Opini

Memandang Masa Datang Indonesia

Selasa, 11 April 2017 | 04:26 WIB

Oleh Gumilar Rusliwa Somantri
Masa datang Indonesia dalam perspektif "long-duree" merujuk pada keadaan prediktif negeri ini di tahun 2045. Kondisi Indonesia di tahun tersebut dapat diteropong dari tiga skenario: optimistik, pesimistik dan realistik.

Secara optimistik, Indonesia diprediksi akan menjadi salah satu negeri terpenting dunia. Negeri ini akan masuk kategori maju, makmur, aman, dan berpengaruh di dunia. Beberapa analis dan lembaga kajian meramalkan Indonesia akan menjadi negeri keempat di dunia dari segi kekuatan ekonomi, setelah China, India,  dan AS. PDB Indonesia diduga akan mencapai 15 ribu trilyun dolar AS. Dengan GNP di atas 17 ribu dolar AS. Dengan postur seperti itu, dipastikan Indonesia menjadi salah satu subjek kunci dinamika peradaban dunia. Hal tersebut, tidak terlepas dari sampai sejauh mana Indonesia berhasil  dalam memanfaatkan potensi sumber daya manusia, menata berbagai segmen kehidupan bernegara, serta merespon secara tepat dan produktif tekanan eksternal.

Dalam pandangan yang pesimistik, gambaran di atas sebaliknya. Karena negeri ini mungkin tidak berhasil dalam mengelola dan menyelesaikan  persoalan serta potensi destruktif, baik dari dalam maupun luar, maka  NKRI akan pupus dalam sosok Nusantara yang terpecah belah. Masing-masing negara dikendalikan kekuatan patron asing. Mereka menjadi negara-negara kecil berperan sebagai daerah belakang produksi ekonomi metamorfosis "kapitalis" dunia. Sudah barang tentu penduduk miskin akan semakin besar jumlahnya di semua pulau. Sementara itu, kesenjangan sosio-ekonomis akan ditunjukkan oleh parameter sangat ekstrim. Dan cocok dengan penggambaran di atas adalah kemungkin kawasan akan ditandai merebaknya konflik horisontal, persinggungan eksplosif di perbatasan, dan rentannya keamanan pelayaran laut.

Kalangan realis meneropong Indonesia di masa datang dan menemukannya dalam format yang tidak beranjak jauh dari kondisi sekarang. Negeri ini hanya beringsut sedikit dan naik ke peringkat lebih atas, namun tidak signifikan. Karena negeri ini larut dalam tabuhan gendang aneka kepentingan dari dalam maupun luar. Negeri berpenduduk besar ini akan menjadi ladang subur bancakan pasar negara-negara utama dunia dan secara sosial dan ekonomi kurang kuat kedaulatannya.

Menelisik tiga skenario di atas, tentunya kita mengharapkan pencapaian Indonesia mendekati prediksi optimistik. Namun demikian hal tersebut tidaklah mudah untuk diwujudkan, mengingat negeri seribu pulau jelita ini disungkup berbagai persoalan dan tekanan, baik dalam maupun luar negeri secara berbarengan dan dalam intesitas yang luar biasa kuatnya.

Paling tidak kita menemukan empat titik krusial di dalan negeri untuk dicermati. Pertama adalah fenomena korupsi yang menggurita, sistemik, serta dibarengi dengan terjadinya banalisasi nilai dasar terkait penolakan akan hal tersebut. Hal ini terjadi di tengah-tengah fakta bahwa upaya pemberantasan korupsi yang kini tengah berlangsung bersifat ambigu. Ia di satu sisi menunjukan beberapa sukses yang mencengangkan sekaligus melegakan. Namun karakter tumpul ke atas dan tajam ke bawah relatif terbaca. Ia sepertinya masuk pada fase menelusuri lorong-lorong pandora kekuatan politik yang saling menyandera dan terkunci oleh hantu masa lalu. Sehingga hal tersebut bersifat tebang pilih dan tidak menyisakan perspektif orientasi masa datang yang penting dalam upaya menumbuhkembangkan nilai, perilaku, dan budaya anti korupsi yang kokoh serta melembaga. Sementara itu praktek penegakan hukum sudah merambah jauh dari jual-beli dan ijon perkara ke intervensi substansi peraturan. Hal-hal di atas akan menjadi rantai raksasa pembelenggu langkah bangsa dan negara untuk maju ke depan.

