Badai yang menerpa Nahdlatul Ulama (NU) seakan tak pernah berakhir. Di tengah ruang kehidupan yang semakin riuh ini, NU digempur berbagai serangan yang mencemaskan. Bagaimana tidak, di usia lebih dari 80 tahun, NU masih bingung untuk menentukan pola relasi politik. Walaupun Khittah NU 1926 yang dirumuskan pada Muktamar di Situbondo, Jawa Timur pada 1984 sudah bergema, tetapi kalangan Nahdliyin (warga NU) sering terjebak kendala untuk menentukan langkah stategis.
Apalagi, ketika momen pemilihan gubernur (pilgub) atau pemilihan kepala derah (pilkada) mulai marak. Para tokoh elit NU mulai sibuk memasang kuda-kuda untuk terjun dalam kontestasi politik. Tokoh NU mulai safari ke berbagai daerah untuk memperkuat citra positif pribadi. Sehingga, menjadi investasi penting menyongsong berbagai momen politik, terutama Pemlihan Umum 2009.<>
Di ajang Pilgub Jateng 22 Juni lalu, Ketua Pengurus Wilayah NU Jateng, Muhammad Adnan, berpasangan dengan calon dari Partai Golkar, Bambang Sadono. Suara warga NU terpecah-belah oleh berbagai isu dan kampanye yang berembus. Tokoh NU di Jateng saling mengklaim dan melempar pernyataan sehingga membingungkan kalangan Nahdliyin di basis. Akibatnya, tak satu pun kader NU di Pilgub Jateng yang mampu meraih kemenangan.
Pada momen Pilgub Jatim, 23 Juli mendatang, tokoh NU juga menghiasi bursa cagub-cawagub yang akan memperebutkan suara. Dari kelima pasangan cagub-cawagub Jatim, pada urutan pertama, pasangan Khofifah Indar Parawansa-Mudjiono (diusung Partai Persatuan Pembangunan dan 11 partai lain). Urutan kedua, Sotjipto-Ridwan Hisjam (dicalonkan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan), yang berimpit dengan Soenarjo-Ali Maschan Moesa (Partai Golkar). Nomor urut empat dihuni pasangan Achmady-Soehartono (diajukan Partai Kebangkitan Bangsa) dan urutan terakhir pasangan Soekarwo-Saifullah Yusuf (dijagokan Partai Amanat Nasional, Partai Keadilan Sejahtera serta Partai Demokrat).
Kelima pasangan tersebut memperebutkan simpati kaum nahdliyin. Bahkan, Ali Maschan Moesa, Khofifah Indar Parawansa dan Saifullah Yusuf merupakan tokoh NU yang berkibar di panggung nasional. Tentu, bila tidak terkelola dengan baik, suara warga NU akan tercerai-berai. Bukan tidak mungkin, hasil Pilgub Jateng akan terulang di Jatim, warga NU akan bingung dalam menentukan pilihan politik.
Syahwat Politik
Meski memiliki kader potensial yang melimpah, tetapi NU sangat lemah dalam tingkat koordinasi. Di panggung politik, suara warga NU seakan terpecah-belah karena berbagai isu dan embusan kampanye. Aktraksi elit NU di panggung politik, hanya akan menimbulkan apatisme dan hilangnya fokus kaum Nahdliyin.
Dalam catatan sejarah bangsa, NU tak pernah lepas dari godaan "syahwat politik". Dunia politik menjadi ancaman sekaligus tantangan tersendiri bagi warga NU. Banyak pengurus organisasi ini, tak mampu lepas dari jeratan politik praktis yang membungkam kebebasan mengabdi pada umat.
Relasi khas antara kiai dan NU, dalam analisi Bahrul Ulum (2002), terbagi dalam beberapa warna. Pertama, terdapat semacam kewajiban bagi mereka yang memperjuangkan nilai-nilai Islam dari pendekatan politik. Kedua, pilihan menjatuhkan diri dalam kancah politik, karena belum ada kemapanan yang jelas bagi mereka untuk keluar dari politik. Ketiga, menyangkut eksistensi komunitas yang dipimpinnya. Hal ini dikarenakan, ulama memiliki massa yang cukup besar, sehingga posisi tawar politiknya menjadi kuat. Hal inilah yang menyebabkan syahwat politik elit NU tak pernah surut, tercebur pada kubangan politik praktis. Inilah tragedi yang terjadi di "republik NU”, kaum Nahdliyin termarginalkan di gelanggang politik.
