Opini

Jangan Marah

Rabu, 10 Juli 2019 | 23:00 WIB

Oleh Didin Sirojuddin AR
 
أن رجلا قال للنبى صلعم: "أوصنى", قال: "لا تغضب" فرددمراراقال: "لاتغضب".
 
Seorang lelaki  berkata kepada Nabi SAW: "Berilah aku wasiat."  Nabi menjawab: "Jangan marag!" (Karena terus-terusan bertanya), maka beliau berulang-ulang menjawab: "Jangan marah!" (HR Bukhari dari Abu Hurairah).
 
Peristiwa "orang mengotori masjid" sudah ada contohnya. Di zaman Nabi SAW, seorang arab baduy tiba-tiba kencing di pojokan masjid. Para sahabat ngamuk dan ada yang berniat menggebukinya. 
 
Nabi mencegah dan segera menginstruksikan: "Ayo sekarang ambil ember air!" lalu beliau suruh guyur tuh air kencing sembarangan itu. Baduy yang gak tahu sopan-santun itu hanya dinasihati lalu disuruh pergi tanpa diinterogasi dan dihakimi luar dalam, karena semua sudah tahu dia orang bodoh.
 
Punten. Apa yang dilakukan Nabi SAW adalah standar hukum yang harus kita anut. Saya mah maunya seperti beberapa sahabat:  ngagebugan si baduy yang gak tau sopan-santun itu. Tapi kan Nabi melarang.
 
Abu Bakar juga pernah bersumpah menghukum dengan  memutuskan santunan rutin kepada Si Misthah, karena aktif memprovokasi dan memfitnah putri kesayangannya yang juga istri Nabi, Siti Aisyah (dalam peristiwa Haditsul Ifqi). Tapi Nabi melarang bahkan menyuruh Abu Bakar untuk menggandakan bantuannya.
 
Saya hanya melihat sikap Nabi yang lebih mendahulukan "memberi ampunan" daripada "menjatuhkan hukuman", apalagi kepada orang bodoh kayak si baduy. Si perempuan pembawa anjing juga tidak berbeda. Dia orang "bodoh" dan kita tidak bisa "menebak niatnya" untuk sengaja menyerang Islam atau "membawa agenda terselubung" hanya karena membawa-bawa anjing sambil pakai sepatu ke dalam masjid.
 
Menyerahkan perkaranya kepada polisi adalah tepat. Mengganti karpet masjid yang ternoda najis dengan karpet baru juga tepat. Saya juga setuju dengan harapan Kiai Dudung Abdul Gopar, "Mudah-mudahan si perempuan emosional itu mendapat hidayah Islam dan masuk ke barisan kita."
 
Tidak berarti hanya seperti itu sikap Nabi. Sebab beliau pun pernah menyuruh penggal kepala orang yang sudah kelewat saking bikin penghinaan-penghinaan terhadap beliau dan ajarannya. Lagi-lagi ketika manusia  sinting itu ampun-ampunan, Nabi membatalkan vonisnya.
 
Saya hanya dapat pelajaran menarik dari kasus "menjatuhkan keputusan hukum" cara Nabi. Ini "perang pemikiran" (الغزوالفكرى) yang harus dihadapi dengan pikiran cerdas dan pas.  Nabi sangat selektif, hati-hati, tidak terburu-buru memvonis. Bahkan "lebih baik keliru membebaskan daripada keliru menghukum" katanya.
 
Vonis Nabi pun hanya berdasarkan fakta lahiriah, seperti kata beliau:
 
نحن نحكم بالظواهر
 
Artinya, "Kami mengambil  keputusan hukum berdasarkan fakta-fakta lahiriah."
 
Ketika prajuritnya kadung membunuh musuh yang mengucap "La Ilaha illallah" karena dianggapnya hanya omdo,  lip service dan pura-pura, Nabi marah: "Kenapa tidak kamu belah saja dulu dadanya supaya kamu tahu isi hatinya?" Maksud Nabi, kalau jelas mengucap  لاإله إلاالله  ya gak boleh dibunuh. Soal dia pura-pura, hanya Allah yang tahu.
 
Akhirnya, saya  tertarik dengan ucapan Moh Hatta kepada para pendiri bangsa saat terjadi "debat panas" untuk menentukan dasar dan sendi negara kita: "Hati boleh panas, tapi kepala harus tetap dingin."  Wallahu alam.
 
 
Penulis adalah pengajar di Fakultas Adab dan Humaniora UIN Syarif Hidayatullah. Ia juga pengasuh pesantren kaligrafi di Sukabumi.