Opini

Krisis Global, Sektor Informal dan Dilema Serikat Buruh

Ahad, 30 November 2008 | 23:00 WIB

Oleh Alfanny

Krisis ekonomi global kini di ambang mata pasca-bangkrutnya perusahaan finansial Amerika Serikat (AS), Lehman Brothers. Organisasi Buruh se-Dunia (ILO) memprediksi akan ada kenaikan 5 juta pengangguran di seluruh dunia. Di Indonesia sendiri, angka pengangguran terbuka pada 2009 diprediksi akan naik sekira 9 persen. Angka pengangguran jelas akan makin bertambah bila mengingat krisis global akan menyebabkan target pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun 2008 sebesar 6,2 persen tidak tercapai.

Hal tersebut juga akan bertambah parah mengingat pasar tenaga kerja Indonesia sangat rigid. Rigiditas inilah yang menjelaskan mengapa elastisitas permintaan tenaga kerja Indonesia yang saat ini diperkirakan sebesar 200.000-300.000 per 1 persen pertumbuhan, relatif lebih rendah dibandingkan perkiraan sebelumnya yang sebesar 400.000-500.000 per 1 persen pertumbuhan. Rigidnya pasar tenaga kerja Indonesia terhadap pertumbuhan ekonomi, salah satunya disebabkan regulasi ketenagakerjaan yang menurut sebagian pengamat, terlalu memproteksi buruh sehingga pengusaha harus memberikan pesangon yang besar bila ingin mem-PHK buruhnya.<>

Salah satu langkah pemerintah dalam mengatasi krisis global mendorong sektor riil.  Namun, naiknya BI Rate pada angka 9,5 persen, jelas akan mengakibatkan suku bunga kredit juga terkerek naik yang pada gilirannya menyebabkan seretnya modal yang mengalir ke sektor riil. Konsumsi masyarakat yang selama ini memberikan kontribusi signifikan bagi pertumbuhan ekonomi dipastikan juga akan menurun sehingga penyerapan produk-produk industri dalam negeri pun terhambat.

Sejumlah pejabat dan analis rupanya masih tetap optimis. Tidak kurang dari Wakil Presiden Jusuf Kalla yang menyatakan bahwa yang penting Pasar Tanah Abang dan pasar tradisional lainnya tetap hidupnya sebagai indikator masih kencangnya gerak roda ekonomi. Dengan kata lain, pemerintah mengambil contoh kasus 1998—kembali mengharapkan sektor informal menjadi katup penyelamat di saat krisis. Seolah sudah menjadi mantera suci bagi banyak orang bahwa sektor informal/ UMKM tetap bertahan di tengah krisis saat perusahaan-perusahaan gajah bertumbangan. Namun, banyak yang lupa bahwa meledaknya sektor informal di saat krisis, justru menjadi pertanda mandegnya sektor formal. Sudah lazim diketahui bahwa sektor formallah yang justru menjadi indikator sehatnya perekonomian suatu negara. Pajak (lebih) dapat dipungut dari sektor formal. Dan, yang terpenting bagi rakyat yang menjadi buruh, adalah bahwa sektor formal memberikan proteksi bagi buruh dalam hal upah minimun, jaminan sosial tenaga kerja (Jamsostek) dan kebebasan berserikat untuk meningkatkan posisi tawar buruh. Sulit diharapkan sertor informal, semisal industri tempe dengan karyawan 10-20 orang mampu menyesuaikan gaji buruhnya dengan upah minimum, mengikutsertakan mereka dalam Jamsostek apalagi mengizinkan pendirian serikat buruh.

Dilema Serikat Buruh

Di tengah makin terdesaknya sektor formal akibat krisis, maka serikat-serikat buruh/pekerja yang selama ini memayungi kepentingan buruh di pabrik berada dalam dilema. Krisis global jelas akan menyebabkan banyak perusahaan melakukan PHK demi efisiensi. Konflik perburuhan pun tak terelakkan. Gagalnya pemerintah memaksakan merevisi Undang-Undang (UU) Nomor 13 Ketenagakerjaan dan membuat RPP Pesangon menyebabkan biaya pesangon yang harus dikeluarkan pengusaha untuk mem-PHK buruhnya masih tinggi. Bila buruhnya sebagian besar adalah buruh rendahan dengan gaji masih di bawah PTKP (Penghasilan Tidak Kena Pajak 1,1 juta per bulan), maka pengusaha masih bisa bernapas lega. Namun, bila sebagian besar buruhnya adalah buruh terlatih dan terdidik dengan penghasilan berkali-kali lipat di atas PTKP, maka kocek yang harus dirogoh pengusaha akan lebih dalam lagi.

Belum lagi bila pemerintah berhasil mengeluarkan Surat Keputusan Bersama (SKB) yang menyatakan bahwa pada 2009 tidak ada kenaikan UMP (Upah Minimum Provinsi), maka para buruh jelas akan menolaknya. Para pimpinan serikat buruh pun berada dalam dilema. Bila serikat buruh/pekerja menolak mentah-mentah SKB penundaan kenaikan UMP di tahun 2009, maka pengusaha pun jelas akan menuding serikat buruh sebagai pihak yang tidak paham persoalan. Namun, bila pimpinan serikat buruh/pekerja tingkat nasional (yang termasuk dalam Lembaga Tripartit Nasional) menyetujui tanpa syarat SKB, maka dipastikan massa buruh akan kehilangan kepercayaan pada pimpinan serikat buruhnya.

Pemerintah, dalam hal ini Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi sebagai salah satu pihak dalam Lembaga Tripartit Nasional, selain pengusaha dan serikat buruh/pekerja- sudah seharusnya mengambil jalan tengah yang saling menguntungkan bagi pengusaha dan buruh. Kenaikan UMP bisa saja ditunda di tahun 2009, namun pemerintah harus memilah secara sektoral mana industri yang benar-benar terkena krisis seperti industri tekstil. Pemerintah juga harus memberikan insentif bagi buruh berupa pembangunan apartemen/rusun buruh yang dekat dengan kawasan industri sehingga buruh dapat menghemat ongkos transportasinya atau memfasilitasi penyediaan moda transportasi yang murah dan massal bagi buruh atau dengan memberikan subsidi bahan baker minyak (BBM) khusus angkutan umum. Bila perlu, mengingat harga minyak dunia turun- pemerintah seharusnya menurunkan harga BBM seperti langkah yang dilakukan Malaysia. Di sisi lain, pemerintah juga seharusnya memberikan insentif pajak pada pengusaha yang berorientasi padat karya untuk mendorong pengusaha menyerap tenaga kerja sebanyak-banyaknya. Di sinilah peran pemerintah menjadi sangat vital menengahi kepentingan pengusaha dan buruh yang memang berbeda.

Penulis adalah Wakil Sekretaris Jenderal Dewan Pimpinan Pusat Sarikat Buruh Muslimin Indonesia


Terkait