Masalah agraria akan menjadi agenda pembahasan penting dalam perhelatan Muktamar Ke-34 NU di Lampung mendatang. Pilihan tema ini sudah tepat, meskipun pada forum-forum muktamar atau munas sebelumnya sempat dibahas.
Ada sejumlah alasan mengapa pembahasan masalah agraria tetap relevan dan mendesak. Pertama, karena agraria masih menjadi masalah strategis negara kita. Fakta ketimpangan, maraknya konflik, dan tumbuhnya silang sengkarut kebijakan agraria (regulasi, data, dll) di Indonesia. Sehingga NU sebagai ormas besar perlu ikut andil dalam memberikan solusi dan berkontribusi untuk pemecaham masalah ini.
Ketimpangan distribusi dan alokasi tanah merupakan masalah krusial di Indonesia. Komite Nasional Pembaruan Agraria (KNPA) menyebut 71% wilayah daratan Indonesia dikuasai oleh korporasi kehutanan, 16% oleh korporasi perkebunan skala besar, dan 7% oleh para konglomerat. Sedangkan rakyat kecil cuma menguasai sisanya.
Ketimpangan lahan ini bukan hanya memperparah kemiskinan dan memperlebar jurang kesenjangan, namun juga memicu konflik di pelbagai wilayah di nusantara. KNPA mencatat, pada tahun 2020 terdapat 241 kasus konflik agraria di 359 daerah di Indonesia dengan korban terdampaknya sebanyak 135.332 kepala keluarga. Perkebunan, kehutanan, dan infrastruktur merupakan tiga sektor dengan jumlah konflik terbesar di Indonesia.
Alasan kedua, banyak Nahdiyin yang bergantung kehidupannya pada sumber-sumber agraria (terutama tanah dan laut). Banyak petani dan masyarakat adat yang mengalami sengketa lahan dengan perusahaan maupun institusi negara, baik yang hidup di area perhutanan, perkebunan, atau pertambangan, mereka banyak yang berafiliasi ke NU. Akan lebih terasa kemanfaatan dan kemaslahatan NU jika ia turut melakukan pembelaan dan perlindungan bagi kepentingan jamaahnya. Tentu saja NU tidak akan diam atau mengabaikan masalah-masalah yang dihadapi oleh umatnya.
Ketiga, pemerintah saat ini sedang menjalankan kebijakan terkait pertanahan (agrarian) dengan beberapa program seperti perhutanan sosial dan bank tanah. Ada proses redistribusi tanah yang dijalankan, namun juga liberalisasi besar-besaran untuk melayani kepentingan investasi.
Kuasa negara atas tanah seringkali dijadikan senjata untuk mencaplok lahan yang sudah digarap oleh rakyat puluhan tahun untuk memenangkan pihak swasta, di tengah situasi tidak beresnya administasi tanah, dan data pertanahan yang tidak pernah dibuka untuk publik. Masalah ini yang sering menimbulkan konflik; rakyat petani kerap mengalami kekerasan, kriminalisasi, dan pelanggaran hak-haknya. Oleh karena itu, NU perlu melakukan pengawalan untuk mendorong transformasi kebijakan agraria yang lebih adil dan membawa kemaslahatan umum.
Ada prinsip dasar yang perlu ditegaskan oleh NU dalam masalah agraria: pertama, prinsip kedaulatan rakyat, di mana rakyat memiliki hak atas tanah sebagai sumber kehidupannya. Dalam konteks ini, pengakuan (rekognisi), perlindungan (proteksi) dan pemenuhan hak (redistribusi) perlu diwujudkan oleh negara (pemerintah).
Kedua, konstitusi sebagai basis moral dan juridis dalam pengelolaan sumber daya agraria, yakni terpenuhinya tujuan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Dalam hal ini, UU Pokok Agraria (UUPA) tahun 1960 yang pernah disusun oleh para pendahulu kita dengan jalan yang demokratis sebagai regulasi untuk mengimplementasikan mandat konstitusi di bidang agrarian perlu dijadikan rujukan utama dalam kebijakan pemerintah ke depan.
Ketiga, prinsip keadilan dalam penyelenggaraan perekonomian nasional, yang menjadi ajaran pokok agama Islam yang dianut dan dikembangkan oleh Nahdlatul Ulama.
Sebagai rekomendasi, dalam hal reforma agraria, NU perlu mendorong pemerintahan Jokowi agar bukan hanya melakukan program sertifikasi, namun berfokus pada penyelesaian konflik serta redistribusi lahan untuk rakyat. Selain itu, pemerintah juga perlu memajukan reforma agraria untuk melindungi serta menghormati hak atas tanah masyarakat kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil.
Hal yang tidak kalah mendasar untuk mengawal agenda reforma agraria di NU, secara internal keorganisasian mutlak dibutuhkan kesolidan antara jam’iyah dan jamaahnya ke depan, dari tingkat atas hingga bawah.
Penulis adalah Manajer Program Jaringan GUSDURian