Opini

Gus Dur dan Reforma Agraria di Indonesia

Jumat, 19 November 2021 | 21:30 WIB

Gus Dur dan Reforma Agraria di Indonesia

Gus Dur dan Reforma Agraria di Indonesia

Beberapa waktu lalu, Menteri Keuangan Sri Mulyani dalam sebuah ceramahnya menyinggung sejumlah praktik peralihan fungsi lahan dari tanah pemerintah menjadi milik swasta dengan contoh kasus di kawasan sekitar wilayah Senayan. Peralihan ini berhasil memicu pertanyaan, bagaimana mungkin hal itu terjadi? Padahal, kawasan tersebut dulu berdasar masterplan yang pernah disampaikan oleh Presiden Soekarno adalah termasuk kawasan milik negara.

 

Secara tidak langsung, hal itu merupakan sinyalemen bahwa ada praktik yang tidak benar dan pernah dilakukan oleh pihak yang berkuasa selepas Bung Karno dalam memediasi peralihan fungsi lahan milik negara menjadi milik pribadi tersebut. Berdasarkan hasil penelusuran oleh jajaran Kementerian Keuangan yang disampaikan oleh Menteri Sri Mulyani, faktor penyebab peralihan itu adalah karena ketiadaan pencatatan dan pengadministrasian dalam bentuk pembukuan terhadap aset-aset tersebut.

 

Secara tegas, Bu Menteri Sri Mulyani menyebut bahwa hal itu telah dilakukan oleh para pejabat era Orde Baru. Bagaimana awalnya kawasan tersebut disewakan dalam bentuk Hak Guna Usaha (HGU) dan tiba-tiba beralih kepemilikan menjadi bersertifikat Hak Milik pribadi, prosedur semua itu tidak dituangkan dalam bentuk nota pembukuan sehingga menjadi sulit untuk dilacak siapa yang menjadi inisiator penyimpangan tersebut melalui penyalahgunaan jabatan dan wewenang.

 

Target pengembalian semua aset negara merupakan bagian dari sasaran kebijakan land reform (reformasi pertanahan/reforma agraria) yang dicanangkan oleh pemerintah duet pasangan Jokowi dan KH Ma’ruf Amin. Namun, karena berbagai kendala, rencana pengembalian aset itu masih belum bisa dilaksanakan secara optimal.

 

Statemen Sri Mulyani  kurang lebih sama dengan pernyataan yang pernah disampaikan oleh almarhum KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) di masa pemerintahannya. Dibanding yang lain, Presiden Gus Dur lebih sering menyampaikan statemen yang out of the box, bahkan bertentangan dengan mainstream kebirokrasian yang cenderung prosedural saat itu.

 

Gus Dur adalah sosok yang dikenal selaku Bapak Bangsa, dan condong dengan sikap lunak dan mengayomi semua pihak, khususnya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Akan tetapi, ketika beliau berbicara mengenai land reform atau reforma agraria, beliau terhitung cukup tegas. Sejumlah pernyataannya telah membuat banyak pihak, terutama pemilik perusahaan perkebunan besar, tidak lagi berada dalam zona aman seperti periode-periode pemerintahan sebelumnya.

 

Salah satu pernyataannya yang pernah dikutip di awal tahun 2001 oleh majalah Gerbang, adalah bahwa 40 persen tanah yang dikuasai oleh perkebunan di tahun itu, dan seharusnya berstatus HGU (Hak Guna Usaha), adalah hasil dari menyerobot tanah rakyat. Oleh karenanya, ketika HGU itu telah usai maka Gus Dur menyerukan agar tanah tersebut hendaknya dibagikan kembali kepada rakyat.

 

Tentu statemen Gus Dur ini bukan tanpa data. Secara historis saja, tanah perkebunan-perkebunan yang saat ini dikuasai oleh PTPN atau BUMN, adalah bagian dari tanah bekas perusahaan-perusahaan Hindia Belanda. Sudah barang tentu, tanah-tanah ini dulunya adalah milik rakyat yang dirampas begitu saja tanpa adanya proses ganti rugi (istibdal).

