Ketika masjid didorong untuk dibuka kembali di tengah pandemi, akan muncul beberapa permasalahan yang harus diantisipasi.
Dalam hari-hari terakhir ini, wacana pemberlakuan new normal (kenormalan baru) sudah meluas menjadi diskusi publik khususnya di antara warganet setelah Presiden Joko Widodo gencar mewacanakan hidup new normal atau berdamai dengan virus Corona di waktu mendatang (cnbcindonesia.com, 27 Mei 2020). Jadi pada dasarnya yang dimaksud dengan new normal adalah kita menjalani hidup secara normal berdampingan dengan virus Corona tanpa mengabaikan adanya potensi besar ancaman yang ditimbulkan oleh virus tersebut.
Hal ini berarti meski ada ancaman wabah virus Corona kita harus tetap beraktivitas sehari-hari secara normal sebagaimana sebelum merebaknya virus ini dengan tetap memperhatikan protokol kesehatan virus Corona, yakni mempraktikkan gaya hidup sehat dengan sering-sering mencuci tangan memakai sabun dan air mengalir, mengambil jarak dengan orang lain minimal 1 meter, memakai masker, dan seterusnya.
Kebijakan new normal ditempuh setelah kebijakan stay at home (tinggal di rumah) selama lebih dari dua bulan berdampak pada melemahnya ekonomi masyarakat yang pada akhirnya juga akan mengancam perekonomian negara karena sumber keuangan negara berasal dari kegiatan ekonomi warganya. Jika kegiatan ekonomi masyarakat tak segera dipulihkan, hal ini akan sangat berbahaya bagi negara karena negara bisa ambruk ketika tak lagi mampu membiayai seluruh aspek yang menyangkut hajat hidup warganya yang menjadi tanggung jawab negara.
Oleh karena itu, kebijakan new normal akan dimulai dengan melonggarkan kebijakan terkait mobilitas warganya. Jika selama dua bulan lebih banyak ruang publik yang ditutup atau dihentikan aktivitasnya, maka disebut-sebut mulai 1 Juni ruang-ruang publik itu akan dibuka kembali agar masyarakat bisa hidup secara normal. Diharapkan dibukanya ruang-ruang publik akan menggerakkan kembali kegiatan masyarakat di bidang apapun. Sudah tentu semua kegiatan masyarakat itu akan memiliki dampak positf terhadap sosial ekonomi secara umum, termasuk kegiatan peribadatan di masjid.
Namun ketika masjid didorong untuk dibuka kembali seperti hari-hari biasa dengan seluruh kegiatannya sebelum ada wabah virus Corona, akan muncul beberapa permasalahan terutama menyangkut daya tampung tempat ibadah ini. Umumnya masjid penuh dengan jamaah ketika dilaksanakan shalat Jumat dan shalat-shalat lain yang menganjurkan berjamaah seperti shalat Idul Adha yang pada tahun ini akan jatuh pada akhir Juli.
Protokol kesehatan virus Corona mengharuskan dilakukannya social distancing antarjamaah dengan jarak minimal 1 meter. Dengan ketentuan ini daya tampung masjid terhadap jamaah akan turun setidaknya hingga 50%. Artinya shalat berjamaah di masjid yang dihadiri oleh banyak orang seperti shalat Jumat dan shalat Id tidak akan bisa menampung mereka sekaligus. Mereka harus dibagi ke dalam dua shift, misalnya, agar social distancing dapat diterapkan dengan baik. Pelanggaran terhadap aturan ini akan membahayakan para jamaah itu sendiri.
Namun permasalahan tidak berhenti hanya sampai di situ. Dalam pergantian antar shift juga berpotensi terjadi kontak fisik antarjamaah (bersenggolan) baik antara jamaah shift pertama dengan shift kedua. Hal ini bisa terjadi saat jamaah shift pertama bermaksud keluar dari masjid melalui pintu tertentu, sementara jamaah shift kedua bermaksud memasuki masjid juga melalui pintu yang sama. Jadi kontak fisik antarjamaah bisa terjadi di antara pintu-pintu masjid.
Untuk mengantisipasi hal itu, perlu diatur sedemikian rupa, misalnya, untuk masuk ke dalam masjid para jamaah harus melalui pintu yang telah ditetapkan. Demikian pula untuk keluar para jamaah juga harus melalui pintu yang ditetapkan. Hal ini untuk menghindari kontak fisik karena adanya arus jamaah shift pertama yang hendak keluar dengan arus jamaah shift kedua yang hendak masuk ke dalam masjid. Intinya adalah pintu masuk dan pintu keluar harus berbeda dan terpisah.
