Opini

Mengantarkan Cita-Cita para Santri

Kamis, 13 April 2023 | 14:00 WIB

Mengantarkan Cita-Cita para Santri

Santri tidak melulu diproyeksikan untuk menjadi kiai. Lulusan pesantren bisa menjadi apa saja dengan satu tujuan: bermanfaat bagi orang lain. (Foto ilustrasi: Kemenag/Elik Ragil)

Ada satu pemahaman lama yang mungkin hingga kini masih tertanam dalam benak sebagian masyarakat Indonesia bahwa santri disiapkan menjadi seorang kiai.


Ada sebuah kisah nyata yang mungkin layak menjadi renungan kita bersama. Seorang santri dari sebuah pondok pesantren mencoba melakukan seleksi pendaftaran menjadi anggota TNI telah dinyatakan lulus. Akan tetapi karena tidak mendapatkan persetujuan dari orang tuanya sebab dianggap tidak cocok bagi sang anak yang notabenenya seorang santri untuk menjadi anggota membuat sang anak tidak melanjutkan proses tersebut.


Kisah di atas menyiratkan bahwa pemahaman lama mengenai santri harus menjadi kiai masih melekat kuat di sanubari sebagian masyarakat kita.


Pemahaman ini tidak sepenuhnya keliru. Akan tetapi juga tidak seluruhnya benar. Mengapa? Sebab pada dasarnya lulusan pesantren tidak harus menjadi kiai atau tokoh agama. Hal yang paling pokok adalah mereka setelah lulus dari pesantrennya dapat memberikan manfaat bagi umat manusia. Hal ini sebagaimana sabda Nabi Muhammad saw: sebaik-baiknya umat adalah orang yang bermanfaat bagi sesamanya.


Sebuah pesan dan nasihat kiai yang memiliki nilai filosofis adalah ungkapan: santri harus bisa menjadi paku. Konon, nasihat ini berasal dari petuah KH Abdul Karim, pendiri Pondok Pesantren Lirboyo Kediri kepada para santrinya. Nasihat dengan kalimat sederhana tersebut memiliki makna yang cukup mendalam. Paku yang salah satunya memiliki fungsi sebagai perekat dan penguat sesuatu seperti kayu akan berfungsi dengan cara diketuk dengan alat pemukul. Artinya, paku berfungsi menyatukan satuan-satuan kayu. Dengan mengambil makna dari fungsi dari paku tersebut, nasihat KH Abdul Karim hendak menegaskan bahwa seorang santri harus siap menjadi perekat masyarakat yang homogen di satu sisi, dan siap diperlakukan secara kasar sekalipun di sisi lain.


Sebagai lembaga pendidikan yang lahir jauh sebelum Indonesia merdeka, peran dan kiprah santri-santri pondok pesantren bagi masyarakat dan bangsa ini sangat nyata. Misalnya peran mereka dalam ikut terlibat aktif dalam proses perlawanan terhadap penjajah untuk merebut kemerdekaan merupakan bukti kehadiran dan kontribusi penting para santri bagi negeri ini.


Selain mendapatkan materi pelajaran yang diajarkan dalam satuan kurikulum pesantrennya masing-masing, santri pondok pesantren juga dibekali pendidikan karakter yang cukup. Dengan bekal tersebut, santri diharapkan siap dan mampu berkiprah dan ditempatkan di mana pun. Ini merupakan salah satu kelebihan pondok pesantren dibanding pendidikan lainnya.


Dengan modal keilmuan dan mental kuat yang dimilikinya santri memiliki harapan besar untuk dapat meniti karier dan berkiprah di masyarakat. Rekognisi kelembagaan pesantren oleh pemerintah melalui regulasi penyetaraan ijazah bagi unit pendidikan di pondok pesantren menjadikan peluang santri sama belaka dengan murid-murid di lembaga pendidikan lain.


Dengan regulasi yang kemudian menjadi UU Pesantren tersebut, pemerintah Indonesia telah memberikan peluang yang besar bagi santri-santri berprestasi untuk dapat melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Santri bisa menjadi dokter, saintis, dan beragam profesi lainnya sesuai dengan minat dan bakat yang dimilikinya.


Salah satu program pemerintah yang diharapkan dapat menyalurkan minat dan bakat para santri adalah Program Beasiswa Santri Berprestasi (PBSB). Program tersebut dirancang untuk memberikan peluang yang lebih luas bagi lulusan satuan pendidikan yang terintegrasi dengan pondok pesantren untuk mengembangkan minat bakat dan penguasaan disiplin keilmuan serta dalam rangka pengabdian kepada pondok pesantren.


Untuk itu, terbukanya peluang bagi para santri untuk dapat merengkuh keinginan dan cita-citanya di masa yang akan datang harus bisa dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya.


Waryono Abdul Ghofur, Direktur Pendidikan Diniyah dan Pondok Pesantren Kemenag RI