Sementara itu, persoalan kedua, jebakan labirin ketergantungan terhadap ekonomi sumber daya alam membutakan upaya bangsa akan peningkatan kapasitas kreatif sumber daya manusia. Sehingga kita tertatih-tatih berjalan untuk dapat mencapai daya kompetisi guna menangkap peluang pergerakan sosial ekonomi dunia yang semakin horisontal, real-time, dan super praktis. Dalam kaitan ini, paradigma pengembangan negara di atas mengarahkan pembangunan pendidikan dan budaya riset masih sebatas ornamen politik konstitusional belaka.

Ketiga, adalah merebaknya radikalisme kiri dan kanan. Sementara itu, kekuatan tengah mengalami disorientasi identitas dan karakter dasar ideologis  dan praksis karena tergerus arus pragmatisme politik bahkan ekonomi. Keutuhan negeri, dengan demikian,  ibarat ladang gembur di lahan miring. Diterpa hujan sedikit akan mudah longsor dan luluh lantak.

Problematik penekan lain adalah kesenjangan sosial yang tinggi diantara kelompok masyarakat. Gini rasio kita masih dikisaran 0,4. Sementara itu penguasaan tanah bersifat maldistributif. Sekitar 70 persen tanah dikuasai kurang dari 1 persen penduduk. Konon jumlah nilai kekayaan 100 orang terkaya kita, baru dapat diimbangi jika ada 325 juta keluarga miskin yang kekayaannya digabungkan. Struktur masyarakat yang hyper disparitik di atas adalah kontraproduktif bagi dibangunnya sebuah rumah negara yang ditandai oleh hadirnya kebahagiaan yang merata dari warga negara. Dahaga berkah struktural mayoritas penduduk tidak mampu terpuaskan karena kurang tegaknya keadilan dan meranggasnya pohon kesejahteraan riil seperti diwakili oleh abadinya wajah kemiskinan bagi sebagian warga negara.

Terakhir, adalah persoalan terkait ancaman proses penghancuran generasi bangsa secara masif melalui badai "candu" yang bertiup dari berbagai arah. Masuknya barang haram ke negeri ini, berupa aneka jenis narkoba dalam jumlah berton-ton, adalah indikasi nyata dari hal tersebut. Selain  nafsa juga generasi muda kita kini tengah disapu gelombang negatif dari intrusi digital yang tidak produktif. Selain sisi positifnya, gaya hidup digital mengarahkan mereka menjadi nokturnal, kurang gerak, tidak sehat, minim sosialisasi, banyak kehilangan waktu produktif, dan disergah disorientasi nilai. Fenomena di atas sangat merisaukan. Dan ia mampu memupus semua mimpi yang dirangkum dalam konsep bonus demografis. Berkah demografi bangsa dengan ditopang kehadiran tenaga kerja produktif lebih 150 juta orang, akan sia-sia seperti angin yang berlalu di tengah terik matahari.

Persoalan internal di atas berkelindan dengan hadirnya tekanan dari luar negara dan global. Hal ini merujuk pada tiga hal yang penting, namun jarang dibicarakan secara integral, holistik, dan komprehensif.

Pertama, secara geopolitik, geospasial dan geoekonomi, Indonesia bak buah ranum yang membuat kekuatan-kekuatan besar tidak mungkin tak meliriknya. Sumber daya alam yang luar biasa kaya, penduduk yang besar, dan kawasan yang luas tersebut merupakan daya magnet tersendiri. Ketiga faktor itu yang membuat mereka berebut untuk hadir,  secara laungsung atau tidak berperan sebagai kekuatan "meta invisible hands". Sudah barang tentu langkah-langkah mereka akan dirasakan aroma dan getarannya secara politik, hukum, ekonomi, dan budaya serta mengancam berbagai lini kedaulatan negara. Dalam hal ini,  pertahanan dan keamanan negara menjadi hal yang terguncang langsung dengan hadirnya perang proksi dan asimetrik di banyak front-front yang genting dan penting, dari kehidupan bernegara dan berbangsa.

Kedua adalah fakta semakin bergesernya bandul kemajuan sosial-ekonomi dunia global ke kutub Asia Timur. Negara penting seperti China, Jepang, Korea dan dan India terus berbenah untuk menyongsong era ini. Diantaranya mereka mempersiapkan diri untuk memasuki era energi kinetik yang ditopang oleh hadirnya terobosan menakjubkan di bidang teknologi baterei sebagai sarana penyimpan energi yang dahsyat. Kehadiran banyak "ghost cities" di China, diantaranya kota ordos,  ditenggarai sebagai persiapan bersifat curi start bagi menyongsong era energi kinetik masa datang. Konon Jepang telah rampung menyiapkan turbin raksasa dilengkapi baterei penyimpan, untuk menangkap energi dari badai siklun. Sekali badai tersebut tertangkap turbin, Jepang akan mempunyai cadangan energi yang tersimpan dalam baterei yang dapat dipergunakan untuk memenuhi energi dalam negeri secara jangka panjang. Terobosan mereka di atas mengarahkan kita pada penggambaran sosok kekuatan ekspansif mereka yang hebat di berbagai bidang.

