Saat ini perubahan sosial-keagamaan semakin cepat. Hal ini berakibat problem yang ditimbulkan juga semakin kompleks sehingga dengan sendirinya, tantangan NU sebagai organisasi sosial keagamaan terbesar di dunia juga mempunyai pekerjaan rumah yang tidak mudah. Apalagi perubahan tersebut disertai kemajuan pesat teknologi informasi dan digital. Dunia dalam genggaman. Seluruh individu, komunitas, kelompok, organisasi, bangsa, dan negara di semua belahan dunia dapat mengakses informasi secara realtime.
Dahulu tradisi, budaya, pemikiran, dan ilmu harus didapat dengan mendatangi langsung seorang guru. Saat ini, dengan gawai (gadget) di tangan, siapa pun bisa belajar lewat transformasi era digital berwujud media sosial, baik tulisan, video, videografis, gambar kartun, maupun gambar kutipan (meme). Bedanya, tradisi lama membentuk sekaligus mampu merawat jalinan masyarakat yang kuat dan kokoh secara keilmuan sehingga bisa membentuk budaya baru, sedangkan tradisi digital membentuk masyarakat virtual yang cenderung individualis.
Namun, melihat realitas sosial saat ini, NU tidak terlalu takjub apalagi kaget. Sebab sedari awal, NU mempunyai prinsip al-muhafadzatu ‘alal qadimis shalih wal akhdzu bil jadidil ashlah (menjaga nilai-nilai tradisi yang berguna buat umat dan mengambil secara selektif terhadap nilai-nilai baru yang lebih berguna untuk umat).
Warga NU (nahdliyin) juga dituntut mempunyai jiwa inovatif di segala lini kehidupan, tak terkecuali bidang sosial dan agama yang selama ini menjadi concern NU. Langkah inovatif ini harus berjalan terus menerus agar NU tetap menjadi subjek (fa’il/produsen), bukan objek (maf’ul/konsumen) di tengah perubahan.
Langkah itulah yang disebut Rais ‘Aam PBNU KH Ma’ruf Amin dengan prinsip al-ashlah ilaa mahuwal ashlah tsummal ashlah fal ashlah (innovative and continous improvement) (Baca Peta Jalan NU Abad Kedua, 2018). Jadi, menjaga tradisi merupakan hal penting, mengadopsi dan selektif terhadap tradisi baru juga langkah yang tidak kalah penting, tetapi tetap berinovasi merupakan langkah yang sangat penting sehingga peran NU sebagai subjek akan konsisten atau istiqomah dalam keaktifan memberi manfaat (maslahah) untuk umat di seluruh dunia.
Konsep Islam Nusantara sebagai sebuah karakter dan tipologi Islam khas di Indonesia juga perlu terus digaungkan. Sebab, nilai-nilai Islam yang dikembangkan oleh para ulama Nusantara dengan jutaan khazanahnya selama ini mampu menginspirasi warga Muslim dunia untuk bisa adaptif dengan tradisi dan budaya lokal, di mana pun Muslim itu berada. Dengan prinsip kemasyarakatan yang dikembangkan oleh NU seperti tawasuth (moderat), tasamuh (toleran), tawazun (seimbang), i’tidal (tegak lurus/adil), dan amar ma’ruf nahi munkar (mendorong kebaikan dan menolak kemungkaran dengan cara yang baik) menjadikan Islam dapat diterima siapa saja. Alasan fundamental itulah yang menjadikan Islam dapat mudah diterima oleh masyarakat lokal Nusantara hingga saat ini Indonesia menjadi negara berpenduduk Muslim terbesar di dunia.
Sebagai organisasi yang terus mentradisikan kitab-kitab ulama klasik (turats) dalam setiap pengambilan hukum, NU juga perlu istiqomah dengan tradisi bahtsul masail-nya. Pembahasan problem-problem aktual keagamaan dalam realitas sosial masyarakat itu selama ini mampu memberikan solusi konkret dalam menjawab perubahan zaman. Artinya, tradisi bahtsul masail merupakan salah satu fondasi penting dan kebutuhan pokok dalam menjawab perubahan sosial-keagamaan di tengah masyarakat.
Dalam hal ini, semangat hasil Musyawarah Nasional (Munas) Alim Ulama NU di Lampung tahun 1992 penting menjadi rujukan, yakni prinsip istinbath jama’iy untuk menghadapi berbagai dinamika masyarakat yang berubah secara cepat. Jika di abad pertama NU (1344 H – 1444 H) telah membuktikan kecerdasan ijtihadnya untuk mempertemukan paham keagamaan dengan paham kebangsaan yang kemudian melahirkan ideologi Pancasila dan NKRI sebagai sebuah konsep kenegaraan yang sudah final secara hukum agama, maka tantangan NU di abad kedua (1444 H - …) akan menghadapi hiruk-pikuk perubahan sehingga istinbath jama’iy perlu terus dilakukan.
Istinbath jama’iy ini metode pengambilan hukum secara kolektif dengan menyandarkan diri kepada berbagai pendapat para ulama mazhab. Salah satu poin penting dari keputusan Munas Lampung tersebut ialah pengembangan pengambilan hukum dari secara qauliy (pendapat ulama) ke manhajiy (metodologis).
Metode qauliy mengharuskan pengambilan hukum jika ada pendapat ulama yang menjelaskan. Konsekuensinya, jika pendapat ulama tersebut tidak ada dalam kitab mana pun, maka problem keagamaan tidak bisa diputuskan alias mauquf. Dampak dari metode ini, NU tidak bisa merespons perubahan zaman secara cepat. Maka dari itu, diambillah metode manhajiy yang dititikberatkan kepada metodologi pengambilan hukum. Manhajiy ini yang paling relevan, sebab meskipun pendapat ulama secara sharih tidak ada, namun hukum tetap bisa diputuskan secara metodologis sehingga NU bisa terus merespons perubahan secara cepat pula.
Sejumlah tantangan zaman tersebut menjadi semacam rekomendasi strategis bagi NU untuk menghadapi abad kedua. Sembari NU terus menguatkan peran dan manajemen organisasi untuk pengurus, lembaga, dan badan otonom NU di semua tingkatan. Perangkat-perangkat organisasi NU tersebut juga penting mempunyai mekanisme mandiri dalam merespons perubahan zaman sehingga keputusan-keputusan yang ada di dalamnya juga terakumulasi dan mendapat perhatian.
Fathoni Ahmad, Redaktur NU Online