Akhir-akhir ini kita turut prihatin melihat fenomena mudahnya orang membagikan kabar yang belum jelas kebenarannya. Melihat sepotong foto dengan sedikit caption atau bahkan beberapa baris tulisan saja, langsung diyakini bahwa itu adalah suatu kebenaran. Padahal, sekurang-kurangnya, tak ada nama penulis sebagai penanggungjawab dan dari mana sumber berita itu.
Contohnya adalah kabar kecelakaan yang menimpa Rais Aam PBNU, KH Miftachul Akhyar beberapa waktu lalu. Banyak sekali orang, terutama warga NU, yang membagikan foto dengan hanya sedikit caption. Ada juga yang hanya membagikan beberapa baris kabar itu, tanpa menulis sang pengirim kabar. Untungnya, kemudian beberapa media, termasuk NU Online, mengonfirmasi berita itu sehingga tak menjadi kecemasan dan kesimpangsiuran massal.
Terakhir, Kamis (19/8) kemarin beredar di grup WA berita palsu (hoaks) wafatnya Ibu Nyai Hj Sinta Nuriyah, istri mendiang Gus Dur. Tulisan yang berupa tiga kalimat itu menyebar secepat kilat. Untungnya, media NU Online langsung mengonfirmasi kepada sumber yang terpercaya. Betapa kejam si pembuat berita palsu itu. Apakah pula orang yang membagikannya? Mari kita menimang-nimang sendiri, bagaimana jika kabar semacam itu menimpa kita atau orang yang kita cintai?
Bijak dalam Bermedia
Dampak dari berita palsu atau bahkan fitnah yang menyebar itu bisa sangat luar biasa. Lalu pertanyaannya, bagaimana agar kita bisa kritis dan tak mudah membagikan berita? Berikut ini adalah tips, setidaknya menurut saya, agar tak termakan hoaks dari orang-orang yang tak bertanggung jawab.
Agar mudah, kita bisa meminjam sedikit teori dari Ilmu musthalah hadits dan jurnalistik. Kita diajarkan untuk setidaknya kritis dalam tiga hal ketika menerima dan membagikan kabar, yaitu matan (redaksi), rāwi (periwayat, dalam hal ini penulis) dan sanad (transmisi, dalam hal ini sumber). Berita atau tulisan, idealnya mengandung ketiga unsur ini, tidak boleh tidak.
Pertama, redaksi. Redaksi sebuah berita, dalam ilmu jurnalistik minimal memuat 5W+1H, yaitu what, why, when, who, where, dan how. Jika tak memuat unsur ini, tentu sebuah berita dikatakan kurang lengkap. Hoaks ibu Sinta di atas hanya memuat dua unsur: “apa?” dan “siapa?,” sehingga sangat tidak memenuhi kaidah berita. Perlu hati-hati jika kita menemukan berita yang tak ada pedoman penulisan berita wartawan di atas.
Selain itu, hampir tak mungkin jika ada sebuah peristiwa besar tidak dimuat di media nasional. Di hari-hari yang lalu, terutama di musim politik, kita banyak menemukan berita wafatnya seorang tokoh nasional, namun hanya ada di grup WA, tak ada koran maupun media mainstream yang memberitakan.
Masih terkait dengan redaksi, hoaks juga biasanya ditulis dengan bombastis dan asal-asalan, meski ada juga yang menyerupai berita asli. Namun kebanyakan ditulis emosional, dengan tujuan provokatif: agar yang membaca segera membagikannya. Semakin banyak kita membaca berita dari sumber yang terpercaya, baik buku, koran maupun media online, kita akan semakin bisa membedakannya.
Kedua, periwayat atau penulis. Periwayat ini penting, baik dalam penulisan artikel maupun berita. Di koran atau media online, kebanyakan penulis berita memang ditulis dengan kode di akhir tulisan, tidak dengan nama lengkap. Tetapi dalam hal ini, NU Online menulis dengan lengkap siapa kontributor beritanya. Adapun artikel atau esai, semua media yang terpercaya tentu mencantumkan nama penulisnya, sebagai bentuk pertanggungjawaban.
Hampir tak ada berita hoaks yang mencantumkan siapa penulis berita itu. Kalaupun ditulis tentu dengan nama palsu atau samaran yang aneh. Semacam sudah menjadi watak, ketika orang ingin berbohong ia tak mau menyebut namanya, seperti pepatah lempar batu sembunyi tangan. Meski demikian, ada juga orang yang membagikan berita atau tulisan dengan menghilangkan sumber atau penulisnya, mungkin agar dikira dialah orang pertama yang mengabarkan itu. Ingin mendapat semacam apresiasi atau pujian orang dari hal yang tak dilakukannya.
Ketiga, sumber. Sumber menjadi penting bagi kita dalam mengakses maupun membagikan berita. Sumber, secara sederhana, di media ada dua: resmi dan tidak resmi. Sumber resmi adalah sumber yang mengacu kepada media yang bersangkutan. Misalnya, sumber resminya Kementerian agama bisa kita akses di website kemenag.go.id atau media sosialnya. Berita resmi NU bisa mengacu kepada NU Online, www.nu.or.id dan media sosialnya.
Selain sumber resmi, ada juga media yang tak resmi. Misalnya, berita yang ada di koran dan website milik perusahaan media. Ada banyak media yang terpercaya di Indonesia, seperti kita ketahui bersama. Meski bukan media resmi, karena sudah diikat dengan kode etik jurnalistik, media-media itu menulis dan mengonfirmasi berita dengan hati-hati, tidak asal-asalan. Pun demikian di NU, ada begitu banyak media terpercaya yang dibangun secara mandiri. Mereka juga menulis dengan kaidah-kaidah jurnalistik yang bisa dipertanggungjawabkan. Kita bisa memperoleh berita dari media-media itu, yang kemungkinan salahnya jauh lebih sedikit.
Dengan ketiga teori di atas, saya kira menjadikan filter dalam bermedia. Sebagai tambahan, saya ingin mengingatkan kita bersama, firman Allah SWT yang dikutip Gus Reza Lirboyo ketika menjelaskan tentang tabayun, beberapa waktu lalu.
“Wahai orang-orang yang beriman! Jika seseorang yang fasik datang kepadamu membawa suatu berita, maka telitilah kebenarannya, agar kamu tidak mencelakakan suatu kaum karena kebodohan (kecerobohan), yang akhirnya kamu menyesali perbuatanmu itu.” (QS. Al-Hujurat: 6)
Jadi, kembali kepada judul tulisan ini, mengapa orang mudah percaya dan membagikan berita bohong? Jawaban persisnya tentu saya tidak tahu. Perlu penelitian atau survei secara ilmiah untuk menjawabnya. Tetapi kalau saya boleh menduga, mungkin karena kurang memperhatikan ha-hal di atas. Semoga kita bisa lebih berhati-hati dalam mencerna dan membagikan berita, agar tak berdosa lalu menyesalinya. Meminjam istilah Bung Mahbub Djunaidi, "jangan asal suap dan asal telan, nanti ketulangan."
Ahmad Naufa Khoirul Faizun, kontributor NU Online, pengamat media sosial