Ketiga, di tingkat global akan terjadi pergeseran identitas budaya dan batas-batas sosiologis yang melampaui penggambaran  geografis yang ada. Misalnya Eropa, AS, China, dan Rusia akan semakin heterogen dan multikultur. Sementara negara-negara di Asia Tenggara akan semakin kompatibel dengan perkembangan global. Namun ancaman benturan peradaban masih membayang jelas. Sehingga Indonesia akan merasakan sebuah tarikan dan tuntutan untuk meredefinisi Identitas, karakter, dan orientasi sosio-kultural menuju format yang lebih bertumpu pada ide-ide dasar, kemanusian, kemasyarakatan, dan kebangsaan yang universal. Proses menjalani anomie hingga menemukan pijakan nilai yang kokoh akan menguras banyak energi dan ditandai banyak riak sosio-kultural dan politik.

Apa yang seyogyanya perlu bersama-sama dilakukan oleh bangsa dan negara Indonesia dalam upaya memastikan di masa datang kita mampu meraih pencapaian mendekati skenario yang optimistik?

Tampaknya bangsa ini perlu bersegera dan sistimatik untuk mengkonsolidasikan diri di banyak bidang kehidupan. Misalnya penegakan hukum perlu dilakukan secara konsisten dan mewadahi keadilan yang tanpa pandang bulu. Hal ini penting untuk menjamin terciptanya hukum sebagai panglima. Simpul-simpul kebangsaan, dengan demikian akan direkatkan secara kokoh selain oleh terbangunnya kesejahteraan, juga oleh keadilan.

Tidak kalah penting dari hal tersebut di atas adalah mendesak untuk dikembangkan pemberantasan korupsi dengan perspektif ke depan. Strategi ini akan memutus mata rantai rumit dari praktek korupsi saat negara membuat amnesti masa lalu dan menentukan titik nol sebagai pijakan baru untuk melangkah ke masa datang.

Strategi yang tidak kalah penting untuk dilakukan adalah tekad bulat dan langkah nyata untuk meninggalkan  paradigma ekonomi berbasis sumber daya alam dan masuk ke era yang lebih mengedepankan keunggulan sumber daya manusia, teknologi, dan ilmu pengetahuan. Tentunya hal ini akan mengarah pada perancangan ulang sistem pendidikan, riset, termasuk di dalamnya pengembangan inovasi teknologis dan ilmu pengetahuan. Pendidikan yang memberi ruang tumbuh suburnya nalar kritis, kreativitas, inovasi, dan nilai-nilai kesetaraan dan demokratis adalah mutlak diperlukan.

Sementara itu, genderang perang melawan radikalisme kiri dan kanan perlu ditabuh dengan riuh rendah agar keutuhan negara secara vertikal dan horisontal dapat dikelola dengan baik. Hal ini tentu semakin cantik dengan dibarengi langkah untuk mengurangi jurang kaya dan miskin melalui reforma agraria, pemberdayaan ekonomi kerakyatan, memperkuat peran negara di bidang-bidang kehidupan yang menyangkut hajat hidup orang banyak melaui kebijakan imperatif. Dalam kaitan dengan hal tersebut, adalah vital kita membangun keterjalinan sinergis dari semua  titik dari mata rantai hulu-hilir kegiatan ekonomi yang mampu memberi imbas positif pada lapisan marjinal masyarakat yang ikut dilibatkan di dalamnya.

Sementara itu, upaya membangun kedaulatan negara di berbagai bidang adalah sebuah keharusan yang tidak bisa ditawar. Misalnya kedaulatan geospasial, pangan, energi, ekonomi, budaya dan politik perlu diperkuat secara simultan agar kita kokoh dalam menghadapi berbagai guncangan. Sementara itu penghancuran generasi baru perlu ditangani dengan sungguh-sungguh, melibatkan  tanggung jawab penuh berbagai lembaga dan kalangan.

Kedaulatan saja tidak cukup, namun perlu juga kita mempersiapkan hadirnya masa datang yang penuh kejutan teknologis. Perlu dirumuskan sebuah desain cermat dan realistik untuk ikut menyongsong lahirnya era energi kinetik, digital generasi masa datang. Hal tersebut tentu perlu digandengkan dengan penguatan karakter bangsa yang mampu bertahan dari gerusan pergeseran global. Dan hal tersebut ditopang oleh langkah-langkah sistematik menyelamatkan generasi bangsa dari kehancuran.

Penulis adalah guru besar sosiologi Universitas Indonesia


Terkait