Suasana lalu-lalang jamaah haji di Mina yang menuju dan pulang dari jamarat, Rabu (28/6/2023) malam.
Hakikat haji, setidaknya dalam perspektif filosofis, adalah manifestasi cinta, pengorbanan, dan kesetiaan. Tiga hal ini, seakan menjadi penyangga haji yang esensialitas. Seperti dalam bangunan segitiga sama sisi, yang satu tidak akan kuat dan bermakna tanpa dua sisi lainnya. Tiga sisi di atas, ilustrasi dari konstruksi hakikat haji secara kualitatif.
Dalam tradisi Islam, tak berlebihan manakala haji diletakkan sebagai "ibadah puncak". Ibadah yang memerlukan pelbagai kesiapan prinsipil baik material, mentalitas, moralitas, spiritualitas, bahkan integrasi totalitas-loyalitas dari dan untuk kehambaan. Dari perspektif ini, "istitha'ah" menemukan ruang aktualisasi-produktifnya.
Bagi siapa saja yang hendak tunaikan ibadah haji, niscaya wajib menelusuri, menyelami, menginternalisasi nilai, spirit, dan urgensitasnya. Mulai dari urgensitas pada aspek fiqih, sosiologi, teologi, tasawuf dan kefitrahan diri. Tanpa pembekalan cukup dalam konteks ini, bisa-bisa berhaji hanya menjadi semacam "wisata," "model traveling," dan "tour tuna-religiusitas." Kalau ini yang terjadi, pelan tapi pasti, berhaji tidak akan beda dengan "laku kapitalisasi" yang dikemas atas nama agama.
Cinta dan Pengorbanan
Meminjan pembahasan Erich Fromm dalam The Art Loving, setidaknya ada dua kategori terkait cinta. Pertama, ada cinta untuk dicintai. Ini cinta yang standar. Cinta yang diakui atau tidak, sedikit-banyak meminta balas budi. Cinta penuh "tuntutan" atau sarat "timbal balik" meski dari beberapa aspek. Cinta yang terbilang agak-agak "materialistik" dan (mungkin) parsialistik. Cinta yang minta selalu dicintai.
Kedua, cinta edukatif, empatik-transformatik. Cinta untuk meraih esensi cinta itu sendiri. Cinta yang menjauhkan diri dari "tuntutan" atau "timbal balik" atau "balas budi." Cinta yang orientasinya hanya demi wujud cinta tanpa tendensi lain. Cinta universalistik. Cinta yang benar-benar hanya untuk mencintai. Cinta yang mau diperhatikan, disahutin dan dibalas atau tidak, tetap mencintai sepenuh hati sekaligus rindu.
Kedua kategori cinta di atas, bukan hal yang lepas dari nalar maupun nilai fundamental sekaligus substansial. Semua tetap membutuhkan aktualisasi kerja-kerja prinsipil sebagai manifestasi pengorbanan tersendiri. Mengambil cinta kategori pertama maupun kategori kedua, tak cukup berpasrah ria. Sebab cinta adalah "bentuk kerja" visioner berbasis kasih dan rindu.
Cinta tanpa basis kasih dan rindu, hanya akan mudah meletupkan pragmatisme, materialisme dan hedonisme. Cinta yang bisa menyeret tiap diri masuk perangkap ambiguistik. Ia akan menjadi cinta "kering" dan tak konstruktif. Cinta yang sering lepas dari tali dan lapisan humanistik-religiustik. Cinta paradoksal.
Cinta tipe ini, akan sedikit dangkal memaknai pengorbanan. Cinta yang mengukur pengorbanan dengan kacamata fisik belaka. Tidak menempatkan kerja-kerja non-fisik sebagai bagian inheren di dalamnya. Cinta yang dalam bahasa filosof tertentu, menepikan diri dari "keterpanggilan" berkehambaan. Cinta yang kadang membawa "beban" dari pada "meniupkan solusi."
Baca Juga
Ketika Kiai Hasyim Haramkan Ibadah Haji
Keteladanan Cinta
Eksistensi Nabi Ibrahim, Nabi Ismail, dan Siti Hajar, apapun perspektif yang dipakai, merupakan modal, model, dan wujud keteladanan cinta makhluk kepada Allah SWT. Ini yang menjadi konstruksi luhur ibadah haji selama masa. Cinta atas nama kasih, rindu, dan pengorbanan sekaligus. Perpaduan keteladanan cinta bergamis sosio-kehambaan integratif-universalistik. Sehingga jutaan manusia beriman tiada henti mendambakan dapat tunaikan ibadah haji.
Dengan menunaikan ibadah haji secara baik, benar, dan penuh keteladanan cinta, maka tiap diri akan ringan membawakan hati dan jiwanya. Tiap diri akan memafhumi urgensi pengorbanan dari dan untuk keteladanan cinta. Tidak akan cepat tergoda hal-hal berbau "tendensi-duniawiyah," atau menyeretkan diri ke pusaran perilaku beragama yang kontradiktif-materialistik.
Kualitas pengorbanan atasnama kecintaan dan kerinduan, ikut menentukan kadar kemabruran berhaji. Menunaikan umroh wajib sebelum berhaji, tawaf, sai, tahalul, bahkan "menghadir-utuhkan diri" di hadapan Allah SWT selama ritual Arofah, Muzdalifah, dan Mina, selalu membutuhkan pengorbanan berbasis cinta, kasih, dan rindu. Pengorbanan yang tentu tidak akan sebanding dengan yang diteladankan Nabi Ibrahim, Siti Hajar, dan Nabi Ismail. Namun itulah pengorbanan yang seyogiyanya ditransformasikan penuh spirit jihadi (QS. Al-Hujurat : 15, QS. Al-Kahfi : 110)
Bertolak dari semangat dan laku pengorbanan luhur dimaksud, masing-masing diri hamba yang menunaikan ibadah haji, sebetulnya hendak dijauhkan dari kecenderungan tata ritual yang destruktif. Sebab ibadah haji merupakan kejuangan lahiri-batini yang dibaluri cinta, kasih, rindu, dan pengorbanan fisik-nonfisik hatta psikologis. Apalagi kemabruran haji, dalam perspektif teologis, tiada lain adalah perjuangan "merapikan" egoisme diri, baik selaiknya manusia sekaligus khalifah Allah SWT itu sendiri.
Masmuni Mahatma, Ketua PWNU Kepulauan Bangka Belitung