Dalam catatan sejarah, di era Orde Lama, ketika Soekarno berkuasa, NU menghadapi dilema orientasi organisasi. Ketika tampuk kekuasaan presiden Soekarno digoyang lawan politik dan organisasi Islam, karena dianggap tidak memenuhi kriteria pemimpin seperti dalam teks klasik. NU membela dengan semangat gigih, melalui fatwa yang terkenal; waliyul amri al-dzaruri bi al-syaukah.
Di era orde Soekarno, NU dapat menikmati kursi kekuasaan. Kader NU memegang peranan di beberapa jalur birokrasi dan menjabat menteri yang cukup strategis. Sedangkan, di era Orde Baru, di bawah kekuasaan Soeharto, NU seakan menjaga jarak kekuasaan, hingga menjadi organisasi yang terpinggirkan. Kiprah politik NU, juga kurang menguntungkan bagi kemaslahatan umat. Massa NU yang tersebar di berbagai wilayah seakan menjadi silent majority (mayoritas yang bisu), karena tidak mendapatkan akses untuk menyuarakan kepentingan dan aspirasinya. Saat itu, warga NU hanya menjadi kumpulan "suara politik" yang disapa ketika musim pemilu tiba. Kampanye usai, warga NU kembali ditikam kesunyian. Inilah potret menyedihkan kiprah NU di ranah politik.
Kontekstualisasi Gerakan
Maka, gagasan Khittah NU pada Muktamar di Situbondo 1984, hendaknya dimaknai sebagai reaksi atas rasa sakit yang diderita NU. Khittah NU diarsiteki kalangan muda NU progresif, di antaranya KH Ahmad Shiddiq dan KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur), intinya ingin mengembalikan NU ke ide dasar pendirian organisasi kemasyarakatan, yakni sebagai jamiyyah islamiyyah dan atau organisasi massa Islam yang mengurusi masalah sosial (mabarot), ekonomi (iqhtishodiyyah), pendidikan (tarbiyah) dan dakwah.
Bila "syahwat politik" elit NU tak dapat diredam, maka warga NU akan terus menjadi korban. Republik NU akan terus-menerus mengalami kekisruhan politik. Hingga, menjadi organisasi cultural yang mengalami stagnasi dalam gerakan pemberdayaan umat. Hal ini juga menjadi keprihatinan KH Mustofa Bisri (Gus Mus), yang gigih menyelenggarakan agenda Majma' al-buhust an-Nahdliyyah. Sebagai majelis diskusi politik bagi jamaah dan politisi muda NU. Perjuangan Gus Mus hendaklah dimaknai sebagai gerakan pencerahan baru bagi elit politik di republik NU. Gus Mus dan beberapa kiai NU yang peduli buramnya politik NU, mencoba merumuskan jembatan antara warga NU yang konsisten di jalur politik dengan NU secara organisasi.
Elit NU dan politisi muda dari kaum nahdliyin sudah saatnya membuka kembali ruang dialog untuk membahas orientasi jamiyyah. Ruang dialog yang terbuka, akan menjadi forum perumusan formula relasi NU dengan politik. Di tengah kondisi bangsa yang semakin menggeliat ini, apabila masih saja terdiam, NU akan menjadi korban kepentingan politik. Orientasi politik kebangsaan dan kerakyatan NU akan semakin tenggelam. Momentum hari lahir NU, 16 Rajab 1429 H (19 Juli 2008) mendatang, sangat tepat untuk untuk merefleksikan derap kegelisahan kaum nahdliyin di ruang politik. Dengan demikian, warga NU tak lagi kebingungan dalam persimpangan gerakan.
Penulis adalah Analis Gerakan NU dan aktif di Forum Muda Nahdliyyin