 

Apa Bukti Perampasan Itu?

Menurut beberapa praktisi hukum, status perampasan ini dapat diketahui dengan mudah berdasar rujukan terhadap kebijakan hukum agraria di masa Belanda. Perangkat hukum agraria masa Belanda adalah Agrarische Wet 1870. Asas yang dianut oleh perangkat ini adalah Domein Verklaring.

 

Domein Verklaring bermaterikan bahwa suatu kepemilikan atas tanah harus bisa dibuktikan melalui sertifikat kepemilikan. Jika ada klaim kepemilikan suatu tanah, akan tetapi tidak bisa dibuktikan legalitasnya lewat surat-surat tanah, maka kepemilikan itu otomatis menjadi milik negara.

 

Sudah barang tentu, kebijakan itu tidak masuk akal, sebab di era 1870-an, mana ada lembaga pencatatan agraria seperti sekarang? Jadi, domein verklaring hanyalah siasat licik pemerintah kolonial untuk merampas tanah milik rakyat atas nama legalitas. Akibatnya, banyak tanah masyarakat tak bersertifikat secara otomatis menjadi milik pemerintah. Dan yang dimaksud dengan pemerintah saat itu adalah Pemerintah Hindia Belanda, dan bukan pemerintah kerajaan setempat.

 

Sebagai konsekuensi pemberlakuan kebijakan tersebut, maka timbul perlawanan-perlawanan masyarakat. Meletusnya Perang Diponegoro adalah bagian dari pemberlakuan asas domein verklaring tersebut, dan puncak perlawanan terjadi saat akuisisi lahan harus menerjang lokasi pemakaman keluarga kerajaan.

 

Berbekal sejarah ini, maka Gus Dur menyuarakan pembagian lahan perkebunan kepada rakyat. Tanah perkebunan itu asalnya adalah milik rakyat maka harus dikembalikan lagi kepada rakyat. Pemerintah Indonesia harus bertanggung jawab terhadap pengembalian hak rakyat itu yang meskipun secara spesifik hak kepemilikan asalnya sudah tidak diketahui asal-usulnya lagi. Ruang toleransi (shuluh) diberikan atas ketidakidealan pengembalian. Ibarat bunyi kaidah fiqih yang menyatakan ma la yudraku kulluhu, la yutraku kulluh (sesuatu yang tidak bisa dilaksanakan seratus persen secara sempurna, jangan pula sampai ditinggalkan seluruhnya). Inilah yang dimaksud dengan toleransi bertanggung jawab (responsible tolerance) itu.

 

Semangat ini sebenarnya sudah disinggung oleh Undang-Undang Pokok Agraria yang dikenal UUPA 1960. Para tokoh yang menyusun UU tersebut telah menyampaikan bahwa agraria adalah bagian dari aset kekayaan negara. Oleh karena itu perlu diatur agar tidak dimonopoli oleh segelintir pihak. Adanya pengusaha yang menguasai lahan sedemikian luas adalah modal dasar pengusutan, sebab hal itu merupakan bagian dari sinyalemen adanya penyalahgunaan wewenang yang merugikan masyarakat. Setiap kerugian meniscayakan tanggung jawab. Ganti rugi sebagai bagian pelaksanaan tanggung jawab, melazimkan perhatian terhadap hak-hak masyarakat yang pernah hilang karena dirampok oleh perusahaan-perusahaan kolonial dan secara tidak langsung dilestarikan oleh para penguasa di era Orde Baru. Wallahu a’lam bish-shawab.

 

Muhammad Syamsudin, Pengasuh Pondok Pesantren Hasan Jufri Putri, Pulau Bawean, Gresik, Jawa Timur; Peneliti Bidang Ekonomi Syariah Aswaja NU Center PWNU Jawa Timur


Artikel ini adalah hasil kerja sama NU Online dan Jaringan GUSDURian untuk kampanye #IndonesiaRumahBersama