Opini

Lebaran dan Konsumerisme

Jumat, 17 Agustus 2012 | 04:39 WIB

Hari raya Idul Fitri di depan mata. Mendekati akhir puasa ini, rasaya nuansa lebaran yang begitu menyenangkan sudah terbayang di hati umat Islam. Sebab, mereka melakukan puasa sebulan tidak lain untuk menyambut kedatangan hari raya Idul Fitri. Hal itu terlepas dari tujuan puasa untuk mendekatkan diri kepada Tuhan Yang Maha Esa.

<>Itulah sebab Idul Fitri menjadi momen “sakral” bagi umat Islam. Untuk itu, setiap muslim harus mampu menjaganya dan tidak mengotori kesucian hari raya itu.      

Sudah menjadi tradisi bagi umat Islam untuk saling mengasihi, menyayangi, dan bermaaf-maafan antara satu sama lain di hari lebaran ini. Oleh sebab itu, hari raya Idul Fitri menjadi saat yang tepat bagi umat Islam introspeksi diri (muhasabah), yaitu, dengan cara meminta dan memberi maaf terhadap sesama. Dengan begitu, maka akan tercipta kerukunan dan keakraban sesama umat Islam.

Seperti yang kita ketahui, biasanya mendekati lebaran ini, banyak umat Islam yang berada di luar kota maupun di luar negeri yang melakukan mudik (pulang kampung). Di Indonesia, mudik sudah menjadi tradisi yang tiap tahun pasti terjadi. Padahal, sebenarnya tujuan mereka mudik tidak lain hanyalah untuk bertemu dan bersilaturrahim dengan keluarganya. Mereka berbondong-berbondong menuju desa agar bisa berkumpul dan bersenang-senang dengan keluarganya.

Hakikat Idul Fitri
Di hari raya Idul Fitri ini, kita tidak hanya sekadar merayakannya, akan tetapi mampu memahami hakikat Idul Fitri. Sebagai umat Islam, tentunya kita harus tahu apa makna dan hikmah dari Idul Fitri. Jika kita tidak mengetahui hakikat dari Idul Fitri, maka sulit rasanya untuk memahami makna dan hikmah dari hari raya tersebut.

Kata Idul Fitri berasal dari bahasa Arab Id dan Fitri. Kata Id berarti “kembali”. Sedangkan kata Fitri berarti “berbuka atau suci”. Jadi, secara etimologi Idul Fitri adalah kembali berbuka atau kembali suci. Maksud kembali berbuka adalah, umat Islam diperbolehkan untuk berbuka kembali kapan saja di saat hari raya. Sebagaimana yang diketahui dan dirasakan oleh umat Islam, mereka dilarang untuk berbuka (makan dan minum) dan melakukan hubungan intim dengan istri maupun suaminya di tengah hari pada saat berpuasa. Akan tetapi, ketika hari raya telah tiba, maka tidak ada larangan bagi mereka untuk berbuka maupun berhubungan intim dengan pasangannya. 

Sedangkan maksud kembali suci yaitu, umat Islam berada dalam keadaan suci sebagaimana ketika mereka lahir di dunia. Ketika lahir, semua manusia pasti dalam keadaan suci, baik suci badan ataupun jiwanya. Itulah sebab ketika lebaran umat Islam saling bermaaf-maafan. Sebab, dengan saling memaafkan, maka bisa melunturkan dosa-dosa yang telah diperbuat selama hidup di dunia. Sehingga, hal itu bisa menjadikan diri mereka suci kembali layaknya manusia yang baru lahir.

Konsumerisme
Inilah pentingnya bagi kita untuk memahami hakikat Idul Fitri. Sebab, dengan begitu maka kita akan mengetahui apa yang seharusnya dilakukan sehingga tidak merusuhi kesucian hari raya. Di saat lebaran, kita harus mampu menghiasi dan mengisinya dengan perbuatan shaleh yang mampu mewarnai keindahan hari raya.      

Namun, jika melihat realita yang terjadi, banyak dari umat Islam melakukan tindakan pemborosan di saat lebaran. Sudah menjadi kebiasaan bagi sebagian umat Islam untuk selalu menggunakan pakaian baru ketika lebaran. Sebelum hari raya tiba, mereka berbelanja sebanyak-banyaknya seperti pakaian, makanan (jajan), ataupun barang-barang lainnya untuk digunakan di waktu lebaran. 

Memang, jika digunakan untuk kegiatan yang bermanfaat hal itu sangat baik. Akan tetapi, terkadang mereka berlebih-lebihan dalam berbelanja. Mereka membeli barang yang sebenarnya tidak ada manfaatnya bagi dirinya. Padahal, kita tahu bahwa di saat menjelang lebaran pasti harga barang-barang pokok melonjak tinggi. Inilah yang menyebabkan mereka menjadi konsumerisme. Alangkah lebih baiknya jika uang mereka digunakan untuk hal yang lebih baik dan bermanfaat.

Selain itu, di hari raya juga sering terjadi tindak kerusuhan. Tentu kita sering melihat dan mendengar ledakan petasan ketika lebaran. Seakan-akan, sudah menjadi agenda rutinitas untuk memainkan petasan saat lebaran. Padahal, kita tahu bahwa bunyi letusan petasan sangat menganggu kenyamanan masyarakat. Tidak hanya itu, adanya petasan juga mengganggu ketertiban jalan. Sebab, seringkali petasan dimainkan ditengah-tengah jalan sehingga menyebabkan jalan menjadi macet. Suasana lebaran yang mulanya tenang dan damai, akan tetapi menjadi berantakan dan rusuh ketika ada petasan.

Yang lebih parah lagi, lebaran dijadikan sebagai ajang untuk melakukan kemaksiatan. Banyak dari pemuda yang notabene muslim melakukan tindakan yang tidak sesuai dengan nilai-nilai agama. Seperti minum-minuman keras, bermain di diskotik, bahkan perkelahian sekalipun. Sebenarnya, mereka tahu bahwa tindakan demikian sangatlah dilarang agama. Akan tetapi, tidak ada kesadaran dan kurangnya pendidikan moral yang menyebabkan mereka berbuat seperti itu.

Harus diketahui, lebaran bukanlah waktu untuk bersenang-senang semata. Akan tetapi, selain dianjurkan merayakan hari raya, kita juga harus mampu mewarnai hari itu dengan cara berbuat dan beramal shaleh. Sangat menyayangkan bahkan merugi jika masih ada umat Islam yang melakukan perbuatan yang tidak bermanfaat ketika lebaran. Lebih parah lagi jika berbuat maksiat yang bisa merugikan diri sendiri dan juga masyarakat sekitar.

Untuk itu, kiranya perlu bagi umat Islam untuk mengetahui dan memahami hakikat Idul Fitri. Apabila hal itu terjadi, maka mereka akan pahan dan mengerti apa yang harus dilakukan demi menciptakan keindahan hari raya. Lebaran merupakan saat tepat untuk menata kehidupan yang lebih baik. Dan yang tak kalah penting, dalam konteks ini, peran pemeritah juga sangat dibutuhkan. Pemerintah harus mampu menjaga kemanan dan ketertiban masyarakat di saat hari raya. Yaitu, dengan cara mengerahkan dan menggerakkan kepada seluruh aparat kepolisian agar bekerja sebagaimana mestinya. 

Dengan demikian, maka akan tercipta lebaran yang aman, damai dan tentram, serta bebas dari berbagai bentuk kerusuhan. Wallahu a’lam bi al-shawab. (Mukhlisin, Aktivis GP Anshor)             


Terkait