الله منه.
       
Kamera membidik juga 4 potong kain bersegi empat bertuliskan surat Al-Ikhlas yang digantungkan di setiap sudut Ka’bah. Sedangkan cadar pintu panjangnya 7 ½ m dan lebar 3 ½ m tampak anggun dengan ayat-ayat Al-Qur’an dalam pelbagai corak kaligrafi yang artistik.

Subhanallah, semuanya sangat memesona. Kamera juga serasa disorotkan kepada kaligrafer Abdullah Zuhdi yang berjasa merintis penulisan kaligrafi di Masjidil Haram dan Masjid Nabawi. Duh sayang, yang terbidik hanya kata kenangan yang dikumandangkan para penyair:
 
مات رب الخط والأقلام قد #
نكست أعلامهاحزناعليه
وانثنت من حسرة قامتها # 
 بعد ما كانت تباهى فى يديه
ولذا قد قلت فى تاريخه #
 مات زهدى رحمة الله عليه

"Raja kaligrafi  meninggal dunia
Pena-pena 'lah menurunkan benderanya
Bersedih karena kepergiannya
Dan membungkuk layu meratapi  sosoknya yang tegap
Setelah dulu kejayaan di tangannya.
Karena itu, telah kukatakan dalam tarikhnya:
Zuhdi meninggal dunia
Semoga rahmat Allah terlimpah kepadanya."

Penulis adalah pendiri Lembaga Kaligrafi (Lemka) dan pengajar pada Fakultas Adab dan Humaniora UIN Syarif Hidayatullah.