Alternatif lain adalah adanya jadwal waktu untuk masing-masing shift yang intinya mengatur mereka agat tidak bertemu dan membentuk konsentrasi atau kerumunan jamaah di masjid. Maksudnya perlu ada jeda waktu yang cukup untuk menghindari konsentrasi itu terjadi, misalnya, jadwal waktu shift pertama jam 12.00-12.30 WIB. Shift kedua jam 13.00- 13.30. WIB. Jadi ada jeda selama 30 menit untuk memastikan tidak akan ada konsetrasi jamaah yang melanggar aturan social distancing.
Hal lain yang perlu diantisipasi agar tidak ada kerumunan massa sehingga terjadi kontak fisik antrajamaah adalah para jamaah harus membawa serta alas kakinya ke dalam masjid dengan memasukkannya ke dalam plastik sehingga tidak perlu berhenti beberapa lama hanya untuk melepas lalu menaruh alas kaki, atau sebaliknya mengambil kembali alas kaki itu di tempat melepasnya. Hal ini sejalan dengan pernyataan Sekretaris Jenderal Majelis Ulama Indonesia (MUI) Anwar Abbas kepada wartawan di Jakarta, yang mengusulkan agar para jamaah diwajibkan membawa sandal dan sepatu ke dalam (fajar.co.id. 28/5/2020).
Tingkat kerumunan massa yang juga berpotensi tinggi terjadi adalah di tempat wudhu, kamar mandi dan tempat parkir. Potensi tinggi ini bisa dikurangi dengan menganjurkan agar para jamaah masjid sudah menuntaskan urusan buang hajatnya di kamar mandi di rumah sendiri sekaligus menyelesaikan wudhunya di sana. Persoalan parkir kendaraan sepeda motor juga perlu diatur sedemikian rupa agar tidak terjadi kontak fisik langsung antarjamaah. Misalnya dengan memilhakan tempat parkir jamaah shift pertama dan shift kedua.
Jika hal-hal sebagaimana diuraikan di atas diabaikan, tentu akan sangat riskan bagi penularan Covid-19 antarjamaah. Jangan sampai kebijakan new normal justru akan menimbulkan klaster baru penularan virus Corona yang membahayakan kelamatan jiwa para jamaah masjid yang seharusnya diutamakan. Kebijakan new normal dipertimbangkan untuk diterima dengan asumsi bahwa kebijakan lockdown (karantina wilayah) yang terus menerus termasuk PSBB (pembatasan sosial berskala besar) dikhawatirkan akan mematikan kehidupan secara umum, cepat atau lambat, disebabkan terhentinya kegiatan ekonomi.
Harus dipahami bahwa pada dasarnya kegiatan ekonomi adalah upaya memenuhi kebutuhan hidup untuk melanjutkan keberlangsungannya. Jika kebutuhan hidup sudah tidak bisa dipenuhi lagi karena masyarakat terus-menerus terkurung di dalam rumah tanpa kegiatan ekonomi, maka kelaparan akan menjadi ancaman baru dalam skala besar. Masyarakat akan keluar rumah dan saling berebut dengan penjarahan terhadap sumber-sumber makanan untuk survive (bertahan hidup). Jika tidak ada lagi sumber-sumber makanan yang bisa diperebutkan lagi, maka itu menjadi awal dari kehancuran kehidupan secara umum.
Atas dasar pemikiran itu, maka kita dihadapkan pada dua hal yang sama-sama buruk, yakni dampak negatif antara kebijakan lockdown yang berpotensi mematikan kehidupan secara umum dengan berhentinya seluruh kegiatan masyarakat, meski pelan tapi pasti, dengan kebijakan new normal yang berpotensi menimbulkan klaster baru penularan virus Corona yang membahayakan namun masih bisa diantisipasi baik untuk pencegahan maupun penyembuhannya, maka dalam hal ini kaidah fiqih memberikan jalan keluar sebagai berikut:
إذا تزاحمت المفاسد، واضطر إلى فعل أحدها، قدم الأخف منها
Artinya, “Apabila ada dua mafsadat bertentangan, maka yang harus ditinggalkan adalah mafsadat yang mudharatnya lebih besar, dengan melakukan mudharat yang lebih ringan.
Jika kita bandingkan segi mafsadat atau dampak negatif yang ditimbulkan dari kebijakan lockdown dan kebijakan new normal di atas, maka tampak jelas bahwa kebijakan lockdown memilki mafsadat yang lebih besar sehingga kita harus memilih kebijakan new normal karena tingkat mafsadatnya lebih ringan.
Muhammad Ishom, dosen Fakultas Agama Islam Universitas Nahdlatul Ulama (UNU) Surakarta.